NTB belum Siap Menuju Generasi Emas 2045

Rohman Rofiki. Foto Ist.

Rohman Rofiki

Nusa Tenggara Barat (NTB) adalah sebuah provinsi di wilayah Indonesia bagian tengah yang dihuni oleh 5. 126 juta (2020) dikutip dari Wikipedia.

Dilansir dari beberapa media bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi NTB resmi menetapkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) untuk Pemilu 2024 berjumlah 3.918.291 pemilih.  KPU NTB juga menyebutkan jumlah pemilih mileneal atau generasi Z pada pemilu 2024 secara nasional cukup signifikan, yakni mencapai 56,39 persen atau 116 juta jiwa. Dari jumlah itu, sebanyak 54,04 persen atau 2,1 juta jiwa pemilih milenelal berada di NTB dari total 3,9 juta pemilih.

Dari angka tersebut telah menggambarkan populasi milenelal dan gen Z begitu signifikan yang menandakan jantung Nusa Tenggara Barat berada di anak-anak muda.

Indonesia sendiri menghadapi beberapa tantangan seperti bonus demografi, distrupsi teknologi, dan tidak kalah penting yaitu visi besar Indonesia Menuju Generasi Emas di 100 tahun kemerdekaannya. Namun dalam mewujudkan visi besar tersebut tentu dibutuhkan kolaborasi multisektor dengan seluruh elemen dari tingkat pusat sampai ketingkat terbawah. Atas dasar itu, terkhusus di Nusa Tenggara Barat terlihat belum siap untuk ikut serta dalam mewujudkan visi besar Indonesia tersebut yang ditandai beberapa hal, di antaranya:

Milenial, Gen Z dan Biaya Pendidikan

Dari tiga indikator yang dihadapi Indonesia tentu kebutuhan milenial dan Gen Z harus disuplai alat pendukung dalam memperbaiki sumber Daya manusia (SDM) meskipun dalam bentuk kebijakan,  terutama dalam hal pendidikan. Karena pendidikan juga adalah leading sector kemajuan sebuah negara maupun daerah.

Menurut data BPS pada tahun ajaran 2020/2021 pengeluaran tertinggi mahasiswa untuk pendidikannya sekitar 21,1 juta per tahun, sedangkan menurut data OJK (Otoritas Jasa Keuangan), pengeluaran mahasiswa meningkat 10 – 12 persen setiap tahunnya. Artinya jika dikorelasikan dengan tahun ajaran 2023/2024, maka pengeluaran tertinggi mahasiswa pada tahun ini sekitar lebih kurang 27,3 juta per tahun dan ini belum termasuk biaya tempat tinggal yang terus juga mengalami kenaikan.

Jika ditelisik lebih dalam, penghasilan orang tua di Indonesia, sekitar 5,3 persen per tahun. Anggaplah pendapatan per tahunnya lebih kurang Rp72 juta yang jika dibagi dalam satu bulan menghasilkan Rp6 juta. Berarti biaya kuliah tersebut sekitar lebih kurang 35 persen dari gaji. Itupun baru untuk satu anak, bayangkan bila membiayai dua anak sekaligus. Sudah pasti mereka terseret dalam keuangannya. Bahkan yang paling ekstrem mengambil jalan pintas pinjaman.

Di tengah meningkatnya biaya pendidikan, pemimpin atau orang nomor 1 di NTB pada tahun ini, yang seharusnya hadir di tengah-tengah populasi rakyat yang ada di NTB, malah melahirkan kebijakan-kebijakan yang kontraproduktif. Salah satunya ialah penghapusan beasiswa untuk anak-anak di NTB, mirisnya malah menganggap beasiswa menjadi sesuatu beban di APBD dan lebih memilih berencana merenovasi gedung kantor yang senilai lebih kurang Rp40 miliar.

Disrupsi Teknologi Dan Kecakapan Digital

Di tengah kondisi perekonomian Indonesia dipukul mundur oleh pandemi Covid-19 serta memanasnya geopolitik Kawasan, perubahan iklim, era disrupsi teknologi dan tantangan masa depan yang berat. Maka persatuan dan kesatuan seluruh elemen bangsa sangat diperlukan.

Kaum muda harus memahami nilai-nilai keberagaman yang ada serta mampu menjadi pelopor tumbuh kembangnya praktik-praktik pluralitas di tengah-tengah kehidupan rakyat terlebih di era distrupsi teknologi ini.

Pada momentum pesta demokrasi ini tidak jarang menampilkan narasi yang dibalut dengan isu-isu SARA (suku, agama dan ras) yang dapat memicu tumbuhnya polarisasi dan potensi konflik. Kehadiran teknologi dengan beragam media sosial dapat mempercepat proses-proses manakala diisi dengan dengan narasi yang mengadu domba dan memecah belah. Oleh sebab itu, kehadiran dan peran kaum muda sangat penting untuk mempromosikan pluralisme melalui media sosial. Kaum muda dapat mengisi kanal-kanal media sosial  dengan cara yang positif dan inspiratif untuk memperkuat keberagaman.  Namun alih-alih mengisi kanal-kanal positif, peran pemerintah harus dipertanyakan dalam memfasilitasi dan menyuplai alat pendukung baik secara moril maupun fisik dalam hal kecakapan digital.

Jarang terlihat, program Pemerintah Provinsi NTB yang bersifat berkelanjutan sampai ke tingkat paling bawah dalam mewujudkan kecakapan digital. Jadi, tidak heran generasi di NTB memanfaatkan digitalisasi hanya sebgai alat eksplorasi yang pada akhirnya menimbulkan karakter individualistik, demoralisasi dan diskriminasi.

Di sisi lain, pergeseran gaya hidup yang membuat kehidupan manusia tidak jauh dari digitalisasi atau internet terkadang bertolak belakang dengan kebijakan-kebijakan yang seharusnya dipenuhi. Beberapa daerah di NTB sampai saat ini masih ada yang belum tersentuh jaringan internet. Jadi, dengan kondisi ini NTB belum siap mewujudkan generasi emas 2045 karena yang ada hanya ada relasi dan omong kosong.

Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan dan Anak

Mendidik satu perempuan sama halnya dengan mendidik 100 atau 1000 generasi. Sebuah ungkapan peran penting perempuan dan anak dalam mewujudkan visi besar Indonesia. Namun di NTB tersendiri kasus kekerasan terus meningkat setiap tahunnya.

Pada tahun 2023 terbilang cukup tinggi yaitu sekitar 353 kasus yang terjadi di seluruh kabupaten/kota di NTB, sementara pada bulan Januari 2024 laporan kekerasan seksual sudah mencapai 24 kasus, sedangkan pada tahun-tahun sebelumnya berdasarkan data Unit PPA Polda NTB kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak yang ditangani pad tahun 2021 sebanyak 188 kasus begitu juga dengan tahun 2022 dengan 188 kasus.

Jika para generasi di NTB terus dihadapi dengan kondisi ini ditambah dengan kebijakan yang kontraproduktif, maka yakin dan percayalah NTB akan tidak ikut serta mewujudkan visi besar Indonesia di 100 tahun kemerdekaan dalam mewujudkan generasi (*)

Penulis adalah Ketua Eksekutif Wilayah Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Nusa Tenggara Barat.