Oleh : Ayyadana Akbar
(Mahasiswa Program Magister Kependudukan Universitas Hasanuddin)
Stunting kini menjadi isu besar yang mendunia. Di sisi lain, Indonesia sudah, sedang dan akan selalu menyiapkan diri menuju indonesia emas. Kekuatan utamanya adalah bonus demografi di mana dapat dicirikan dengan rasio ketergantungan (depedency ratio) berada di bawah angk 50 atau dengan kata lain penduduk usia produktif (15-64 tahun) mendominasi jumlah penduduk Indonesia.
Data dan fakta Stunting
Tahun 2018 UNICEF menempatkan indonesia dalam urutan tertinggi ke-4 dalam kasus stunting, sedangkan tahun 2020 UNICEF menerbitkan laporan bertajuk situasi anak di Indonesia, mengutip riset tahun 2018 yang menemukan sebanyak 30,8 persen atau hampir 3 dari 10 anak berusia di bawah 5 tahun menderita stunting, sedangkan 1 dari 10 kekurangan berat badan atau terlalu kurus untuk usia mereka.
Demikian halnya di tahun 2019, perkembangan masih jauh dari nilai standar yang ditetapkan WHO, yakni di bawah 20 persen, di mana di Indonesia masih terdapat 27,7 persen balita yang mengalami stunting.
Mengacu pada data Indeks Khusus Penanganan Stunting yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) Laporan Tahun 2019-2020, pada tahun 2019 Pangan 89,1, Perumahan 83,33, Gizi 80,34, Kesehatan 71,8, Pendidikan 41,0, Perlindungan Sosial 30,8. Sementara pada tahun 2020 tahun 2020 Pangan 88,8, Perumahan 83,9, Gizi 85,1, Kesehatan 73,1, Pendidikan 41,7, Perlindungan Sosial 30,0. Adapun total rata-rata dari 6 dimensi Indeks Khusus Penanganan Stunting sebesar 67,3.
Kemenkes RI pada tahun 2021 merilis hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) bahwa terdapat 24,4 persen balita menderita stunting, sedangkan di tahun 2022 mengalami penurunan yakni menjadi sebesar 21,6 persen.
Lebih mencengangkan lagi, bahwa Provinsi Nusa tenggara Barat (NTB) menempati urutan ke-4 tertinggi setelah NTT, Sulawesi Barat dan Papua. Angkanya jauh melampaui angka nasional, yakni sebesar 31,4 persen tahun 2021 dan 32, 7 persen tahun 2022.
Sedangkan dari sumber yang berbeda yakni berdasarkan laporan rutin Elektronik-Pelaporan dan Pencatatan Gizi berbasis Masyarakat (e-PPGBM) pada Posyandu di NTB menunjukan angka lebih rendah yakni sebesar 19,23 porsen tahun 2021 dan 16,9 tahun 2022.
Di Kabupaten Bima sendiri mengacu angka e-PPGBM September 2022 yakni sebesar 13,88 %, lebih rendah dari angka NTB. Bahkan lebih rendah dari target nasional di tahun 2024 yakni sebesar 14 persen.
Disinyalir bahwa pernikahan di bawah umur menjadi salah satu penyebab, dengan angka dispensasi nikah dari Pengadilan Agama Bima sebesar 276 kasus, tertinggi di NTB. Walau sudah melewati target nasional, angka ini tentu saja bukan angka ideal yang jika dibanding negara– negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang yang sudah mencapai pada angka di bawah 5 persen.
Keluarga Muda – Bonus Demografi
Jumlah penduduk kabupaten Bima hasil Sensus Penduduk tahun 2020 didominasi oleh generasi muda, yang baru berkeluarga dan akan berkeluarga. Generasi Y dan Z saja (lahir 1981-2010) telah mencapai angka 55 persen dari total jumlah penduduk Kabupaten Bima. Untuk itu, maka generasi baru harus disiapkan, sehingga yang muncul adalah keluarga sehat, produktif dan memiliki kualitas. Di tangan generasi baru inilah nasib bayi yang baru lahir dan akan lahir ke depannya ditentukan.
Pembangunan keluarga muda berkualitas adalah prasyarat menuju Indonesia Emas. Stunting adalah salah satu tantangan dan akan sangat bermasalah bagi kualitas SDM.
Stunting diandaikan sebagai sebuah kondisi “gagal pertumbuhan dan perkembangan” yang dialami anak-anak akibat kurangnya asupan gizi dalam waktu lama, infeksi berulang, dan stimulasi psikososial yang tidak memadai, terutama pada 1.000 hari pertama kehidupan (first golden periode).
