Bima, Berita11.com— Sebanyak 368 lulusan dari enam program studi Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Taman Siswa (STKIP Tamsis) Bima mengiuti prosesi wisuda angkatan XIX di Auditorium Sudirman STKIP Tamsis, Senin (29/10/2024).
Dari 368 orang peserta wisuda, sebanyak 18 orang ditetapkan sebagai wisudawan dan wisudawati terbaik. Mereka adalah Meirizka Hani Putri dari Program Studi Pendidikan Teknoogi Informasi (PTI) dengan IPK 3,98, Reni Anggriani dari Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) dengan IPK 3,96, Julkifli dari Program Studi PTI dengan IPK 3,92, Harunnisa dari Program Studi PGSD dengan IPK 3,95. Irawati Puspitasari dari Program Studi PTI dengan IPK 3,94, Putri Niva Nurviani dari Program Studi PGSD dengan IPK 3,93.
Kemudian, Sri Wulandari dari Program Studi Pendidikan Sejarah dengan IPK 3,81, Febriana Utami dari Program Studi Pendidikan Matematika dengan IPK 3,90, Nurhidayah Turahman dari Program Studi Pendidikan Jasmani, Kesehatan, dan Rekreasi (PJKR) dengan IPK 3,86, Leni Purnama Sari dari Program Studi PJKR dengan IPK 3,83, Nur Marsah Damayanti dari Program Studi Pendidikan Matematika dengan IPK 3,86, Ferbian Ibrahim dari Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris dengan IPK 3,84.
Selain itu, Novitasari dari Program Studi PKJR dengan IPK 3,82, Jul’asro dari Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris dengan IPK 3,69, Asri Rahman dari Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris dengan IPK 3,77, Juleha dari Program Studi Pendidikan Sejarah dengan IPK 3,70, Mutmainnah dari Program Studi Pendidikan Sejarah dengan IPK 3,69, dan Nurenti dari Program Studi Pendidikan Matematika dengan IPK 3,64.
Dalam prosesi wisuda bertema Menjadi Sarjana Pendidikan yang Beradab dan Berdaya Saing di Era Masyarakat Digital tersebut, Ketua STKIP Taman Siswa Bima, Dr Ibnu Khaldun dalam sambutannya, mengatakan, setelah menyandang gelar sarjana pendidikan, tantangan yang dihadapi sarjana tidak mudah.
“Kita hidup di tengah era masyarakat digital yang ditandai dengan segala sesuatu yang bergerak serba cepat; dari arus informasi, perkembangan teknologi, hingga tuntutan dunia kerja dan pendidikan,” kata Ibnu Khaldun.
Dikatakannya, kemajuan membawa banyak manfaat, seperti akses pengetahuan yang lebih luas dan kesempatan kolaborasi global. Namun, di sisi lain, terdapat sejumlah tantangan besar, di antaranya kecepatan yang bisa mereduksi nilai-nilai luhur yang seharusnya menjadi fondasi dalam pendidikan. Ketergesaan bisa membuat orang lebih fokus pada hasil daripada proses, lebih mengutamakan penampilan daripada substansi.
“Di sinilah letak peran saudara sekalian sebagai sarjana pendidikan, di era yang serba instan ini, saudara-saudara harus mampu menjadi pilar yang mengingatkan pentingnya adab dan berdaya saing. Dua karakter inilah yang akan membedakan saudara dan membantu saudara menghadapi perubahan dengan bijak,” ujarnya.
Ibnu menjelaskan, adab adalah akar dari pendidikan dan kunci dalam menjaga hubungan sosial yang sehat. Ia mengingatkan peserta wisuda, bahwa sebagai guru bukan hanya mentransfer pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter siswa.
Pada era digital, tantangan beradab semakin nyata karena interaksi tidak hanya terjadi di ruang kelas, tetapi juga di dunia maya. “Sering kali kita melihat fenomena seperti ujaran kebencian, hoaks, dan perilaku tidak etis di media sosial. Kecepatan arus informasi membuat kita mudah bereaksi tanpa berpikir panjang,” ujarnya.
