Mengintip Eksotisme Danau Kelimutu, Surga Tersembunyi di Pulau Flores

Reporter Berita11.com Menikmati Pemandangan di atas Danau Taman Nasional Gunung Kalimutu Provinsi NTT.

Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) tidak hanya memiliki Taman Nasional Komodo yang menjadi salah satu dari tujuh keajaiban dunia diakui UNESCO sebagai situs warisan dunia sejak tahun 1991, lebih dari itu daerah di bagian Indonesia Tengah itu memiliki sejumlah objek wisata eksotik yang menarik untuk dikunjungi. Salah satunya Danau Kelimutu yang masuk dalam kawasan Taman Nasional Kalimutu.

Catatan SYARIF HIDAYATULLAH.

Agustus lalu saya berkesempatan mengunjungi Taman Nasional Kelimutu yang terletak di Desa Pemo, Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende dan mengunjungi beberapa spot wisata yang menarik, mengisi hari libur kuliah selama lebih kurang dua bulan.

Ada beberapa pilihan perjalanan bagi wisatawan dari luar daerah termasuk dari Nusa Tenggara Barat (NTB) untuk berkunjung ke Taman Nasional Kelimutu, bisa memilih moda transportasi udara menggunakan pesawat menuju Bandara Aroeboesman Ende atau memilih transportasi darat. Jika menggunakan transportasi darat kendaraan pribadi, para pengunjung dari wilayah barat Indonesia mau tidak mau akan melewati jalur penyebrangan laut dari Sape Kabupaten Bima menuju pelabuhan penyebarangan Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi NTT menggunakan kapal Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan Indonesia Ferry (ASDP) dan melanjutkan perjalanan darat hingga Kabupaten Ende.

Karena pertimbangan terlebih dahulu akan berlibur di Pulau Ende, hari itu saya dan keluarga memilih berangkat dari Bima menggunakan transportasi kapal Tol Laut. Kebetulan biaya tiketnya sangat terjangkau, hanya perlu mengeluarkan biaya Rp35 ribu untuk sekali trip dari Pelabuhan Bima menuju Pelabuhan Pulau Ende. Bahkan lebih murah ketimbang karcis kapal ASDP penyebrangan dari Pelabuhan Poto Tano menuju Pelabuhan Kayangan, Kabupaten Lombok Timur di Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Syaratnya jika memilih menggunakan Tol Laut, sebuah alat transportasi laut terjangkau yang disediakan pemerintah melalui program Presiden Jokowi tersebut, para penumpang harus terbiasa dengan kondisi penyebrangan menggunakan kapal yang tidak lebih besar dari Kapal Motor Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni) seperti KM Wilis atau KM Kalimutu. Selain itu, harus betah berada di atas kapal, karena waktu tempuh terbilang lebih lama.

Setelah menempuh perjalanan lebih dari 50 jam atau tiga hari dua malam, Tol Laut yang membawa kami dan para penumpang lain melabuhkan jangkarnya di Pelabuhan Pulau Ende di Kampung Ekoreko Kecamatan Pulau Ende, Kabupaten Ende. Saya memutuskan untuk mengisi hari libur selama dua bulan di rumah kerabat di Desa Ekoreko Kecamatan Pulau Ende, sekaligus menyambung tali silaturahmi dengan keluarga almarhum kakek dan bapak yang umumnya mediami wilayah pesisir di pulau itu.

Sepotong cerita yang saya peroleh dari warga, Pulau Ende merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Ende dan terletak terpisah dari Pulau Flores yang merupakan induk ibukota Kabupaten Ende. Pulau ini sendiri memiliki luas 63,03 kilometer per segi dan terdapat tujuh desa, di antaranya Kampung Ekoreko dan enam desa lain yang menjadi tempat tinggal 8.805 jiwa. Pengunjung juga bisa mengunjungi sebuah Benteng Portugis yang dibangun pada abad ke-16 di pulau ini, tepatnya di Dusun Kemo, Desa Rendo Raterua. Namun kini benteng tersebut tersisa satu tembok, beberapa bagian lantai dan fondasi benteng umumnya dipakai penduduk setempat untuk membangun rumah.

