HUT ke-76 RI, Momentum Berbenah untuk Indonesia yang lebih Jaya

Foto Penulis.

AMRIN*)

Bacaan Lainnya

Secara kasat mata, kita melihat masih banyak hal yang harus dibenahi di negara tercinta ini. Akan tetapi sebelum kita bertindak dan melangkah ke hal-hal besar, alangkah baiknya kita semua mengubah dan membenah diri sendiri ke arah yang lebih baik. Dengan pondasi positif yang tertanam dalam diri, itu juga merupakan bagian dari mengubah bangsa ke arah yang lebih baik. Karena kita melihat nilai-nilai moralitas masih belum tercermin dari anak bangsa sebagai tongkat estafet perjuangan bangsa. Dalam hal ini, pendidikan adalah solusi konkrit dari krisis moralitas yang tengah terjadi.

Penanaman akhlak, budi pekerti yang baik merupakan sebuah keharusan dalam mengatasi hal ini. Juga dengan penanam nilai-nilai religiusitas (agama) menjadi bagian terpenting terhadap tumbuh kembang karakter anak bangsa yang akhlakul mulia. Sungguh miris ketika kita melihat beberapa hari yang lalu beredar informasi dari Kementrian Pendidikan tentang kebijakan penghapusan pembelajaran agama di tatanan pendidikan Indonesia. Entah ini hoaks atau disinformasi, tapi memang hal itu menjadi krusial adanya. Ketika krisis moralitas terjadi sungguh tolol bilamana pembelajaran agama di hapus.

Saya menilai, bangsa ini rusak bukan semata-mata efek atau tekanan dari pihak luar, akan tetapi yang lebih disayangkan yakni dari pihak dalam itu sendiri. Siapa itu? Yah, tentu dari anak bangsa itu sendiri yang nilai moralitasnya sudah terkikis habis atau bahkan bisa kita katakan tidak bermoral. Minimnya bentuk cinta kasih, bentuk nasionalisme serta patriotisme dalam berbangsa dan bertatanegara merupakan hal buruk yang berimbas pada lambatnya kemajuan bangsa indonesia.

BACA JUGA: Kerja Sama dengan Pemkab Dompu, BINDA NTB Gelar Vaksinasi di Masjid Agung Baiturrahman

Dalam banyak kasus yang merusak dan menghambat kemajuan bangsa Indonesia yakni maraknya tindakan korupsi yang di lakukan oleh anak-anak bangsa. Di negara kita tindakan korupsi masih sering terjadi dan merajalela. Uang rakyat yang bertujuan untuk memakmurkan serta mewujudkan masyarakat yang sejahtera dibabat habis oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Mereka adalah elit-elit yang berdasi mewah dan telah disumpah oleh kepercayaan rakyat dengan jabatan yang tinggi, tapi masih melakukan hal-hal buruk yang berimbas pada lambatnya kemajuan sebuah bangsa. Sungguh miris bukan? Merekapun bukan orang yang bodoh. Mereka adalah orang-orang intelektual dan berpendidikan tinggi tapi masih juga melakukan tindakan negatif yang bertentangan dengan hukum.

Sumpah saja dilanggar, apalagi hukum. Inilah bentuk krisis moralitas. Sebab orang yang bermoral tidak mungkin melakukan hal tersebut. Hukum yang seharusnya menjadi momok menakutkan kini beralih hanya sebatas maklumat yang dipajang seperti hal-nya pengumuman yang tiada artinya bagi para pelanggar hukum. Bentuk kesaktian dari peraturan hukum di negara kita masih jauh dari harapan. Aturan hukum yang dibuat sebagai efek jera bagi pelanggar-pelanggar hukum, kini dibungkam oleh tindakan buruk suap sana-sini yang akhirnya berdimensi pada romantisme suap menyuap untuk melemahkan hukum.

Sungguh miris, ketika kita melihat di media nasional banyak sekali penegak-penegak hukum yang disuap oleh para koruptor atau pelanggar hukum lainya. Bentuk keadilan dari peraturan hukum yang dibuat belum sepenuhnya diberlakukan sebagaimana mestinya oleh para penegak hukum yang kita anggap “Tuhan” sebagai penegak yang seadil-adilnya di negara ini. Apa jadinya bila hukum di negara kita masih tidak berarti bagi mereka mereka yang mempunyai jabatan tinggi atau uang yang melimpah? Entahlah, mungkin akan banyak indikasi pelanggaran hukum berat lainya yang akan terjadi bilamana hukum di negara kita sudah hilang kesaktianya.

BACA JUGA: Gukanan Bekas Sampah, Mahasiswa STKIP Tamsis Sukses Poles Kampung ini jadi Indah

Maka dari itu saya menilai, perlu adanya gerakan revolusi moral. Saya tidak menilai bahwasanya kita semua tidak bermoral, akan tetapi sebagian dari kita sudah terkikis terhadap nilai yang dimaksud. Penanaman nilai moral bukan hanya tertuju pada anak SD, SMP, SMA atau mahasiswa, tapi menyeluruh pada seluruh masyarakat Indonesia, lebih lebih untuk pejabat-pejabat atau orang-orang penting di negeri ini.

Dalam momentum hari kemerdekaan ke-76 Indonesia pada 17 Agustus 2021, pertanyaan yang kemudian muncul adalah, benarkah kita mencintai negara ini? Mencintai yang dimaksud ialah bukan pada bendera merah putih-nya, nama Indonesia-nya,burung garudanya atau letak geografisnya. Akan tetapi mencintai yang dimaksud adalah melindungi, memakmurkan, dan mensejahterakan setiap yang ada di dalamnya.

Jika kita paham sejarah, sungguh amat pedih, sungguh amat sedih ketika kita melihat para pahlawan bangsa berjuang dalam upaya memertahankan keutuhan negara dari penjajah sampai berhasil meraih kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Dengan rekam jejak historis tumpah darah tersebut, sungguh kejam bilamana kita menghianati perjuangan para pahlawan dengan menjadi aktor perusak yang membuat lambatanya negara ini untuk bisa terbang tinggi.

Tentu kita semua menginginkan dan mengidamkan agar bangsa Indonesia bisa terbang tinggi dan menjadi negara yang maju. Maka dari itu, berbenah dan bergerak bersama membangun indonesia dengan kerja nyata, bukan hanya sekadar wacana. Negara ini butuh kemajuan bukan hanya omongan. Berkolaborasi dan membangun sinergitas untuk Indonesia yang lebih maju (*)

Penulis adalah Ketua BEM STKIP Taman Siswa Bima/ Founder Persatuan Mahasiswa Palibelo Bima (PMPB) Ketua Umum PMPB 2020/2021.

Pos terkait