Di bawah langit Bima yang retak oleh panas,
matahari meneteskan bara ke ubun-ubun hari,
angin pun enggan lewat,
karena debu dan gerah telah menutup napas bumi.
Hutan-hutan tinggal nama di peta tua,
berganti hamparan jagung yang haus dan rapuh,
akar-akar pohon tercerabut bersama ingatan
tentang burung dan sumber air yang pernah hidup.
Sampah berserak di pinggir jalan negara,
menyapa setiap kendaraan dengan bau yang getir,
dan laut—yang dulu berkilau biru—
kini mengunyah plastik di setiap gelombangnya.
Namun kursi-kursi kekuasaan tetap dingin,
tak tersentuh peluh rakyat atau jerit tanah,
anggaran untuk lingkungan hilang di lembaran janji,
seperti embun yang tak pernah lahir di musim panas ini.
Bima pun terbakar perlahan,
bukan hanya oleh matahari,
tetapi oleh diam yang panjang—
dari mereka yang seharusnya peduli.