Stunting dalam kaitan dengan masaalah Kualiatas SDM, disebabkan setidaknya tiga hal; pertama, suboptimal nutritional. Kedua, suboptimal health, dan yang ketiga asuhan kurang optimal.
Selain stunting menjadikan generasi manusia gagal tumbuh, seperti dapat dilihat dari tinggi badan yang tidak optimal. Stunting juga sangat berpengaruh terhadap rendanya kualitas sumber daya manusia, baik pada peristiwa gagal berkembang sehingga menjadikan rendahnya kemampuan intelektual, maupun meningkatnya risiko penyakit tidak menular.
Oleh karena itu, stunting merupakan masalah dalam upaya meningkatkan kualitas SDM untuk memanfaatkan jendela peluang atau “window of opportunity” tahun 2030-2040 menjadi bonus demografi yang memerlukan penduduk usia produktif yang berkualitas.
Cegah Dini Stunting
Dalam rangka pencegahan dan penurunan stunting, diperlukan upaya serius dalam penyiapan generasi muda yang akan menikah dan membangun keluarga baru. Mereka harus diberi konsep menikah dan berkeluarga secara memadai, salah satunya menyoal upaya memenuhi kebutuhan gizi dan kesiapan mental untuk hamil muda serta mencegah stunting.
Kenapa gizi sebelum hamil itu penting. Hal ini dilakukan untuk menyiapkan cadangan di dalam tubuh, sehingga pada saat memasuki kehamilan terhindar dari risiko kurang gizi dan mencegah komplikasi kehamilan. Untuk itu, generasi muda yang menjadi calon pengantin, diperlukan pendampingan dan pemerikasaan kesehatan.
Waktu pemerikasaan ini tentu saja harus dilakukan sebelum menikah. Umumnya dilakukan pemeriksaan Hb untuk mengetahui kondisi anemia pada calon ibu dan pemeriksaan antrophometri yang meliputi tinggi badan, berat badan dan lingkar lengan atas.
Yang penting juga diupyakan yakni pemeriksaan patologis. Apabila ditemukan kondisi patologis bagi calon pengantin perempuan, maka dibutuhkan waktu sekitar tiga bulan untuk memperbaiki kondisi patologis tersebut.
Begitu juga apabila pengantin perempuan didapati kondisi under nutrition seperti kurang kalori protein atau devisiensi vitamin yang lain, maka dibutuhkan waktu minimal 3- 6 bulan untuk perbaikan keadaan tersebut.
Bagi calon pengantin laki-laki, dilakukan pendampingan dan pemerikasaan kesehatan, salah satunya adalah produksi sperma untuk persiapan pembuahan dan menghasilkan keturunan yang sehat. Hal ini membutuhkan prakondisi, dan kebugaran bagi laki-laki minimal 73 -75 hari sebelumnya.
Hal tersebut sesuai dengan teori proses pembentukan sperma atau spermatogenesis yang berlangsung selama waktu tersebut. Dengan dilakukan pemeriksaan di atas diharapkan semua pasangan usia subur yang baru memasuki siklus kehidupan berkeluarga berada dalam kondisi sehat ideal untuk menikah dan hamil sehingga melahirkan anak yang sehat.
Pernikahan pada usia muda paling cepat 19 tahun. Namun baiknya dilakukan di usia 21 tahun. Sementara pada pernikahan dini atau pernikahan di bawah umur yang ditetapkan menikah, yang mendapat risiko dan beban berat adalah perempuan dan bayi. Cukup besar risiko kehamilan dan persalinan pada usia muda. Baik menyangkut mobiditas dan mortalitas ibu dan bayi, enagement, dan tulang berhenti tumbuh.
Keluarga Muda Membangun
Strategi menyiapkan generasi baru melalui keluarga muda dapat dikmaksimalkan dengan memahami betul periode emas awal perkembangan manusia yang dikenal dengan 1.000 hari pertama kehidupan.
Hal yang perlu dilakukan yakni; pertama, kehamilan 280 hari cukupi kebutuhan janin dengan makanan yang mengandung vitamin A, D, E, K, Karbohidrat, Lemak serta protein.
Kedua, 0-6 bulan atau 180, berikan ASI eksklusif dan makanan pendamping ASI. Ketiga, 6-8 bulan atau 60 hari, lemak, protein dan KH mulai diperkenalkan. Cek berat badan dan kesehatan anak secara rutin.
Keempat, 8-12 bulan atau 120 hari seimbangkan makanan utama dengan sayur, buah-buahan dan susu. Kelima, 12-24 bulan atau 360 hari, cukupi kebutuhan kalori, berikan variasi makanan agar lemak, protein, vitamin dan karbohidrat terpenuhi. Jaga kebersihan rumah dan lingkungan. Saatnya keluarga muda membangun, sehat lahir batin (*)