Bima, Berita11.com— Eksekutif Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (EK LMND) Kabupaten Bima menggelar diskusi publik bertajuk ke manakah arah pendidikan kita di auditorium Sudirman kampus STKIP Taman Siswa Bima, Minggu (2/3/2021). Kegiatan tersebut sebagai refleksi hari pendidikan nasional dan hari buruh internasional.
Dalam diskusi itu mengemuka penilaian sejumlah tokoh LMND dan Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang menyebut kualitas pendidikan di Kabupaten Bima yang belum kompetetitif dengan daerah lain seperti tetangga di Kota Bima.
“Saya sendiri tidak percaya dengan kualitas pendidikan di Kabupaten Bima, saya sekolah kan anak saya di Kota Bima dan Jawa. Jargon pendidikan kita ini tidak mampu diimplementasikan dengan sesuai,” kata Ketua PRD Kabupaten Bima, Arif Kurniawan saat menjadi pemantik dalam diskusi publik yang digelar Eksekutif LMND Kabupaten Bima.
Dia juga menyorot perilaku korupsi sebagai sebuah kegagalan output pendidikan yang mestinya mampu membentuk mental dan karakter seseorang. Menurutnya, kondisi jomplang pelaksanaan kurikulum dapat dilihat dari kualitas peserta didik di wilayah barat Indonesia dengan bagian timur Indonesia.
“Anak saya yang SMA sudah mampu menerjemahkan Alquran ke bahasa Inggris, saya saja tidak mampu. Saking terjadi ketimpangan metode pendidikan di wilayah Indonesia Timur dan wilayah Barat,” katanya.
Arif menilai, kondisi pendidikan di Kabupaten Bima lebih banyak mengejar kuantitas output, sedangkan kualitas diabaikan. Belum lagi persoalan kualitas pengajar yang menjadi atensi stake holder berkaitan.
Dia melihat masih ada pola-pola transaksional dalam kegiatan pendidikan di Kabupaten Bima, sehingga memperparah kualitas SMD. Ditambah lagi regulasi yang belum pro menghapus kesenjangan dalam sektor pendidikan. “Kita tidak dituntut harus cerdas, tetapi yang penting selesai (tingkat) pendidikannya sesuai dengan tingkat umurnya (SD, SMP, SMA). Apalagi juga daya kritik kita dikekang, termasuk dalam lingkungan pendidikan,” katanya.
Menurut Arif kualitas literasi di Kabupaten Bima yang rendah merupakan fakta yang tak perlu dibantah. Dia mengamati daya baca dan menulis mahasiswa yang masih rendah. “Bagaimana mau mengubah pendidikan kalau minat baca kawan-kawan minim sekali,” katanya.
Sementara alumni LMND yang juga pemantik diskusi publik tersebut, Djuwaidin menyentil pemangku kepentingan dan para pemimpin bangsa. Menurutnya, implementasi kebijakan pada bidang pendidikan harus memahami dan mampu menafsirkan tujuan perjuangan pendiri bangsa Indonesia.
“Sejak tahun 85 dan di Bima sejak tahun 2006 paket A, paket B dan Paket C tumbuh. Seharusnya anggaran dan program banyak dari sistem paket tersebut berpengaruh dengan kemampuan wajib belajar,” katanya.
Menurutnya, jargon merdeka pendidikan yang hanyalah simbol dan belum terlaksana dengan baik. Demikian halnya soal pendidikan inklusi. “Mengapa saya mengangkat tema ke mana arah pendidikan kita, pendidikan Indonesia yang nggak sampai sampai, pendidikan inklusi yang belum tercapai,” katanya.
Salah satu fakta yang mencengangkan menurutnya, pelaksanaan PLS seperti program paket C seolah-olah menjadi pabrik ijazah. Misalnya ketika ada yang mau menjadi kepala dusun atau kepala desa, hingga pernah muncul kasus ijazah palsu.
Persoalan lain yakni perubahan nomenklatur Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang digabung dengan Riset Dikti, sehingga mengimbau porsi dan kebijakan anggaran untuk sektor pendidikan.
“Sekarang Kemendikbud ditambah menjadi Kemendik Ristek, sehingga Kemendagri masuk ambil di kementerian tersebut, termasuk angkatan darat, angkatan laut, kementerian keuangan yang memiliki juga kegiatan pendidikan mengambil di kementerian tersebut,” katanya.
Dia mengatakan, pendidikan inklusi digambarkan seolah olah arah pendidikan nasional. Padahal pelaksanaannya harus sesuai arah. Yaitu mengakomodir pendidikan dengan kemampuan yang terbatas.
“Seharusnya orang orang tersebut warga belajar yang kemampuan terbatas dan dididik oleh guru berkompetensi pendidikan khusus,” ujarnya.
Ketua EK LMND Kabupaten Bima, Firman menjelaskan, dialog publik yang digelar LMND dimaksudkan menepong situasi kebijakan nasional dan kebijakan lokal daerah, khususnya berkaitan pendidikan.
“Apalagi dengan kebijakan kampus bergerak oleh Mendikbud Nadiem Makarim hanya akan melepas mahasiswa dalam pendidikan di pasar bebas,” katanya.
Ketua Eksekutif Wilayah LMND Provinsi NTB Fikrin, S.Sos mengatakan, masalah pendidikan bukan saja persoalan LMND, namun menjadi masalah semua pihak. Untuk itu, penting memastikan pendidikan dapat diakses seluruh anak bangsa tanpa ada diskriminasi.
“Hari ini di kita tengah dihadapkan persoalan demokrasi yang liberal, biaya politik kita sangat tinggi dan transaksional sehingga melahirkan rezim pro terhadap kapitalis,” ujar alumnus STISIP Mbojo Bima ini..
Dia menyebut sejumlah persoalan pendidikan saat ini di antaranya semakin mahalnya biaya pendidikan, termasuk di tingkat perguruan tinggi. Hal itu menyebabkan sebagian pemuda di desa tidak dapat mengakses pendidikan, khususnya pendidikan tinggi.
“Harus melihat problem pendidikan dan persoalan bangsa sebagai persoalan kita bersama,” katanya.
Kegiatan diskusi publik dihadiri dan diikuti lebih kurang 100 peserta, di antaranya ketua IMM, pimpinan OKP dan UKM internal dan eksternal kampus STKIP Taman Siswa Bima. Kegiatan diakhiri buka puasa bersama para peserta diskusi publik dan pemateri. [B-11]