BACA JUGA: Mengunjungi Tiga Surga Mungil di Manggarai Barat

Mayoritas penduduk di Pulau Ende berprofesi sebagai petani, sedangkan sebagian lainnya bekerja sebagai nelayan dan penenun. Penduduk Pulau Ende 100 persen beragama Islam atau muslim. Sebagian nenek moyang mereka adalah orang Bugis. Pulau Ende juga terkenal sebagai daerah penghasil ubi hitam, ubi karet dan penghasil kelapa. Suasananya masih kental ciri khas pedesaan, salah satunya merawat tradisi mengunyah sirih pinang yang dilakukan secara turun temurun, terutama oleh ibu-ibu.

Beberapa pekan berlibur di Palau Ende, saya menyempatkan diri berkeliling di beberapa desa dan melihat suasana pantai. Sebagian warga di pulau ini memiliki kendaraan sepeda motor dan mobil, namun sebagian warga terbiasa menggunakan transportasi angkutan desa (bemo), yang memiliki satu tarif, jauh dekat hanya perlu membayar Rp5000. Setiap hari juga terdapat kapal penyebrangan Ferry yang dapat memuat kendaraan pribadi milik warga yang pergi dan pulang ke kota di Pulau Flores.

Bagi pengunjung baru di Pulau Ende seperti saya, takjub dengan suasana di pulau yang bisa dibilang masih alami karena merawat tradisi. Dari jauh, di pulau ini, pengunjung juga bisa menikmati pemandangan Gunung Iya, sebuah gunung stratovolcano yang terletak di bagian selatan Pulau Flores.

Karena pengaruh gunung api aktif yang masih sering memuntahkan berbagai material, maka tak heran terdapat banyak material pasir yang terserak hingga kawasan bukit dan gunung di Pulau Ende.

Saya juga memperoleh cerita dari warga Kampung Ekoreko, dataran tertinggi atau gunung tertinggi di pulau ini disebut Amburambotu. Masyarakat Pulau Ende mempercayai Amburambotu adalah tempat keramat, tempat persinggahan para wali Allah, di mana ketika Sembilan Wali menyebarkan agama Islam di daratan pulau-pulau besar yang ada di NTT, mereka akan kembali ke Pulau Ende dan beristirahat di Amburambotu.

Nama Amburambotu sendiri diambil dari bahasa daerah di Kabupaten Ende, terdiri dari dua suku kata, yaitu Ambu dan Mbotu. Kata Ambu berarti nenek moyang, sedangkan Mbotu berarti tinggi, sehingga Amburambotu merupakan nenek moyang paling tinggi, paling tua dan mempunyai pengaruh serta dihormati.

Menurut Yati, salah seorang penduduk di Pulau Ende, salah satu mitos yang masih dipercaya oleh warga setempat, bahwa siapapun yang hendak mendaki puncak tertinggi di Amburambotu harus memiliki niat yang baik dan tidak boleh berbuat senonoh. Puncak tertinggi di Pulau Ende juga dipercayai masyarakat setempat menyimpan seribu mitos dan terdapat sebuah goa keramat.

BACA JUGA: TTU, Exotic Bordered City of Indonesia and Timor Leste

“Kalau punya niat buruk pas turun akan sakit. Sempat ada anak sekolah yang naik dengan hal-hal tidak baik dan berbuat senonoh, saat turun langsung sakit,” cerita Yati.

Perjalanan Menuju Danau Kelimutu, Objek Wisata Sarat Mitos

Setelah mengisi hari libur lebih kurang satu bulan di Kampung Ekoreko Pulau Ende, menjelang akhir Agustus, saya memutuskan untuk jalan-jalan mendaki Taman Nasional Kelimutu. Hari itu, saya menumpang kapal cepat (speed boat) dari Pulau Ende menuju pelabuhan di Kota Ende yang terletak di Pulau Flores. Tiketnya cukup murah, saya hanya perlu merogoh kocek Rp10 ribu. Kapal yang membawa kami pagi itu membelah gelombang lebih kurang satu jam. Semakin mendekati pelabuhan Kota Ende, pemandangan Gunung Api Iya yang terus mengeluarkan asap dan hawa belerang, semakin tampak jelas dan menarik untuk didokumentasikan. Saya pun tidak lupa menjepret beberapa sudut gunung api tersebut dari bawah.

