Ekonom Ingatkan agar Waspadai Dampak La Nina dan Pelemahan Rupiah ke Inflasi

Ilustrasi.
Ilustrasi.

Jakarta, Berita11.com— Meskipun rupiah berhasil keluar dari zona Rp16.400/US$, sebagaimana data Refinitiv, rupiah menguat terhadap dolar AS pada penutupan, Senin (24/6/2024) lalu sebesar 0,33% ke angka Rp16.390/US$, namun dana asing masih deras keluar.

Selain itu, posisi rupiah masih berada di level terpuruk-nya sejak Pandemi Covid-19.

Bacaan Lainnya

Pada data transaksi 19-20 Juni 2024, BI mencatat bahwa investor asing tercatat jual neto Rp0,78 triliun terdiri dari jual neto Rp1,42 triliun di pasar saham, beli neto Rp0,45 triliun di SBN dan beli neto Rp0,19 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

Selama tahun 2024, berdasarkan data setelmen sampai dengan 20 Juni 2024, investor asing tercatat jual neto Rp42,10 triliun di pasar SBN, jual neto Rp9,35 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp117,77 triliun di SRBI.

Catatan keluarnya investor asing tersebut mematahkan tren net foreign inflow selama enam pekan beruntun yang telah terjadi sejak pekan pertama Mei 2024. Keluarnya dana asing ini memberikan tekanan bagi rupiah.

Sementara itu, Bank Dunia memandang inflasi Indonesia masih akan dibayangi dengan kenaikan harga pangan dan energi, meski diprediksi masih dalam target sasaran Bank Indonesia (BI) 2,5% plus minus 1% pada tahun ini dan 2025 mendatang.

Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Teuku Riefky mengingatkan, ancaman lonjakan harga pangan yang dapat terjadi karena fenomena alam La Nina mempengaruhi hasil panen.

Sementara kenaikan harga energi bisa disebabkan pelemahan nilai tukar rupiah. “Di samping itu pangan dan energi kita kan masih bergantung dengan impor, sehingga yang harus diwaspadai adalah potensi kenaikan impornya,” ujar Riefky dikutip, Selasa (25/6/2024).

BACA JUGA: Modus Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa hingga di Bima Nusa Tenggara Barat

Riefky menyarankan pemerintah menjaga nilai tukar rupiah agar tetap stabil. Karena jika rupiah terus melemah, maka potensi inflasi impor akan meningkat, kemudian memberi tekanan inflasi dalam negeri.

Selain itu, pemerintah juga diimbau terus menjaga ketersediaan pasokan pangan domestic dan belajar dari pengalaman terjadinya dampak dari fenomena el nino beberapa waktu lalu.

Data Refinitiv pergerakan Rupiah terhadap Dollar AS, Selasa (25/6/2024).

Dalam laporan Bank Dunia bertajuk Unleashing Indonesia’s Business Potential edisi Juni 2024 menyatakan, harga energi dan pangan global akan meningkat imbas terjadinya berbagai konflik geopolitik memanas di Timur Tengah dan guncangan iklim yang mengganggu rantai pasokan global, serta babak baru pengurangan produksi OPEC+ yang meningkatkan harga minyak, sehingga Bank Dunia meminta agar pemerintah Indonesia harus tetap berkomitmen menjaga inflasi dalam target sasaran, termasuk dengan memanfaatkan subsidi, pengendalian harga, dan langkah-langkah untuk mengurangi hambatan rantai pasokan domestik.

Indonesia yang Terparah Dibanding 5 Negara ASEAN

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani mengatakan dalam satu bulan terakhir Indonesia sulit membendung pelemahan rupiah. Penguatan dolar memang membuat nilai tukar mata uang beberapa negara tertekan.

“Tapi Indonesia salah satu yang terparah dibanding Negara ASEAN 5,” ujar Shinta dalam diskusi bersama Institute for Development of Economics and Finance (Indef) di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Shinta menyebutkan pelemahan rupiah menciptakan beban biaya produksi yang tinggi, khususnya beban impor bahan baku dan bahan penolong. Akibatnya, produk ekspor manufaktur Indonesia menjadi tidak kompetitif.

Sebagian besar pengusaha, berharap nilai tukar berada pada kisaran Rp14.000 per dolar AS. Hal ini berdasarkan survei Apindo tahun lalu. Selain faktor eksternal seperti penguatan dolar, kondisi defisit neraca pembayaran yang terus melebar juga dapat memicu pelemahan rupiah.

BACA JUGA: Ormas di NTB Siap Berkontribusi Wujudkan Tempat Isolasi Terpadu

Pada kuartal pertama 2024, defisit neraca berjalan melebar menjadi 0,6 persen dari produk domestik bruto. Hal ini disebabkan lemahnya pertumbuhan investasi langsung dari pihak asing atau Foreign Direct Investment (FDI) dan kinerja ekspor. Shinta mengatakan pada kuartal dua 2024, Indonesia mengalami pelemahan pertumbuhan FDI dan kinerja ekspor yang disebabkan oleh koreksi terhadap harga komoditas.

Sementara itu, berdasarkan catatan Bank Indonesia terhadap perkembangan Nilai Tukar 19-21 Juni 2024, pada akhir hari Kamis, 20 Juni 2024 lalu rupiah ditutup pada level (bid) Rp16.425 per dolar AS. Yield SBN (Surat Berharga Negara) 10 tahun turun ke 7,104%. DXY[1] menguat ke level 105,59. Yield UST (US Treasury) Note[2] 10 tahun naik ke level 4,259%.

Kemudian pada pagi hari Jumat, 21 Juni 2024 rupiah dibuka pada level (bid) Rp16.440 per dolar AS. Yield SBN 10 tahun naik ke 6,18%.

Aliran Modal Asing (Minggu III Juni 2024), Premi CDS Indonesia 5 tahun per 20 Juni 2024 sebesar 76,04 bps, relatif stabil dengan dibandingkan 14 Juni 2024 sebesar 76,40 bps.

Berdasarkan data transaksi 19 – 20 Juni 2024, nonresiden tercatat jual neto Rp0,78 triliun terdiri dari jual neto Rp1,42 triliun di pasar saham, beli neto Rp0,45 triliun di SBN dan beli neto Rp0,19 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

Selama tahun 2024, berdasarkan data setelmen sampai 20 Juni 2024, nonresiden tercatat jual neto Rp42,10 triliun di pasar SBN, jual neto Rp9,35 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp117,77 triliun di SRBI. [B-19]

Follow informasi Berita11.com di Google News

Pos terkait