Mataram, Berita11.com— Raja Jayengrane gundah. Tokoh sentral dalam dunia pedalangan wayang Sasak itu mendapati realitas bahwa wayang Sasak mulai ditinggalkan oleh publiknya. Ia kemudian memerintahkan Raden Umar Maye, orang kepercayaannya, untuk encari tahu kebenaran informasi tentang keberadaan wayang Sasak itu. Umar Maye diperintah menuju China, menemui raja Ong Te te.
Tanpa pikir panjang berangkatlah Umar Maye menuju China. Dalam perjalanan beberapa tokoh jahat menghalangi langkahnya. Tak mau misinya gagal, Umar Maye langsung memerangi tokoh-tokoh jahat itu. Tapi jawaban belum juga ditemukan, Umar Maye tenggelam dalam kesedihan mendalam.
Dalam kegundahgulanaan itu muncullah Raden Umar maye dalam wujud wayang botol. Raden Umar Maye Wayang botol hadir menghibur. Dia mengabarkan bahwa informasi tentang wayang Sasak yang tak lagi dicintai, tidak benar adanya. Masih banyak orang-orang yang mencintai wayang Sasak. Untuk membuktikan ucapannnya, Raden Umar Maye wayang Botol mengajak semua hadirin bersaksi bahwa mereka mencintai wauang Sasak.
“Raden Umar maye… don’t worry we love You… we love wayang Sasak..” kata hadirin serentak. Tapi Raden Umar Maye masih tak percaya. Rupanya dia tak mengerti apa yang diucapkan para hadirin. Raden Umarmaye wayang Botol kemudian sekali lagi mengajak para penonton untuk bersama-sama bersuara dalam bahasa Sasak, “Raden Umar Maye… ndak dedih… Tiang selapuq cinta wayang Sasak.” Mendengar ucapan itu, barulah Raden Umar Maye lega. Dia kemudian pulang ke kerajaan untuk melaporkan kabar gembira itu pada Raja Jayengrane.
Potongan adegan wayang berjudul Negero Percinan itu dimainkan secara kolaboratif olah Dalang wayang kulit sasak Haji Safwan dan dalang wayang botol Abdul Latief Apriaman. Pertunjukan singkat wayang itu digelar Sekolah Pedalangan Wayang Sasak (SPWS) di Gedung Akademi Seni Nasional Beijing, pada 25 November 2024.
Selain menggelar pertunjukan wayang, perwakilan SPWS hadir di Beijing atas undangan CRIHAP—sebuah lembaga Pusat Pelatihan Internasional Warisan Budaya Tak benda di Kawasan Asia-Pasifik di bawah naungan UNESCO. SPWS terpilih menerima sertifikat dari CRIHAP sebagai salah satu dari 27 lembaga se Asia Pasifik yang dinilai telah melakukan upaya penyelamatan Kekayaan Budaya Tak Benda (ICH). Tiga orang perwakilan SPWS diundang menghadiri acara ini, masing-masing Ketua Yayasan Pedalangan Wayang Sasak, Abul Latief Apriaman, Pendiri Sekolah Pedalangan Wayang Sasak, Fitri rachmawati, dan Kepala Sekolah pedalangan Wayang Sasak, Ki dalang Haji Safwan.
Selain perwakilan lembaga penerima sertifikat, perhelatan itu juga dihadiri oleh sejumlah fasilitator untuk Kekayaan Budaya tak benda UNESCO yang hadir dari beberapa negara seperti Afrika, Brasil, Thailand, Korea, Jepang, berikut Dierektur dan staf CRIHAP selaku tuan rumah acara.
Bagi SPWS, perolehan sertifikat tersebut adalah sebuah kehormatan, dan buah dari kupaya pelestarian dan pengembangan wayang Sasak yang sudah sembilan tahun dijalankan sejak berdiri pada 29 Maret 2015 silam. Tentu saja pengakuan itu bakal menjadi penyemangat untuk kerja-kerja selanjutnya. SPWS dengan program-programnya ingin menjaga agar wayang Sasak tetap lestari; Agar Kita Tak Hilang Jejak.
