100 Hari Kerja Kepala Daerah dan Nasib Ekonomi Lokal

Ilustrasi.
Ilustrasi.

Seratus hari pertama masa jabatan kepala daerah seharusnya menjadi momentum untuk mengeksekusi janji kampanye dan mempercepat pemulihan ekonomi lokal. Namun, di lapangan, banyak kepala daerah justru bergulat dengan realitas fiskal yang kian sempit, dinamika regulasi yang tak menentu, dan belanja daerah yang stagnan.

Hasil beberapa diskusi menunjukkan bahwa kebijakan efisiensi anggaran nasional belum diiringi dengan strategi adaptif di daerah. Akibatnya, kinerja pelayanan publik menurun, daya beli masyarakat melemah, dan belanja pemerintah tidak mampu menciptakan efek pengganda ekonomi.

Bacaan Lainnya
Pendaftaran%20Maba%20UM%20Bima

Harus diakui, dinamika regulasi yang berubah secara cepat tanpa disertai mekanisme transisi yang memadai menciptakan ketidakpastian hukum, sehingga menghambat pelaksanaan program inovatif di daerah.

BACA JUGA: BPD HIPKA Kota Bima Dilantik, Diharapkan jadi Inkubator Bisnis

Terbatasnya ruang fiskal akibat rigiditas alokasi anggaran yang lebih dahulu diarahkan untuk mendanai program-program pusat, membuat kapasitas pembiayaan daerah menjadi sangat terbatas.

Tiga Masalah Kunci:

  1. Kebijakan pusat yang direktif, menyulitkan sinkronisasi program lokal.
  2. Regulasi yang berubah cepat tanpa masa transisi, menghambat inovasi.
  3. Ruang fiskal menyempit, membuat daerah hanya jadi operator anggaran pusat.

Padahal, pada saat yang sama, data BPS menunjukkan ekonomi nasional tumbuh melambat—hanya 4,87% di kuartal I-2025. Ini bukan hanya soal tekanan global, tetapi juga soal belanja pemerintah daerah yang gagal menggerakkan ekonomi lokal.

Tantangan terbesar bagi kepala daerah saat ini bukan sekadar menyusun program, tapi membangun daya tahan ekonomi daerah. Menjadi operator kebijakan pusat tak lagi cukup. Kepala daerah harus menjadi inovator fiskal—membangun PAD, mendorong investasi lokal, dan memastikan belanja daerah menyasar produktivitas sektor riil.

BACA JUGA: Level 3 Covid-19 di NTB dan 100.000 Tiket MotoGP

Pembukaan blokir anggaran oleh pemerintah pusat sebesar Rp 86,6 triliun patut diapresiasi. Namun, tanpa arah belanja yang strategis dan berorientasi pada hasil, dana itu hanya akan habis untuk rapat, studi banding, dan kegiatan seremonial.

Kegiatan di hotel misalnya, kini kembali dibolehkan. Tapi tanpa pembatasan teknis, kegiatan birokrasi ini bisa kembali jadi ladang pemborosan. Sebaliknya, jika diarahkan untuk konsolidasi kebijakan, pelatihan pelayanan publik, atau kemitraan UMKM, maka bisa menyelamatkan industri perhotelan dan sektor jasa lokal.

Ketika fiskal sempit, banyak pejabat justru tergoda mencari celah. Korupsi yang sistemik di daerah bukan lagi soal individu, tapi sudah menjelma dalam bentuk state capture corruption.

Maka, mengelola fiskal bukan sekadar soal anggaran, tapi tentang integritas dan kepemimpinan. (*)

Pos terkait