Kisah Runy Angriani: Dulu Daki Gunung Cari Sinyal dan Dikucilkan, Kini Lulus Terbaik STKIP Taman Siswa Bima dengan IPK 3,98

Runy Angriani. Foto US/ Berita11.com.
Runy Angriani. Foto US/ Berita11.com.

Di balik deretan nama calon wisudawati terbaik STKIP Taman Siswa Bima yang akan dikukuhkan pada 1 November 2025 mendatang, ada satu nama yang menyimpan kisah perjuangan luar biasa. Ia adalah Runy Angriani.

Dengan Indeks Prestasi Komulatif (IPK) 3,98, Runy berhasil menjadi lulusan terbaik dari Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD).

Bacaan Lainnya

Namun, angka 3,98 itu bukan sekadar catatan akademis. Bagi Runy, itu adalah simbol kemenangan atas keraguan, cibiran, dan keterbatasan ekonomi yang telah lama membelit keluarganya.

 

Dikucilkan Karena Ekonomi Terbelakang

 

Runy Angriani lahir di Kelurahan Penatoi, Kota Bima, pada 30 Juni 2003. Ia adalah anak kedua dari empat bersaudara, buah hati pasangan Jakariah dan Nurfaidah.

Latar belakang keluarganya jauh dari kata berkecukupan. Sang ayah, Jakariah, adalah seorang petani yang terkadang harus menggeluti profesi lain, mulai dari tukang parkir hingga buruh kasar di Kota Bima, demi menyambung hidup. Sang ibu, Nurfaidah, adalah seorang ibu rumah tangga.

Kondisi ekonomi keluarga yang terbelakang ini bahkan meninggalkan luka sosial. “Akibat profesi orang tuanya itu… ia pernah dikucilkan oleh tetangga,” demikian sepenggal fakta pilu dalam hidupnya.

Saat teman sebayanya asyik bermain, Runy kecil sudah harus ikut merasakan kerasnya hidup. “Waktu SD saya banyak bantu ibu saya jualan,” kenangnya.

BACA JUGA:  Sering dapat Cibiran, Leni Buktikan jadi Calon Wisudawati Terbaik, Skripsi tanpa Revisi

 

Mendaki Gunung Demi Sinyal Belajar

 

Keluarga ini kemudian menetap di Desa Ntoke, Kecamatan Wera, Kabupaten Bima—sebuah wilayah utara yang terpencil. Di sinilah perjuangan Runy untuk mengenyam pendidikan benar-benar diuji.

Saat ia duduk di bangku SMAN 4 Kota Bima, pandemi Covid-19 melanda. Sekolah dialihkan ke mode daring. Di Desa Ntoke, sinyal adalah barang mewah.

“Kalau waktu pandemi, kalau belajar saya sampai ngajak mama cari jaringan di gunung di Kecamatan Wera, karena susah sinyal HP di sana,” ujar Runy, mengenang perjuangannya mendaki bukit demi bisa belajar online.

 

Cibiran dan Semangat Sang Ibu

 

Lulus SMA, Runy sempat ingin mendaftar SMPTN. Namun, ia terbentur pada hal teknis yang menyakitkan: kolom penghasilan orang tua. Bagaimana ia bisa mengisinya, jika pendapatan ayahnya sebagai petani dan buruh kasar tak pernah menentu?

Cibiran pun datang dari sekitar. “Dulu ada yang bilang, dengan kondisi ekonomi keluarga yang begini, apakah bisa lanjut kuliah apalagi di luar daerah,” cerita Runy sambil berkaca-kaca. “Dulu pernah patah semangat, tapi mama mendorong untuk terus belajar dan tetap semangat.”

Semangat itulah yang membuatnya membulatkan tekad menjadi guru. Baginya, guru adalah profesi mulia yang ilmunya akan terus mengalir meski telah tiada. Lebih dari itu, ia ingin mengangkat derajat kedua orang tuanya, yang pendidikannya terbatas—ayahnya tidak sampai lulus SD dan ibunya hanya tamat SMP.

Jalan itu terbuka ketika Runy mendapatkan beasiswa Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah. Ia mendaftar dan diterima di STKIP Taman Siswa Bima.

BACA JUGA:  Jejak Perjuangan M Yahya, Peraih Cumlaude di UM Bima, Pernah jadi Buruh hingga Aktif di OKP

“Tanpa itu (KIP Kuliah), saya tak dapat membayangkan akan sulit bagi saya meraih cita-cita menjadi sarjana,” katanya.

Di kampus inilah, Runy yang awalnya introvert mulai menemukan panggungnya. Ia yang dulu hanya bisa “curhat” atau menulis apa saja yang ia rasakan di notes HP, kini bertransformasi menjadi pribadi yang percaya diri.

Puncaknya, pada semester enam, ia terbang ke Jawa. Runy mendapatkan kesempatan emas mengikuti Program Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM) di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Jawa Barat, selama lima bulan penuh—dibiayai penuh oleh pemerintah.

“Di kampus ini mimpi saya tercapai, saya bisa mengembangkan potensi diri,” tegasnya.

Runy Angriani dan kawan-kawan.
Runy Angriani dan kawan-kawan.

Lulus Terbaik dengan Tujuh Buku

 

Potensi yang ia kembangkan bukan hanya akademik. Bakat menulis yang ia pupuk sejak SMA kini telah menghasilkan karya. Selama kuliah, Runy berhasil menulis tujuh buku, di antaranya antologi cerpen dan buku pembelajaran berjudul “Potret Pendidikan di Bima”.

Royalti dari hasil menulis buku itu ia gunakan untuk kebutuhan sehari-hari.

Kini, setelah meraih yudisium, Runy tidak bersantai. Ia fokus mempersiapkan diri untuk berburu beasiswa S-2. Ia juga bertekad terus mengembangkan bakatnya, dengan mimpi menulis sebuah novel fiksi.

Ia berharap pemerintah semakin memerhatikan hak cipta karya tulis, agar lebih banyak penulis muda potensial bermunculan. “Banyak yang punya potensi, tapi belum tahu cara mengembangkan seperti apa,” katanya. (US)

Pos terkait