Sebelum matahari kian meranggas, saya bergegas ke rumah kerabat di Perumnas Kota Ende. Pada bagian kiri-kanan jalan rutinitas warga hampir sama dengan kota-kota kecil di Indonesia termasuk di Bima. Warga sibuk dengan aktivitas masing-masing, baik di kantor pelayanan pemerintah maupun di pusat belanja atau pasar. Saya menginap selama tiga hari di kediaman keluarga di Perumnas Ende, sekadar memastikan bekal sebelum mendaki Taman Nasional Danau Kalimutu.

Hari yang dinanti pun tiba, tepat beberapa hari setelah hiruk pikuk masyarakat Indonesia memeriahkan hari ulang tahun ke-77 Republik Indonesia atau hari proklamasi, sekira pukul 10.30 Wita, Minggu, 21 Agustus 2022, saya dan Hayu, salah satu anggota keluarga di Ende, berangkat dari Perumnas Ende menggunakan sepeda motor menuju pintu masuk di Taman Nasional Danau Kelimutu. Hanya butuh lebih kurang satu jam untuk sampai di pintu masuk. Menurut saya, Hayu adalah penunjuk jalan yang baik, karena sudah beberapakali naik ke Taman Nasional Kelimutu. Saat ini dia tercatat sebagai salah satu tenaga pengajar di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 Ende. Dia adalah alumnus perguruan tinggi di Jogjakarta. Sepanjang jalan yang kami lalui sebelum tiba di pintu masuk Gunung Kelimutu, Hayu banyak bercerita tentang Kota Ende dan Taman Nasional Gunung Kelimutu. Warga dari etnis Bima juga banyak yang menjadi pedatang dan pedagang sukses di sejumlah wilayah di Pulau Flores seperti di Kota Bajawa Kabupaten Ngada dan Kota Maumere.

Salah Satu Spot Foto di Taman Nasional Kelimutu di Ende Flores NTT.

Salah satu kesan yang saya tangkap setelah memerhatikan pintu masuk Taman Nasional Kelimutu, objek wisata itu tertata dengan baik dan tidak ada sampah yang berserakan. Puluhan pedagang souvenir seperti pedagang gelang gaharu, baju dan kopi robusta khas Flores sesekali melempar senyum kepada kami dan para pengunjung lokal maupun wisatawan mancanegara. Fasilitas yang disediakan oleh pengelola wisata alam ini terbilang cukup untuk menunjang kebutuhan wisatawan selama berada di lokasi, seperti area parkir yang cukup luas, tempat beristirahat berupa gazebo, toilet bersih, spot foto menarik serta deretan warung makan dan minum. Untuk kopi khas Ende, umumnya dijual Rp10 ribu per bungkus.

Setelah istrahat sejenak di pintu masuk, sekira pukul 13.00 Wita, saya dan Hayu serta para pengunjung lain mulai mendaki Taman Nasional Danau Kelimutu. Setelah berjalan belasan menit, pengunjung bisa melihat pemukiman tak jauh di bawah lereng. Meskipun umumnya Provinsi NTT bercuaca panas seperti daerah-daerah di NTB saat pertengahan tahun, udara di Gunung Kelimutu sangat sejuk dan disertai hawa belerang. Lelah dan keringat para pengunjung terbayar setelah tiba di atas kawah, saat melihat dari lebih dekat danau tiga warna yang fenomenal dan pemandangan di sekitarnya. Hari itu, saya dan para pengunjung lain tiba di anjungan Taman Nasional Kelimutu sekira pukul 14.10 Wita.

Taman Nasional Kelimutu terdiri atas perbukitan dan pegunungan. Puncak tertingginya Gunung Kelibara mencapai 1.731 mdpl. Luas kawasan 5356,50 hektar, yang terdiri dari 241 pal batas hutan kawasan. Hutan ini membatasi Taman Nasional Kelimutu dengan 24 desa yang berada di lima kecamatan pada Kabupaten Ende. Danau di puncak Gunung Kelimutu memiliki ketinggian kurang lebih 1.631 meter di atas permukaan laut.

