Bima, Berita11.com— Masyarakat literat di wilayah Kabupaten Bima tampaknya baru sebatas klaim. Karena nyatanya masih banyak ditemukan siswa gagap membaca dan sama sekali tidak bisa membaca, bahkan hingga satuan pendidikan jejang sekolah menengah atas.
Fakta itu diungkapkan beberapa sekolah di Kabupaten Bima. Potret buram siswa gagap membaca diakui beberapa sekolah sejurus dengan minat baca siswa yang berada di titik nadir.
Kepala Sekolah Menengah Kejuruan Taman Madya Baiturrahman Kabupaten Bima, Ica ST, misalnya mengungkapkan, setidaknya empat siswa setempat gagap membaca. Bahkan salah satunya sama sekali belum bisa membaca.
Empat pelajar di SMK Taman Madya Baiturrahman Kabupaten Bima yang gagap dan belum bisa membaca merupakan siswa yang duduk di kelas I dan kelas III. Mereka merupakan alumnus beberapa sekolah menengah pertama negeri di wilayah Kabupaten Bima seperti SMP 2 Bolo Kabupaten Bima yang belum menuntaskan masalah keaksaraan fungsional (KF).
“Ada beberapa siswa kita yang belum bisa membaca. Salah satunya sama sekali tidak bisa membaca. Dari SMP belum bisa membaca,” ujar Ica saat ditemui di Kecamatan Bolo Kabupaten Bima, Senin (9/1/2022).
Menurut guru salah satu SMK Negeri di Kabupaten Bima itu, sekolah setempat sudah menerapkan berbagai usaha dan pola pendekatan serta metodo pembelajaran khusus untuk memecahkan masalah keaksaraan fungsional yang dihadapi sejumlah siswa itu. Namun tidak didukung oleh lingkungan asal sejumlah siswa itu.
Empat siswa sekolah setempat yang bermasalah dengan keaksaraan fungsional berasal dari keluarga ekonomi menengah ke bawah. Siswa yang tidak bisa membaca itu berasal dari Desa Monggo Kecamatan Madapangga, sedangkan tiga siswa lain yang gagap membaca berasal dari Dusun Palisondo Desa Sondosia Kecamatan Bolo Kabupaten Bima. Guru pembimbing konseling di sekolah setempat juga sudah berupaya melakukan komunikasi dengan kerabat siswa.
“Umumnya siswa yang gagap membaca dan tidak bisa membaca sama sekali ini berasal dari keluarga yang ekonomi lemah. Orang tuanya bekerja di luar negeri, ada yang tinggal sama kakek-neneknya dan ada yang tinggal dengan bibinya. Salah satunya itu ikut orang tuanya berlayar (menjadi nelayan),” ujar Ica.
Salah satu siswa yang gagap membaca atau bermasalah dengan keaksaraan fungsional merupakan siswa disablitas yang memaksakan diri ikut bergabung masuk di sekolah umum. “Kami sebenarnya sudah mengarahkan siswa tersebut agar masuk di sekolah luar biasa, tapi dia tidak masuk. Sebagian itu menjadi pencari nafkah, membantu orang tuanya bekerja di laut dan di ladang. Kalau dari kami sudah berupaya maksimal memecahkan masalah ini,” ujar Ica.
Mantan guru SMKN 2 Kota Bima itu menduga, siswa gagap membaca dan sama sekali belum bisa membaca di wilayah Kabupaten Bima bukan saja di sekolah setempat, namun masih banyak juga di sekolah lain. Namun tidak semua sekolah jujur. Siswa yang gagap membaca umumnya belum menuntaskan msalah keaksaraan fungsional pada tingkat sekolah menengah pertama (SMP) dan dianggap aib bagi sekolah yang ‘mengoleksinya’.
“Permasalahan kita di daerah (Kabupaten Bima) daya baca sangat kurang. Bahkan dengan metode literasi digital belum tentu mampu mendorong minat baca. Umumnya siswa memanfaatkan teknologi HP (gadget) untuk bermain game dan menggunakan untuk sosial media,” ujar Ica.
Diakui dia, selama ini sekolah setempat belum mencoba formula baru untuk memecahkan masalah keaksaraan fungsional maupun untuk meningkatkan kehadiran siswa dengan membentuk komunitas sekolah sebagaimana sekolah percontohan yang menjadi pendampingan NGO (OMS) seperti di Desa Sanolo Kecamatan Bolo Kabupaten Bima.
“Kesulitan kita ada dari masalah dukungan orang tua siswa. Umumnya siswa yang tidak bisa membaca tersebut jarang juga masuk sekolah. Biasanya mereka hanya datang saat menjelang ujian atau saat ujian,” ujarnya.
Diungkapkannya, beberapa tahun silam, siswa setempat juga ada yang sampai drop out karena tidak masuk mengikuti kegiatan belajar mengajar (KBM) di sekolah dalam jangka waktu lama. Beberapa siswa setempat juga ada menikah dini saat usia sekolah.
“Biasanya untuk siswa yang lama meninggalkan sekolah kita arahkan untuk pindah ke sekolah lain. Tapi ada juga yang kita ambil jalan tengah dengan memberikan kesempatan untuk mengikuti ujian nasional karena mempertimbangkan masa depan anak,” ujarnya.
