Mataram, Berita11.com— Yayasan PLAN Internasional Indonesia bekerja sama dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Mataram dalam menyelenggarakan workshop dan fellowship tentang isu menghapus perkawinan anak di Indonesia.
Kegiatan diikuti 30 jurnalis dari berbagai daerah di Indonesia, yang berkomitmen menghapus kasus perkawinan anak lewat karya jurnalistik.
Direktur Eksklusif Yayasan Plan Internasional Indonesia, Nazla Mariza, menyebut, angka pernikahan anak berdasarkan rata-rata provinsi, Provinsi NTB berada di urutan ke tujuh dengan persentase 16 persen. Sementara rata-rata nasional 10 persen.
“Selain di Provinsi NTB, ada 21 daerah provinsi yang kasus pernikahan anaknya melampaui rata-rata nasional,” kata Nazla melalui zoom meeting, Senin (24/5/2021) lalu.
Nazla, mengatakan, rata-rata kasus perkawinan anak di Indonesia itu berdasarkan data pada tahun 2018 dan 2019. Pernikahan dini merupakan fenomena gunung es di Indonesia. Karena yang terdata hanya sebagian saja di lembaga resmi negara.
“Padahal pernikahan dini termasuk kejahatan terhadap anak, karena melanggar hak anak,” kata Nazla.
Dia menerangkan, anak yang rentan melakukan pernikahan dini yaitu, anak perempuan, dari keluarga tidak mampu, minim pendidikan, serta tinggal di pedesaan.
“Saya sendiri prihatin melihat kondisi ini, selama ini yang terdata di provinsi hanya sebagian saja, sementara selama masa pandemi banyak perempuan yang dinikahkan secara siri. Selain itu, di desa-desa juga tidak terdata,” ungkapnya.
Dia mengatakan, dalam praktik pernikahan dini, yang dirugikan adalah perempuan. Karena perempuan seringkali menjadi korban. Selain itu, perempuan lebih banyak menerima dampak ketika dinikahkan pada usia muda.
Sejumlah dampak pernikahan dini sebut dia, di antaranya, perempuan menikah pada usia terlalu muda rentan terhadap kematian pada 28 hari pasca melahirkan, anak yang dilahirkan akan mengalami stunting. Selain itu, secara usia belum matang secara emosional rentan perceraian.
“Hal-hal itu yang kita hindari, terlebih ini akan mengganggu kesehatan baik mental dan jasmani bisa dibayangkan jika perempuan yang masih belia memiliki tanggung jawab mengurus rumah tangga,” tutur Nazla.
Nazla membeberkan tiga langkah PLAN Internasional Indonesia guna mencegah pernikahan dini, di antaranya bekerja bersama pemerintah pada level nasional, provinsi, kabupaten/ kota maupun Desa memberikan masukan dalam formulasi kebijakan dan implementasi.
Selain itu, PLAN Internasional Indonesia memberikan peningkatan kapasitas anak dan kaum muda dari berbagai daerah dan mendorong mereka menjadi penggerak di komunitasnya, termasuk anak-anak di desa di Lombok Barat, Sukabumi, Rembang.
PLAN Internasional Indonesia juga membentuk kelompok perlindungan anak desa (KPAD) yang terdiri dari berbagai unsur termasuk anak, perangkat desa, tenaga kesehatan, tokoh-tokoh di desa untuk memastikan perlindungan anak dan pencegahan perkawinan anak.
Dalam sambutannya, Sekertaris Jenderal AJI Indonesia, Ika Ningtyas mengatakan, workshop dan fellowship bersama PLAN Internasional Indonesia dan AJI Mataram bermaksud mengajak semua jurnalis berperan aktif dalam menghapus perkawinan anak di Indonesia. Karena perkawinan anak di Indonesia masih marak terjadi.
“Melihat tingginya kasus pernikahan dini di Indonesia, itulah alasan AJI mengangkat tema itu. Kita juga ingin mengajak para jurnalis mendalami isu penikahan dini agar dapat mencegah kasus pernikahan dini yang sering terjadi di Indonesia,” kata Ika.
Ketua AJI Mataram, Situpilaili mengatakan, workshop dan fellowship diikuti 30 jurnalis dari berbagai daerah sekitar mampu menghadirkan beberapa narasumber berkompeten dalam isu seputar perkawinan anak di Indonesia.
Adapun pemateri yang dimaksud antara lain, dari pihak Yayasan Plan Internasional Indonesia, LBH, dan Komunitas Kaum Muda.
“Setelah mengikuti pelatihan ini, 30 jurnalis yang ikut, sebisa mungkin mampu menambah wawasan. Karena melihat kondisi media sekarang hanya mengejar viewers dan rating saja. Selama ini ada beberapa kasus yang mengesampingkan informasi tentang isu menghapus perkawinan ke tengah masyarakat,” katanya.
Tak banyak kata Ika, media-media terus mengejar viewers yang tinggi dengan judul-judul yang bombastis seputar isu perkawinan anak. Padahal, tak ada pesan penting tersampaikan dalam menekan angka perkawinan usia anak.
“Contohnya seperti dampak pernikahan dini. Alasannya, bahkan terkadang melupakan etika kepenulisan,” ujar dia.
Dia mengajak seluruh jurnalis yang tergabung dalam workshop dan fellowship bisa memilih diksi dalam menulis isu perkawinan anak di Indonesia, sehingga melalui pemberitaan, para jurnalis dan media secara tidak langsung mampu menekan angka perkawinan anak di Indonesia. [B-11]