Pemandangan di Pintu Masuk Taman Nasional Kelimutu, Provinsi NTT.

Ketiga danau di atas puncak Gunung Kelimutu memiliki nama Tiwu Ata Mbupu atau Ata Mbupu, Tiwu Nuwa Muri Koo Fai, dan Tiwu Ata Polo atau Ata Polo. Danau tersebut bersumber dari erupsi phreatic yang terjadi pada masa lalu. Meski memiliki nama sendiri, namun destinasi ini lebih dikenal dengan nama Danau Kelimutu, sebagai tempat paling ikonik. Banyak mitos yang masih dipercaya masyarakat lokal tentang Danau Kalimutu.

Dari penuturan warga, saya memperoleh penjelasan, danau cantik ini pertama kali ditemukan pada tahun 1915 oleh B. Van Suchtelen, yaitu seorang komandan militer Belanda. Saat itu Suchtelen mengatakan kepada warga sekitar mengenai danau yang ada di puncak Gunung Kelimutu. Suchtelen menyebutkan bahwa danau di atas puncak gunung itu ada tiga yang memiliki warna berbeda. Warga yang mendengar hal tersebut mulanya tidak langsung percaya, karena ketiga warna danau yang disebutkan oleh B. Van Suchtelen sama dengan warna dari bendera Belanda. Warga sekitar kemudian membuktikan sendiri dengan mata kepala mereka mengenai keberadaan danau. Keindahan danau tersebut kemudian dirangkum dalam sebuah lukisan milik Y. Bouman, yang diciptakan pada 1929. Sejak saat itu, nama danau di atas puncak Gunung Kalimutu semakin populer dan mengundang banyak perhatian wisatawan.

BACA JUGA: Perkenalkan Dua Hotel Baru: Dusit Collection dan Devarana – Dusit Retreats

Nama Kelimutu diambil dari gabungan dua kata, yaitu keli dan mutu. Keli berarti gunung dan mutu artinya mendidih, sehingga secara harfiah, nama Kelimutu bisa diartikan sebagai gunung mendidih. Namun nama Kelimutu sebenarnya nama dari gunungnya, sedangkan danau di atas puncak gunung itu memiliki nama sendiri.

Pemandangan di Gunung Kelimutu Provinsi NTT.

Hampir sama dengan destinasi alam lain di Indonesia yang selalu mempunyai legenda atau mitos yang hidup di tengah masyarakat, Danau Kelimutu juga memiliki mitos tersendiri, konon di atas puncak gunung itu adalah tempat bersemayam jiwa-jiwa orang yang telah meninggal. Kepercayaan tersebut muncul karena danau di Taman Nasional Kelimutu bisa berubah-ubah warna. Danau Tiwu Ata Mbupu dipercaya menjadi tempat bagi jiwa jiwa orang tua yang telah meninggal, sedangkan Tiwu Nuwa Muri Koo Fai menjadi tempat bagi jiwa-jiwa orang muda yang telah meninggal.

Danau Kelimutu yang berada di atas puncak Gunung Kelimutu mempunyai warna air yang berbeda- beda. Konon, sesekali fenomena alam menakjubkan terjadi, warna air danau berubah. Namun warga setempat percaya bahwa perubahan warna merupakan sebuah pertanda buruk dan menjadi sinyal akan terjadi suatu bencana di Indonesia. Hal yang tak terlupakan oleh masyarakat, seperti yang terjadi pada tahun 1992 dan tahun 2004. Pada tahun 1992, warna salah satu danau di Gunung Kelimutu berubah menjadi cokelat kemerahan seperti hati ayam. Tak lama sebuah tragedi gempa bumi terjadi di Flores dan menimbulkan banyak korban jiwa. Saat tsunami Aceh pada tahun 2004, Danau Kelimutu juga mengalami perubahan warna, sehingga sering dikeramatkan warga sekitar.

Konon menurut warga setempat, untuk memicu perubahan warga danau, harus melempar batu hingga ke dasar danau. Upaya itu pun pernah dicoba oleh wisatawan domestik dan mancanegara. Namun batu yang dilempar tidak pernah sampai jatuh ke dasar danau mengubah warna air di danau. Pada waktu tertentu, tiga danau di Gunung Kelimutu memancarkan tiga warga yang indah.

