Hari ini, 28 Oktober 2025, kita kembali mengenang momentum bersejarah Sumpah Pemuda. Sebuah ikrar yang pada tahun 1928 telah berhasil mengubah geografi kesukuan menjadi geografi kebangsaan. Namun, di usianya yang ke-97, Sumpah Pemuda tidak boleh hanya menjadi ritual tahunan yang dipenuhi pidato heroik. Ia harus bertransformasi dari ikrar ke dalam aksi, terutama di tengah tantangan kontemporer yang menciptakan kecemasan bagi generasi muda saat ini.
Era Kecemasan dan Pasifitas Baru
Pemuda Indonesia saat ini hidup di era yang serba cepat, tetapi juga serba cemas. Kecemasan akan masa depan ekonomi, ditandai dengan tingginya angka pengangguran terdidik dan realita upah minimum yang seringkali tak sebanding dengan biaya hidup. Kecemasan akan kondisi sosial, di mana literasi digital seringkali kalah dari bombardir disinformasi, yang mengancam persatuan dan kondusivitas bangsa—nilai inti dari Sumpah Pemuda.
Ironisnya, tantangan ini seringkali berujung pada pasifitas kolektif. Semangat pergerakan yang dulu menjiwai para pemuda 1928, kini sering tereduksi menjadi keyboard warrior atau bahkan apati. Kita melihat adanya kecenderungan untuk menyerahkan sepenuhnya penyelesaian masalah kepada pemerintah atau tokoh politik, alih-alih mengambil peran proaktif sebagai agen perubahan.
Tiga Pilar Aksi Nyata Sumpah Pemuda 2.0
Untuk menghidupkan kembali roh Sumpah Pemuda, pemuda 2025 harus fokus pada tiga pilar aksi nyata:
Pilar Kompetensi dan Ekonomi (Melawan Pengangguran): Kita harus bergerak melampaui kurikulum pendidikan formal yang ada. Pemuda harus menjadi inisiator dalam program skilling dan reskilling mandiri, khususnya dalam bidang Kecerdasan Buatan (AI), data science, dan ekonomi hijau. Fokus tidak lagi hanya mencari kerja, tetapi menciptakan nilai dan lapangan kerja berbasis inovasi yang relevan dengan kebutuhan Indonesia Emas 2045.
Pilar Lingkungan dan Keberlanjutan (Melawan Krisis Iklim): Isu lingkungan dan krisis iklim bukanlah urusan birokrat, melainkan urusan hidup-mati generasi mendatang. Pemuda harus menjadi pelopor mitigasi, mengadvokasi kebijakan ramah lingkungan, dan memimpin gerakan pengelolaan sampah, konservasi hutan, serta energi terbarukan di tingkat lokal. Inilah wujud nyata “satu tanah air” yang harus dijaga.
Pilar Integritas Politik dan Sosial (Melawan Disinformasi): Persatuan Indonesia kini diuji oleh polarisasi dan narasi pecah belah di ruang digital. Pemuda harus menjadi benteng terakhir literasi. Bukan hanya mampu membedakan hoaks, tetapi juga berani menyuarakan kebenaran, menuntut transparansi dan akuntabilitas dari pemimpin, serta menjadi agen persatuan yang merangkul perbedaan, bukan memperuncingnya.
Peringatan Sumpah Pemuda 2025 adalah saat yang tepat bagi kita untuk mengakhiri narasi apatis. Sejarah mencatat, perubahan besar di Indonesia selalu didorong oleh semangat muda yang berani mengambil risiko dan bertanggung jawab.
Mari kita jadikan momentum ini sebagai pemantik untuk bergerak secara kreatif, kolaboratif, dan berintegritas. Hanya dengan mengubah ikrar agung para pendahulu menjadi aksi kontributif yang berkelanjutan, kita dapat memastikan bahwa api Sumpah Pemuda tidak pernah padam, dan cita-cita Indonesia yang tangguh, bersatu, dan berdaya saing dapat terwujud. (Redaksi)





