Oleh: Iwan Harsono
(Ekonom kelahiran Bima, Alumni School of Economics, University of New England)
Ada saat-saat dalam perjalanan suatu bangsa ketika sejarah yang lama terdiam tiba-tiba mengetuk kembali pintu kesadaran kita. Penetapan Sultan Muhammad Salahuddin sebagai Pahlawan Nasional bukan sekadar pengakuan negara, melainkan panggilan untuk mengingat siapa kita, dari mana kita datang, dan nilai apa yang ingin kita teruskan kepada generasi setelah kita.
Bagi masyarakat Bima, kabar itu jatuh seperti hujan pertama pada tanah kering yang merindukan musim baru. Ada haru yang sulit digambarkan, karena nama Sultan Salahuddin bukan sekadar bagian dari buku sejarah—ia adalah bagian dari jiwa kolektif Dana Mbojo. Seorang pemimpin yang hidup di masa paling sulit, namun memilih berdiri di atas nilai, bukan di atas ketakutan.
Sultan yang Menjaga Daulat Rakyatnya
Sultan Salahuddin bukan hanya Sultan Bima ke-XIV yang memimpin sejak 1917 hingga wafatnya pada 1951. Ia adalah Sultan yang membawa martabat rakyatnya melintasi penjajahan, pendudukan Jepang, dan masa-masa awal republik. Arsip kolonial menyebutnya “sulit dikendalikan”—sebuah predikat yang dalam bahasa kita berarti pemimpin yang berdiri tegak di atas kebenaran, meski segala tekanan datang menghadang.

Berbagai dokumen sejarah menunjukkan bahwa Sultan Salahuddin menolak tunduk pada kepentingan kolonial. Ia menjaga adat Mbojo, hukum Islam, dan kemandirian Kesultanan Bima. Ia membatasi intervensi Belanda, menolak menjadi alat politik Jepang, dan dengan tenang memastikan bahwa rakyatnya tetap punya ruang untuk bernapas.
Sejarah mencatat: ketika tekanan datang, ia merapat pada rakyat; ketika ancaman muncul, ia merapat pada ilmu. Karena baginya, kekuasaan bukan untuk memperkuat singgasana, tetapi untuk memperluas perlindungan.
Pelajaran untuk Masa Kini: Ekonomi Tanpa Moral Adalah Angka Tanpa Ruh
Dari jejak langkah Sultan Salahuddin, saya memahami bahwa dalam pandangan Islam, kepemimpinan dan ekonomi tidak pernah berdiri sendiri tanpa nilai moral. Para pemikir ekonomi Islam menegaskan hal yang sama. Umer Chapra, salah satu tokoh ekonomi Islam terbesar, mengingatkan bahwa tanpa moral, pembangunan hanyalah deretan angka yang kehilangan tujuan. Nejatullah Siddiqi menyebut bahwa sistem ekonomi yang baik adalah sistem yang “berdiri di atas kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab sosial,” sementara Monzer Kahf menegaskan bahwa keberkahan ekonomi lahir dari amanah dalam pengelolaannya, bukan dari besarnya harta.
Nilai-nilai itulah yang tercermin dalam kepemimpinan Sultan Salahuddin. Beliau mengajarkan bahwa keberanian sejati bukanlah suara keras di medan perang, tetapi keberanian berpihak kepada rakyat kecil meskipun tekanan datang dari segala penjuru. Bahwa institusi yang bersih dan berkeadilan bukan sekadar cita-cita, tetapi benteng tempat martabat manusia ditinggikan. Dan di atas semua itu, beliau menunjukkan bahwa kepercayaan rakyat adalah modal yang jauh lebih berharga daripada kekayaan apa pun—modal sosial yang dalam tradisi Islam menjadi ruh dari pembangunan yang berkeadilan.
Di Bima, amanah itu tumbuh dari keteladanan—dari pemimpin yang menundukkan kepentingan diri demi meninggikan derajat rakyatnya. Dari cara beliau memimpin, saya belajar bahwa pembangunan sejati tidak lahir dari beton dan grafik semata, tetapi dari hati yang jujur, langkah yang amanah, dan keikhlasan memikul tanggung jawab rakyat, sebagaimana diajarkan Islam sebagai inti kepemimpinan yang adil dan rahmah.