Menurutnya, sarjana pendidikan yang beradab adalah mereka yang menjaga tutur kata dan sikap, baik di dunia nyata maupun di ruang digital. Membangun budaya literasi yang sehat, dengan menyaring informasi dan menyebarkan kebaikan. Selain itu, mengajarkan siswa nilai-nilai moral dan empati agar mereka tumbuh menjadi generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga peduli terhadap orang lain.
“Adab adalah bekal utama agar saudara-saudara bisa menjadi pendidik yang dihormati dan dipercaya, baik oleh siswa maupun masyarakat,” katanya.
Selain itu, lanjutnya, pada era masyarakat digital, persaingan terjadi di berbagai bidang, termasuk pendidikan. Teknologi terus berkembang, dan metode pengajaran konvensional tidak lagi cukup. Guru harus siap beradaptasi dengan perubahan dan terus berinovasi.
Dijelaskannya, sarjana pendidikan yang berdaya saing adalah mereka yang menguasai literasi digital dan mampu memanfaatkan teknologi dalam pembelajaran, seperti menggunakan platform daring, media interaktif, atau aplikasi pembelajaran. Kemudian, berpikir kritis dan kreatif, sehingga dapat merancang strategi pembelajaran yang menarik dan relevan bagi siswa serta mampu berkolaborasi secara global dengan menjalin kerja sama lintas budaya dan memanfaatkan jaringan profesional untuk meningkatkan kompetensi.
“Guru yang berdaya saing tidak hanya berfokus pada capaian pribadi, tetapi juga mampu menginspirasi dan memberdayakan siswa agar mereka tumbuh menjadi generasi unggul yang siap menghadapi masa depan,” ujar Ibnu.
Ia menambahkan, kunci keberhasilan di era masyarakat digital yaitu menyeimbangkan adab dan daya saing. Adab memastikan tetap rendah hati dan bijak dalam menghadapi perkembangan zaman. Sementara itu, daya saing membuat guru terus berkembang dan tidak tertinggal dalam perubahan yang pesat.
“Ingatlah, saudara-saudara adalah pendidik sekaligus teladan bagi generasi masa depan. Jadilah guru yang tidak hanya cakap secara teknis, tetapi juga berkarakter. Gunakan teknologi dengan bijak dan ajarkan nilai-nilai kebaikan kepada siswa. Dengan begitu, saudara akan menjadi pendidik yang beradab, berdaya saing, dan relevan di era digital ini,” pungkasnya.
Pada kesempatan yang sama, Guru Besar Antropologi Agama Universitas Islam Negeri Mataram, Prof Abdul Wahid yang menyampaikan orasi ilmiah, mengingatkan tugas seorang sarjana setelah menyelesaikan proses pendidikan di kampus.
Pada era informasi yang berkembang dengan pesat dan didukung kemajuan teknologi, membuat siapa saja mudah mengaskes informasi, termasuk untuk kebutuhan pengetahuan. Kondisi tersebut terkadang membuat anak lebih mengetahui isu tertentu dari pada gurunya. Wahid menyebut hal tersebut sebagai labs of authority.
“Situasi pertama, fasilitas internet telah mengantarkan masyarakat kita information spillover. Ilmu sangat mudah mendatangi kita. Bukan kita lagi yang mendatangi ilmu. Berita yang mencari kita, informasi yang mencari kita. Tetapi jangan lupa bahwa di tengah-tengah informasi, ada fenomena-fenoma lain, labs of authority,” ujarnya.
Setelah kemajuan teknologi informasi, generasi saat ini mencari tahu pemecahan masalahnya dari Google.
“Ketika menghadapi sebuah masalah atau berbagai masalah. Lari mereka bukan kepada tuan guru, tidak kepada ulama, tidak kepada kiai, tidak kepada guru, tapi kepada Mbah Google. Akhirnya munculnya jarak sosial di antara mereka. Ada yang bilang muncul lagi antek-antek lain, the death of advertising, guru tidak lagi ditiru, tidak lagi digugu dan seterusnya,” kata Wahid.
Menurut Wahid, banjir informasi membuat masyarakat lemah sebagaimana yang menjadi yang pemikiran penulis dari Korea, Byung-Chul Ha dalam buku The Burnout Society, yang menanggapi fenomena sosial modern kontemporer dengan pendekatan psikologis yang filosofis.
