Ustadz Imanuddin: Soal Ranah Fiqih Ikhtilaf harus Pendekatan Ilmu, tak Boleh Pecah

Ustadz Imanuddin (Kanan) Bersama Pengurus DKM Sudirman Kampus STKIP Taman Siswa Bima.
Ustadz Imanuddin (Kanan) Bersama Pengurus DKM Sudirman Kampus STKIP Taman Siswa Bima.

Bima, Berita11.com— Ustadz Imanuddin menyerukan kepada umat Islam di Bima agar tidak terkotak-kotak karena perbedaan cara pandang dalam urusan fiqih atau fiqih ikhtilaf. Untuk menyelesaikan perbedaan tentang urusan tata cara ibadah harus melalui pendekatan ilmu.

Dikatakan ketua Gerakan Anti Maksiat (GAMIS) Bima ini, dalam mayoritas masyarakat muslim di Indonesia dikenal adanya empat mazhab. Yaitu Imam Syafie, Imam Hanafi, Imam Hambali dan Imam Maliki. Berkaitan pelaksanaan Ibadah dan cara ibadah sudah terjadi ikhtilaf sejak lama.

“Hal ini mungkin disebabkan dipengaruhi kita yang di Indonesia menganut empat mazhab, Syafie, Imam Hambali dan seterusnya. Lalu dalam masyarakat kehidupan kita beragama, selalu ada terjadi perbedaan. Bahkan tidak sedikit yang menimbulkan perdebatan hingga perpecahan. Kalau saya umat islam menyikapinya dengan ilmu saja. Hanya ilmu yang bisa mengklarifikasi itu, misalnya dalam perkara ibadah,” ujarnya kepada Berita11.com, Kamis (19/8/2021).

Dijelaskan Magister Psikologi yang juga akademisi STKIP Taman Siswa Bima ini, terdapat dua perkara ibadah yaitu ibadah mahdhah seperti wudhu, tayammum, puasa, salat, mandi hadast, haji, umrah dan ibadah ghairu mahdhah atau amalan yang diizinkan Allah walaupun tidak ada dalil yang jelas yang memerintahkan amal tersebut.

“Ibadah mahdhah itu sudah diatur oleh nabi tentang tata caranya waktu, tempat, jumlah dan seterusnya. Kemudian sebaliknya ada ghairu mahdhah yang sifatnya universal. Misalnya makan dengan membaca bismillah, itu juga ibadah atau misalnya tidur dengan membaca doa tidur dan bangun membaca doa, itu juga merupakan bagian ibadah,” katanya.

Dikatakan pengajar Pondok Pesantren Al Madinah Kecamatan Bolo ini, memang sering terjadi perbedaan dalam perkara fur’iyah atau cabang ibadah. Terutama berkaitan bid’ah fiqih, seperti soal yang salat mendekatkan tangannya di dada ketika duduk tahiyat (tasyahud), ada yang menggerakan jari dan ada juga yang tidak menggerakannya.

“Hal-hal seperti kalau bersandar pada ilmu yang benar, maka tidak ada perlu ada hal yang diperdebatkan atau dipertentangkan atau bahkan tidak bisa mencentus perpecahan. Sebab di dalam ushul, perbedaan pendapat (ikhtilaf) yakni ikhtilaf tanawu, yakni ikhtilaf yang oleh para ulama boleh diberikan kebijaksanaan yang melaksanakan ibadah, dengan dasar ilmu masing-masing,”

BACA JUGA: Trending Topic di Twitter Rencana Pertemuan LGBT se-ASEAN di Jakarta, ini Respon Ormas dan Akademisi di Bima

“Umpama dia mau pakai pendapat Imam Syafie silakan, kemudian yang mau pakai pendapat yang lain silakan, selama kedua-dunya punya dasar dalil, punya dasar ilmu. Selama itu baik-baik saja, tidak ada masalah dengan amal ibadah orang itu. Tentu di atas ilmu,” ujarnya.

Demikian juga berkaitan perkara perbedaan pendapat tentang qunut. Masing-masing memiliki pendapat dan dalil atau dasar.

هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ “Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” [Al-Hajj/22:78]

Dari Amr bin Al-‘Ash Radhiyallahu ‘anhu, berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ. “Apabila ada seorang hakim mengadili maka ia berijtihad, lalu ia benar (dalam ijtihadnya) maka ia mendapatkan dua pahala, apabila ia mengadili maka ia berijtihad, lalu ia salah maka ia mendapatkan satu pahala” [Hadits Riwayat Imam Bukhari]

Pengajar Madrasah Aliyah Negeri ini juga menyesalkan informasi adanya Jemaah yang bergeser melaksanakan ibadah di masjid lain, hanya karena masjid di sekitar tempat tinggalnya berbeda mazhab dengannya.

“Saya kira itu sikap dan cara beragama yang perlu kita juga koreksi, karena sikap beragama seperti itu, tidak menguntungkan Islam itu sendiri karena menganggap semua orang itu salah tanpa ada tabayun, tanpa upaya penyempurnaan dari ilmu-ilmu yang dianggap kurang dan sebagainya,” ujarnya.

Dikatakannya, sikap umat muslim yang melaksanakan ibadah, ketika ada perbedaan cara pandang, yaitu dengan mendatangi saudaranya (Jemaah lain). “Mungkin berbeda dengan kita. Kalau pun mereka belum memiliki ilmunya, kita berikan ilmunya, kita berikan penjelasannya. Adapun urusan nanti mereka tidak bisa menerima, tidak mau mengamalkan apa yang kita berikan itu, perubahan orang itu bukan tanggung jawab kita,” ujarnya.

BACA JUGA: Tiba di Kota Bima, Tim Medis RS Apung Malahayati Target Tangani 500 Pasien per Hari

Dai yang dikenal Ustadz Imam Mujahid ini, juga mengingatkan perkara seseorang dapat menerima tentang dalil atau ilmu yang disampaikan, bukan dengan harus mengubah seseorang atau kelompok.

“Karena kita akan kembali pada hidayah, kewajiban kita memberikan ilmu, mendakwakan mereka. Nabi tidak pernah dituntut untuk mengubah seluruh manusia itu menjadi manusia yang baik, manusia yang bertakwa, tidak. Nabi hanya dibebankan untuk mendakwakan saja. Nabi Nuh berdakwah sekian ribu tahun, anak dan istrinya sendiri tidak mampu dia menjadikan mereka beriman dan mengikuti Nabi Nuh, begitu juga Nabi Muhammad, pamannya sendiri yang mendukung dakwahnya Nabi, tidak mampu juga Nabi menjadikan pamannya itu orang yang beriman, karena perubahan orang itu adalah peran hidayah, ini hak prerogative Allah,” ujarnya.

إِنَّكَ لَا تَهْدِى مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يَهْدِى مَن يَشَآءُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ بِٱلْمُهْتَدِينَ

innaka laa tahdii man ahbabta wa laakinnalloha yahdii may yasyaaa’, wa huwa a’lamu bil-muhtadiin

Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. [QS. Al-Qasas Ayat 56]

Kaitannya dalam perkara ikhtilaf, Ustadz Imanuddin melalui wadah Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) Kabupaten Bima dan para dai lain melakukan kegiatan safari seperti kultum pada Ramadan 1442 Hijriah lalu, dalam rangka menyatukan umat Islam atas fitnah keterbelahan, sikap kegamangan menyikapi ranah-ranah fur’iyah atau cabang soal pelaksanaan ibadah yang terjadi di tengah masyarakat.

Secara umum dalam ranah fiqih ikhtilaf atau perbedaan pendapat ulama mazhab dalam ranah fiqih Islam terdapat beberapa hal, di antaranya ikhtilaf tercela yang didasarkan pada Alquran surah Al Maaidah ayat 14, ikhtilaf yang boleh berdasarkan surah Al Hajj ayat 78 dan ikhtilaf tanawwu seperti perbedaan pendapat di antara para sahabat seperti tentang masalah bacaan Alquran. [B-17]

Pos terkait