Pelajaran untuk Pemimpin Dana Mbojo Hari Ini
Kepemimpinan di Dana Mbojo hari ini, alhamdulillah, berada dalam kondisi yang relatif baik. Banyak pemimpin—baik di pemerintahan, lembaga masyarakat, pendidikan, maupun ruang-ruang adat—telah menunjukkan kerja keras, niat tulus, dan komitmen untuk membangun daerah. Mereka bekerja dalam situasi yang tidak mudah, namun tetap berupaya hadir bagi masyarakat. Justru karena itulah, nilai-nilai dari kepemimpinan Sultan Muhammad Salahuddin menjadi pengingat yang indah—bukan sebagai kritik, melainkan sebagai cahaya moral yang dapat menguatkan langkah para pemimpin kita hari ini.
Sultan Salahuddin mengajarkan bahwa seorang pemimpin tidak boleh berjarak dari rakyatnya. Ia berjalan bersama rakyat, menyelami kegelisahan mereka, dan memberikan ruang agar masyarakat merasa dihargai dan dilindungi. Dalam catatan lisan yang diwariskan generasi ke generasi, sering disebut bahwa Sultan turun langsung menyamar untuk melihat kondisi rakyat tanpa protokol—keteladanan tentang pentingnya empati.
Nilai lain yang tetap relevan adalah menjaga marwah institusi. Bagi Sultan, amanah jabatan tidak boleh dipengaruhi kepentingan sempit. Pelajaran ini mengingatkan kita bahwa integritas dan keteladanan adalah fondasi yang menguatkan lembaga apa pun.
Ketika pendudukan Jepang memaksa Kesultanan menyokong kerja paksa (romusha), Sultan memilih strategi halus untuk menyelamatkan pemuda-pemuda Bima. Ini mengingatkan kita bahwa keberanian moral adalah inti dari kepemimpinan—keberanian mengambil keputusan bijak yang berpihak pada rakyat.
Dan yang paling berharga, Sultan menanamkan nilai Islam sebagai dasar kepemimpinan. Istana pada zamannya bukan sekadar pusat kekuasaan, tetapi pusat pendidikan, akhlak, dan peradaban. Melalui kitab-kitab seperti Ta’limul Muta’allim dan Ihya’ Ulumuddin, beliau membentuk generasi yang rendah hati, beradab, dan sadar bahwa kekuasaan tanpa akhlak hanya melahirkan kesombongan. Nilai ini relevan bagi pemimpin Mbojo hari ini: bahwa pembangunan sejati tidak hanya menata anggaran, tetapi menata hati.
Akhirnya, pelajaran terbesar Sultan adalah bahwa masa depan Bima tidak dibangun oleh megahnya proyek, tetapi oleh integritas, ketulusan, dan keberanian menempatkan rakyat sebagai pusat setiap kebijakan. Itulah cahaya yang diwariskannya—cahaya yang kini harus kita jaga.
Cahaya Kepahlawanan dari Dana Mbojo untuk Indonesia
Penganugerahan Sultan Salahuddin sebagai Pahlawan Nasional adalah pengingat bahwa tanah kecil di timur Nusantara pernah melahirkan pemimpin besar yang menyalakan martabat bangsanya melalui keberanian moral dan pengabdian yang tulus. Dan bagi kita hari ini, generasi penerus Dana Mbojo, tidak ada tuntutan untuk menjadi pahlawan yang sama—yang diminta hanyalah menjaga cahaya itu tetap menyala.
Menjaganya dengan kejujuran yang tidak mudah dibeli oleh kekuasaan. Menjaganya dengan kerja yang sungguh-sungguh, kerja yang lahir dari keikhlasan, bukan pencitraan. Dan menjaganya dengan keberanian menempatkan rakyat sebagai pusat dari setiap keputusan, sebagaimana Sultan enempatkan rakyatnya sebagai amanah tertinggi.
Dan ketika air mata itu menetes lirih, seakan memanggil kembali cahaya leluhur Dana Mbojo, itu bukan kelemahan. Itu adalah tanda bahwa sejarah akhirnya kembali menemukan suaranya—bahwa dari timur Nusantara pernah berdiri seorang pemimpin besar yang cahayanya tak pernah padam, dan kini, cahaya itu menyinari kita kembali*).