Jejak Sekolah Padalangan Wayang Sasak
Ketua Yayasan Pedalangan Wayang Sasak, Abul Latief Apriaman menjelaskan, kehadiran rombongan SPWS di Gedung Akademi Seni Nasional Beijing atas undangan CRIHAP adalah buah dari cinta yang sudah ditebar para pendahulunya, para orang tua, para penjaga tradisi dan budaya yang tak ada lelahnya.
“Pertama-tama kami ingin menyampaikan terimakasih yang tak terhingga kepada CRIHAP atas kesempatan yang diberikan kepada kami untuk bisa hadir di tempat terhormat ini,” ucap Abdul Latif Apriaman.
Ia mengulas perjalanan SPWS, pada suatu hari di tahun 2011, menyaksikan sebuah pertunjukan wayang Sasak di Taman Budaya Mataram. Awal pertunjukan terdapat puluhan penonton, termasuk anak-anak menyaksikan jalannya pertunjukan, tapi seiring berjalannya waktu, satu persatu para penonton itu pergi, dan di akhir pertunjukan kami mendapati hanya ada sekitar lima orang penonton yang bertahan.
Pemandangan itu sebutnya, sangatlah berbeda dengan masa masa kecil dia dahulu. Saat itu pertunjukan wayang sangat sering ditemui di desa maupun kota, pada perayaan pesta perkawinan, maulid nabi, atau pun di perayaan hari kemerdekaan. Pertunjukan wayang sangat disukai, tak jarang kita temui para penonton, termasuk anak-anak yang tertidur di lapangan hingga pertunjukan berakhir. Tapi semua itu kini tinggal kenangan.
Seiring berjalannya waktu, terutama setelah hadirnya beragam media hiburan modern berbasis digital, wayang Sasak mulai tersingkirkan. Jumlah dalang mulai berkurang, pertunjukan wayang Sasak semakin jarang ditemui.
Sebagian besar dalang di Lombok, ungkap Latif, lahir dari keluarga dalang. Kemampuan mendalang diperoleh secara turun temurun. Seorang Dalang mengajarkan ilmu pedalangan pada anak, cucu atau keluarga terdekat mereka. Proses regenerasi ini berlangsung secara alamiah.
“Menurut kami, mendalang adalah keterampilan yang bisa dipelajari siapa saja, tidak mesti keturunan dalang. Atas dasar itulah pada tahun 2015, muncul ide untuk mendirikan Sekolah pedalangan Wayang Sasak. Ide ini lahir dari seorang perempuan, seorang ibu; Fitri Rachmawati,” katanya.
Ia muncul berbarengan dengan sebuah sayembara membuat program seni untuk lingkungan oleh Yayasan RUJAK yang menyalurkan dana SAM. Maka pada 29 Maret sembilan tahun yang lalu, perkumpulan Ideaksi memulai pendirian Sekolah Pedalangan Wayang Sasak. Pada tahun 2016, Sekolah Pedalangan Wayang Sasak, resmi bernaung di bawah Yayasn Pedalangan Wayang Sasak.
“Sekolah kami adalah sekolah informal, beberapa muridnya adalah mereka yang putus sekolah. Kami mengajarkan kelas dalang, kelas musik dan kelas tatah wayang. Selama proses belajar mendalang, para siswa kami sering mendapat undangan menggelar pertunjukan,” katanya.
Ada sekitar 60 kali pertunjukan yang digelar sejak 2015 hingga 2019. Dalam setiap pertunjukan itu Latif dan kawan-kawannya mendapati sebuah kenyataan yang sangat menggembirakan, bahwa penonton terbesar adalah anak-anak. “Ini berarti masih ada harapan besar membuat wayang Sasak tetap lestari, karena ada anak-anak yang masih setia mencintai mereka,” cerita dia.
Pada tahun 2018 ia memperkenalkan wayang botol, karakter wayang yang terbuat dari limbah plastik, dengan bahan utama botol plastik. Wayang Botol adalah media untuk memperkenalkan anak-anak dengan wayang Sasak. Selain itu wayang botol juga menjadi media bagi anak-anak untuk belajar peduli pada lingkungan, mereka belajar bertanggungjawab pada sampah yang mereka produksi sendiri. Tubuh wayang botol bisa menampung sampah-sampah plastik pembungkus makanan ringan, permen, atau coklat, layaknya eco brick.
