Ketika Media Sosial Menjadi Sembilu

Ilustrasi.
Ilustrasi.

Di kampung pesisir, angin bersaksi,

tentang cinta yang retak di gubuk sunyi.

Bacaan Lainnya
Pendaftaran%20Maba%20UM%20Bima

Namanya tak lagi disebut lantang,

seorang istri, perempuan yang malang.

Ia menanak harapan dalam periuk tua,

menyulam senyum di antara badai dan doa.

Tapi malam itu, bukan bulan yang datang,

melainkan dendam, di wajah seorang suami yang bimbang.

Cekcok kecil, seperti bara,

tentang utang di rentenir yang kian membara.

Lalu satu unggahan di dunia maya,

membuka aib, menelanjangi luka.

Harga diri bagai ombak yang menerjang,

dan cinta, hanyut tanpa pegangan.

Di hadapan anak dan langit kelabu,

BACA JUGA: Ditegur agar tak Tenggak Miras saat Ramadan, Suami Tega Tusuk Istri

ia rebah, darahnya membasahi tanah Hu’u.

Mengapa harus nyawa yang jadi tebusan?

Mengapa bukan ampun, bukan pelukan?

Apakah marwah lebih mahal dari hidup?

Atau malu kini bertangan tajam dan hidup?

Kepada laut Hu’u, bawalah kisah ini,

tentang perempuan yang mati karena utang dan iri.

Dan kepada angin, bisikkan pada dunia,

bahwa kemarahan bukan alasan membunuh cinta.

Pos terkait