Angin mendesir menyibakkan remang senja,
Petak-petak cahaya menerawang dari kejauhan,
Pekat lautan menari bersama kedip bintang di atas awan,
Kulihat berpasang-pasang belalang berkelana,
Duduk diam di atas pelana kuda besi
Yang terparkir di bibir pantai Lewintana—seolah lupa waktu.
Mereka diam, tapi bukan dalam doa,
Mereka dekat, namun jauh dari cahaya,
Berduaan di atas tanggul, berbagi sunyi
Yang dibungkus senyum dan desir gelap.
Sepi bukan lagi ruang teduh,
Melainkan selimut bagi hasrat yang sembunyi,
Di ujung Soromandi, hampir tiap malam,
Remang menjadi saksi yang tak pernah dipanggil nama.
Belalang muda, ke mana kau kayuh langkah?
Apa benar malam lebih ramah dari rumah?
Apa benar cinta harus sembunyi di balik debur?
Atau ini hanya pelarian dari sesuatu yang kurang utuh?
Aku tak ingin menghakimi,
Tapi aku juga tak bisa diam pada luka yang kau buat sendiri,
Di tanah yang sama kita tumbuh dan belajar malu,
Namun kini malu telah digadaikan demi rasa semu.
Pantai tak lagi jadi tempat bertafakur,
Tanggul berubah jadi pelataran mimpi muram,
Di mana cahaya dulu sering berlabuh,
Kini hanya tersisa jejak roda dan botol kosong dalam diam.
Andai kalian tahu:
Laut ini menyimpan nama-nama leluhur,
Batu karang ini mendengar azan dan cerita,
Tapi malam kini lebih banyak menelan gumam
Yang tak sempat minta ampun.
Belalang muda,
Kau masih bisa menepi, sebelum terlalu jauh ke tengah,
Masih bisa pulang, sebelum ombak menenggelamkan arah,
Karena tak semua gelap menyimpan keindahan,
Dan tak semua sunyi patut kau percayai begitu saja.