“Kami menyadari bahwa perkembangan teknologi dan digitalisasi adalah keniscayaan, kami tak mungkin menghindari perubahan global itu. Atas dasar itu wayang Sasak harus berinovasi mengikuti perkembangan zaman,” ujarnya.
Saat covid-19 menyerang seluruh negeri, aktifitas dunia pedalangan wayang Sasak juga sempat vakum, karena larangan berkumpul. Tapi covid meberi pelajaran bahwa teknologi informasi juga bisa mendukung perkembangan wayang Sasak. Setidaknya ada tiga kelompok pedalangan yang kami bantu untuk bisa membuat pertunjukan secara virtual, belajar membuat konten digital dengan telepon genggam, dan menyebarkan karya mereka melalui akun media sosial mereka masing-masing. Kelompok pedalangan yang lain saat ini juga sudah mulai melakukan hal yang sama.
“Semenjak covid-19, kami tak membuka kelas khusus di sekolah pedalangan kami, namun permintaan dari berbagai komunitas, dan sekolah-sekolah untuk belajar membuat dan memainkan wayang Sasak terus bertumbuh. Hal ini membuat sekolah kami tak lagi dibatasi oleh dinding-dinding, ia semakin bisa menjangkau anak-anak dari berbagai desa di Pulau Lombok,” ujar Latif.
Menggunakan wayang Latif dan kawan-kawan melaksanakan SIBATUR, sebuah gerakan literasi berbasis seni tradisi yang melatih empat kemampuan dasar; simak, baca, tulis, dan tutur. Menggunakan wayang botol dalam gerakan literasi ini. Bekerja sama dengan Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Nusa tenggara Barat.
“Kami melatih mahasiswa-mahasiswa menjadi relawan gerakan SIBATUR dan hari ini, kami patut bergembira, terdapat 39 sekolah di Lombok yang sudah menjalankan gerakan literasi SIBATUR menggunakan media wayang Botol,” kata dia.
Latif menjelaskan, menjalankan aktifitas pedalangan di Lombok hari ini, belum bisa menghasilkan keuntungan ekonomi. Bayaran untuk sebuah pertunjukan wayang sasak sangatlah murah, tidak bisa dijadikan penopang ekonomi keluarga. “Tapi kami mendapati kelompok-kelompok pedalangan yang terus bertahan. Kenapa bisa mereka melakukan itu?” kata Latif.
Latif bercerita, salah seorang gurunya, Amaq Inti yang sudah tutup usia tahun ini memberikan jawaban kepada ia dan kawan-kawan; bahwa tidak ada kekuatan yang bisa membuat mereka bertahan, kecuali cinta. Karena Cinta mereka bersedia menjaga keberlangsungan wayang Sasak.
“Minggu kemarin, sebelum kami berangkat ke forum ini, kami terlibat Festival Seni NTB. Di festival itu kami mengambil sebuah lapak kecil untuk mengenalkan wayang. Selama pameran, kami menjumpai, bahwa yang paling tertarik mendatangi lapak kami adalah anak-anak, mereka dengan riang gembira bisa menyentuh langsung dan memainkan wayang,” ujar Latif.
Mereka memiliki mimpi menjadi dalang. Mereka mencintai wayang Sasak dengan tulusnya. “Kami melihat ada harapan masa depan cerah pada dunia pewayangan di Lombok. Tugas kami selanjutnya adalah memberikan ruang tumbuh yang sehat bagi berseminya cinta anak-anak itu, agar kelak mereka bisa mewujudkan mimpinya,” katanya.
Menurutnya, tak ada kekuatan yang lebih besar untuk ia dan kawan-kawannya di Sekolah Padalangan Wayang Sasak bisa bertahan, kecuali kekuatan cinta. “Panjang umur perjuangan, Panjang umur wayang Sasak,” ucapnya. [B-22]
Follow informasi Berita11.com di Google News