“Kita punya HP kalau tidak punya charge-nya menderita, sengsara kita seperti berada di neraka. Jadi ada tuntutan selalu berkoneksi dengan dunia dalam definisi kita, dunia yang jauh atau orang yang jauh. Sementara yang ada di sekitar kita terputus hubungan dengan mereka. (Hal tersebut memicu) akan lahir jarak sosial antar kita. Itulah akar-akar konflik,” ujar Direktur La Rimpu yang juga owner Kalikuma EduCamp & Library ini.
Diingatkannya, sarjana harus menjadi orang terdepan yang menyadarkan tentang kondisi sosial tersebut. “Kita selalu berada pada kesadaran perform atau keadaan yang selalu terbaik, mengubah kita, mengunci diri. Bahkan ada yang bunuh diri ketika kita tidak membuktikan perform atau posisi di atas. Itu bahaya di balik perkembangan-perkembangan modern ini. Tugas kita adalah memberi penyadaran kepada masyarakat tentang keadaan-keadaan di sekitar kita,” jelas Wahid.
Selain itu, kata dia, sarjana memiliki tanggung jawab membangun kesadaran kolektif, karena saat ini kondisi masyarakat sudah tercerai berai oleh jarak sosial satu sama lain.
“Kitalah yang merajut kembli, menyatukan kembali, memecahkan masalah. Bukan kita yang meceraiberaikan masyarakat. Datang kita sebagai sarjana, beri narasi ini dan itu, lalu masyarakat terpecah satu sama lain dan pada akhirnya sampai kita menemukan pertumpahan darah di mana-mana,” katanya.
Selanjutnya, tugas seorang sarjana yang beradab, melakukan konsolidasi sosial. Seorang sarjana tidak boleh menjauh dari masyarakat, namun sebaliknya berada di tengah-tengah masyarakat dan membangun kesadaran dari dalam.
“Jangan setelah menjadi sarjana menghilangkan ikatan dengan masyarakat kita. Dula ta rasa ma iuku sarusa, eda ncoki mori, wati sarise. Dambe toi marepa tiwara raso, ma ncara diambi diimba badou sarasa,” ujarnya seraya menyampaikan kalimat bijak dalam bahasa Bima.
Ia mengingatkan, sarjana tidak boleh lari dari realitas sosial masyarakat. Namun sebaliknya membenahi kondisi yang tidak baik di tengah masyarakat setelah melakukan konsolidasi. Walaupun sejumlah pihak seperti dari luar negeri menyatakan keprihatinan terhadap kondisi di tengah masyarakat, namun waktu mereka terbatas.
“Okelah kita menggandeng orang Korea, orang Belanda seperti yang dikatakan oleh ketua (STKIP Tamsis) seperti La Rimpu tadi. Tapi mereka hanya beberapa hari. Setelah itu mereka pulang. Adapun kita kelahi, gontok-gontokan mereka tidak tahu. Jadi kita yang menyelesaikan itu semua. Modal kita mahasiswa atau sarjana yang diwisuda punya modal yang namanya metodologi atau cara-cara untuk beraksi. Beraksi itu punya metodologi, bukan ada massa dan ada aksi, itu bukan. Tapi dengan cara sistematis dan metodologi,” ujarnya.
Wahid juga mengingatkan sarjana agar terlibat dalam sejumlah persoalan dan kesulitan-kesulitan sosial yang dihadapi masyarakat.
“Kalau masyarakat kita sudah miskin, terlibatlah dalam kemiskinan itu. Kalau masyarakat sedang berada dalam kesulitan-kesulitan sosial, terlibatlah keadaan-keadaan itu, jangan lari seperti orang-orang yang lain,” ujarnya.
“Dou ma nae (pejabat) itu kalau ada persoalan di tengah-tengah masyarakat kita, masyarakat di dalam itu yang heboh sendiri. Sementara orang-orang besar yang kita harapkan kedatangannya, turun tangan mereka itu tidak kunjung datang, maka rasa marindi waura taroa. Jadi nggak tahu reformasi atau revolusi, bahwa kita itu harus berbuat sesuatu,” lanjut dia.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) Wilayah VIII, I Gusti Lanang Bagus Eratodi menyampaikan selamat kepada 368 sarjana angkatan XIX STKIP Taman Siswa Bima yang diwisuda.