Pendidikan Inklusi baru sebatas Jargon, sekolah belum terapkan kurikulum merdeka
Ica juga mengakui masih ada dikotomi antara satuan pendidikan swasta yang bernaung di bawah yayasan dengan sekolah negeri, sehingga pendidikan inklusif masih sebatas jargon. Tidak hanya dari aspek perhatian dan kesempatan akses anggaran, namun juga berkaitan berbagai pendampingan untuk meningkatkan kualitas atau mutu pendidikan.
Dia mencontohkan soal implementasi kurikulum merdeka. Umumnya sekolah swasta seperti SMK Taman Madya Baiturrahman Kabupaten Bima serta sekolah lainnya belum memperoleh pendampingan atau pembekalan tentang kurikulum merdeka. Berbeda dengan beberapa satuan pendidikan beberapa jenjang sekolah negeri.
“Sampai sekarang kita belum menerapkan kurikulum merdeka. Karena dari pusat (Kemendikbud) juga belum mengizinkan untuk menerapkan kurikulum tersebut. Tapi tahun pelajaran depan kami berencana akan mulai menerapkan kurikulum merdeka,” isyarat alumnus Teknik Kimia salah satu perguruan tinggi di Makassar Sulawesi Selatan itu.
Rupanya kasus siswa yang bermasalah dengan keaksaraan fungsional tidak hanya ditemukan di Kecamatan Bolo Kabupaten Bima. Salah satu guru Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Soromandi mengungkapkan beberapa siswa di sekolah setempat masih gagap membaca atau bermasalah dengan keaksaraan fungsional.
“Masih banyak siswa yang belum bisa membaca di SMAN 1 Soromandi,” ungkap salah satu guru yang tidak disebutkan namanya.
Salah seorang guru lain di Kabupaten Bima mengungkapkan, kasus siswa gagap membaca (KF) masih banyak ditemukan pada beberapa satuan pendidikan seperti di Kecamatan Palibelo Kabupaten Bima.
“Kalau ditelusuri dengan baik dan ditanyakan kepada para guru seperti di Kecamatan Palibelo, itu masih banyak kasus siswa tidak bisa membaca. Bahkan hingga satuan setingkat sekolah menengah,” ujar salah satu guru yang enggan namanya disebut.
Pada bagian lain, guru SDN Bajo Kecamatan Soromandi Kabupaten Bima, Ahmad S.Pd mengungkapkan, hingga kini sekolah setempat masih mengimplementasikan kurikulum tahun 2013 (K-13).
Sejumlah guru belum mampu menerapkan kurikulum baru karena belum adanya pendampingan. “Kurikulum lama masih efektif dan cocok diterapkan,” ujar Ahmad.
Beberapa satuan pendidikan swasta di Kabupaten Bima dan Kota Bima yang dihubungi Berita11.com juga mengungkapkan hal sama bahwa mereka belum menerapkan kurikulum merdeka karena belum siap beradaptasi dengan kurikulum baru. Salah satu masalahnya karena belum ada pendampingan maupun pelatihan berkaitan implementasi kurikulum baru tersebut.
Hal yang sama juga diungkapkan salah satu pimpinan madrasah Zainul Wathoni NW di Kecamatan Pekat Kabupaten Dompu, Ustadz Mahrup. Madrasah setempat belum siap menerapkan kurikulum merdeka, karena selama ini juga belum pernah mendapatkan pelatihan terkait berbagai indicator kurikulum merdeka.
Sebelumnya Ketua Komisi IV DPRD Kabupaten Bima, Ilham Yusuf SH mengingatkan organisasi perangkat daerah berkaitan, khususnya Dinas Dikbudpora Kabupaten Bima agar menekankan seluruh sekolah menggunakan data ril dalam data pokok pendidikan (Dapodik). Misalnya melaporkan data ril soal siswa drop out. Bukan menggunakan data fiktif sehingga menggelembungkan data penerima bantuan operasional sekolah.
Legislator beberapa periode itu menekankan agar Dinas Dikbudpora memerhatikan kasus siswa putus sekolah atau drop out. Termasuk memecahkan beberapa masalah dalam kegiatan belajar mengajar yang dihadapi siswa seperti masalah KF.
Ilham mencurigai indeks pembangunan manusia atau human development index (HDI) Kabupaten Bima yang berada di urutan paling terakhir dari kota dan kabupaten yang berada di Pulau Sumbawa berkaitan erat dengan mutu pendidikan, termasuk data drop out yang kemungkinan belum dilaporkan secara jujur.
Bagaimana tanggapan OPD leading sector pendidikan? Kepala Dinas Pendidikan, Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Bima, Zunaidin MM yang dihubungi melalui telepon tidak merespon. Demikian saat dikonfirmasi melalui pesan layanan media sosial whatshapp. Mantan Kepala Dinas Kependudukan dan Pecatatan Sipil Kabupaten Bima itu hanya membaca pesan yang dikrim wartawan. Namun tidak membalas pertanyaan konfirmasi berkaitan temuan kasus keaksaraan fungsional dan masalah literasi di Kabupaten Bima.
Secara terpisah, Kepala Unit Pelaksana Teknis Layanan Pendidikan Menengah Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus (UPT Dikmen PK PLK) Bima, Anwar, saat dikonfirmasi wartawan, mengarahkan agar berkoordinasi dengan pihak yang menangani kesiswaan di UPT setempat. [B-19/ B-17/ B-22]