Menurut penuturan warga sekitar, suatu ketika pernah terdapat wisatawan mancanegara yang mencoba turun dan mendekati air danau, namun wisatawan itu tidak pernah kembali. Sebuah helikopter juga pernah terbang tak jauh di atas danau, namun nyaris ditarik jatuh oleh magnet di dalam danau Gunung Kelimutu.

Danau Kelimutu dianggap sebagai tempat keramat yang memiliki kekuatan magis bagi masyarakat sekitar, sehingga warga setempat kadang menggelar upacara ritual di tepi danau. Warga setempat menyebutnya ritual Pati Ka atau bermakna makan. Ritual tersebut untuk memberi makan tempat Danau Kelimutu.

Makanan atau sesaji yang disuguhkan berupa daging babi atau wawi dan disertai moke, minuman beralkohol khas Kecamatan Kelimutu. Selain babi, sesaji yang disuguhkan saat upacara juga berupa ayam dan sejumput sirih pinang. Tujuannya, sebagai bagian pemberian kepada para leluhur yang jiwanya bersemayam di dalam danau. Upacara ritual Pati Ka biasanya digelar pada tanggal 14 Agustus setiap tahun. Prosesi diawali tari adat setempat, tari gawi yang dilakukan di lapangan, sebelum Tugu Puncak Kelimutu.

Selain keindahan danau, para pengunjung juga akan disuguhkan kearifan lokal yang masih terus dirawat, di antaranya rumah penduduk yang dibangun menggunakan kayu dan jerami. Rumah khas lokal terletak di Wae Rebo lingkungan dalam Gunung Kelimutu. Rumah tersebut terdiri atas lima lantai.

Spot Foto dalam Kawasan Taman Nasional Gunung Kelimutu Provinsi NTT.

Jam operasional Taman Nasional Kelimutu dibuka untuk umum mulai pukul 05.00 – 18.00 WITA dan dibuka setiap hari. Pengunjung juga bisa datang lebih awal untuk menyaksikan matahari terbit (sunrise) di puncak taman nasional ini. Harga tiket masuknya terbilang cukup terjangkau, karena pengunjung lokal atau turis domestik hanya dikenakan biaya Rp5.000 per orang, sedangkan tarif untuk wisatawan asing Rp150 ribu. Belum termasuk kontribusi parkir Rp5.000 untuk sepeda motor dan Rp10 ribu untuk mobil.

Setelah puas menikmati pemandangan dan swafoto di atas Danau Gunung Kelimutu, pukul 16.00 Wita, saya dan Hayu serta para pengunjung lain memutuskan untuk turun dari pendakian.

Sore itu, sebelum matahari kembali ke peraduan dan sebelum kembali ke lingkungan Perumnas Kota Ende, bermodal sepeda motor saya dan Hayu mampir swafoto di beberapa objek wisata di Kota Ende seperti rumah pengasingan Bung Karno, mantan presiden pertama Republik Indonesia di Jl Perwira, Kelurahan Kotaraja, Kecamatan Ende Utara, Kabupaten Ende.

Bermodal sepeda motor, sore itu saya juga memuaskan diri melihat pemandangan di Kota Ende dari dekat. Melewati Bandar Udara H Hasan Aroeboesman di Kelurahan Mautapaga, Kecamatan Ende, Kabupaten Ende serta mampir menikmati sunshet dan pemandangan Gunung Iya sore hari di sekitar Pelabuhan Ende.

Setelah beberapa hari mengunjungi keluarga di Lingkungan Perumnas Ende dan mendaki Taman Nasional Gunung Kelimutu, saya kembali melanjutkan masa libur di rumah keluarga di Kampung Ekoreko di Kecamatan Pulau Ende, sebelum kembali ke Bima pada awal September.

Bagi saya mengunjungi Kota Ende dan beberapa objek wisata alamnya yang eksotis, sama menariknya saat mengisi liburan di Pulau Mesa dan menikmati keindahan terumbu karang di Pulau Kenawa dan beberapa gugusan pulau di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat Provinsi NTT. Saya bertekad akan kembali menjelajahi objek wisata lain yang tak kalah menarik di Indonesia (*)

Pos terkait