“Hari ini adalah sejarah untuk masa depan. Hari ini adalah bukti adik-adik sudah bekerja keras dengan semangat, suka duka, akhirnya hari ini suka dan suka. Proses melahirkan sumber daya unggul tidak hanya (mudah). Sebab Ketua STKIP Tamsis juga sudah menjelaskan, dengan perjuangan sejak di awal sampai hari ini. Prosesi wisuda melahirkan sumber daya unggul, terutama calon-calon pencetak profesional Indonesia,” ujar Lanang.
Dikatakannya, Revolusi industri 4.0 dan Society 5.0 adalah dua konsep yang berkaitan dengan perkembangan teknologi dan perubahan sosial yang terjadi. “Semua begitu cepat, semua mudah dan tersistem menggunakan komputer, robot, dan sistemik. Tapi banyak pula pekerja yang hilang akibat robot komputer. Tapi ada juga empat lapangan pekerja yang tidak hilang, pertama guru. Guru tidak akan pernah tergantikan oleh robot,” katanya.
Lanang juga mengulas salah satu kecagihan teknologi saat ini berkaitan penggunaan kecerdasan buatan (artificial intelligence/ AI) seperti Chag GPT yang kemungkinan juga merambah dan digunakan mahasiswa termasuk dalam menyusun tugas akhir. Namun pengguna teknologi tersebut tidak akan menghadirkan kebenaran sejati.
“Jadi pondasi penting adalah adab atau peradaban. Jadi proses (hasil perkembangan teknologi) itu mudah, instant. Tapi ada keyakinan kuat, sesuatu yang mudah didapatkan juga akan mundah hilang. Ijazah mudah didapat, ijazah pun mudah tidak ada. Tapi adik-adik diproses, tidak instant, tapi butuh 3-4 tahun menjadikan adik-adik jadi guru. Satu orang guru akan melahirkan ribuan calon profesional, calon sumber daya manusia,” ujar Lanang.
Ia mengatakan, pada tahun 2045 atau masa emas, Indonesia akan mendapatkan bonus demografi, yaitu jumlah penduduk Indonesia 70% dalam usia produktif (15-64 tahun), sedangkan sisanya 30% merupakan penduduk yang tidak produktif (usia di bawah 14 tahun dan di atas 65 tahun) pada periode tahun 2020-2045.
Jika bonus demografi ini tidak dimanfaatkan dengan baik, akan membawa dampak buruk terutama masalah sosial seperti kemiskinan, kesehatan yang rendah, pengangguran, dan tingkat kriminalitas yang tinggi.
“Kita mengharapkan melalui bonus demografi ini semua akan menjadi ujung tombak, menjadi Indonesia Emas tahun 2045 ini. Angka partisipasi dasar, sumbanngsih adik-adik sehingga menjadikan bonus demografi itu tidak sia-sia meraih cita-cita emas kita,” ujarnya.
Menurut Lanang, selain partisipasi sarjana saat ini, kemajuan teknlogi juga dikaitkan dengan relevansi kebutuhan masyarakat. “Jadi robot tiak pernah menggatikan guru. Ada empat lapangan pekerjaan yang tidak bisa digantikan robot dan masih dibutuhkan yakni guru, tenaga kesehatan, tenaga-tenaga kreatif yang menciptakan teknologi dan informasi. Kemudian keempat pemimpin,” ujarnya.
Selain peserta wisuda dan orang tua, rapat senat terbuka wisuda Angkatan XIX STKIP Tamsis Bima juga dihadiri Civitas Akademika kampus setempat, pejabat yang mewakili Penjabat Wali Kota Bima, perwakilan Pelaksana Tugas Bupati Bima, perwakilan Kodim 1608/ Bima Bima dan stake holder terkait, sejumlah perwakilan pimpinan perguruan tinggi di Bima, legislator Udayana daerah pemilihan Bima-Dompu, Abdul Rauf, perwakilan Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) Wilayah VIII serta Guru Besar Antropologi Agama Universitas Islam Negeri Mataram, Prof Abdul Wahid dan istrinya Prof Atun Wardatun,Ph.D. [B-19]
Follow informasi Berita11.com di Google News