Menembus Dinding Diam Pernikahan Dini
Keesokan paginya, langkah kaki Anisa terasa berat, bukan hanya karena kelelahan, tetapi karena beban emosional yang ia bawa. Malam sebelumnya, ia menerima telepon singkat yang penuh ketakutan dari ibunya: Ayah Anisa, seorang pedagang keras kepala yang berpegangan pada tradisi, sudah mulai bergerak menjodohkan Fatma, adiknya, dengan putra dari kenalan bisnisnya.
Anisa menyembunyikan kekhawatiran ini dari Rizal, tetapi kegelisahannya kentara.
Sebelum meliput kasus mendesak di Desa Waduwani, Rizal dan Anisa menghabiskan dua hari penuh melakukan investigasi mendalam di tiga desa di pinggiran Bima dengan tingkat kasus pernikahan anak yang bervariasi, Desa Raba angka pernikahan rendah karena pengaruh tokoh agama yang kuat dan kampanye pendidikan. Mereka fokus pada solusi yang bisa ditulis. Desa Woro, angka sedang, didominasi oleh faktor ekonomi dan urbanisasi. Mereka mewawancarai kepala desa yang mencoba berjuang melawan arus. Desa Oi Tui angka tertinggi, di mana faktor budaya dan adat benar-benar mendominasi. Di sinilah Rizal mewawancarai kasus yang menusuk hati.
Di Desa Oi Tui, Rizal bertemu dengan seorang ibu muda bernama Ami yang berusia 20 tahun. Ami menikah di usia 14 tahun, kini ia memiliki dua anak dan wajahnya penuh penyesalan.
“Dulu, saya tidak punya pilihan,” ujar Ami, air matanya menetes. “Orang tua saya bilang, lebih baik menikah daripada sekolah. Sekarang, suami saya meninggalkan saya. Saya tidak punya keahlian. Saya menyesal, Mas. Saya tidak mau anak saya seperti saya.”
Rizal mencatat, menyadari bahwa penyesalan Ami adalah cerminan dari kegagalan sistem sosial. Ia merasakan empati yang dalam, melampaui tugas jurnalistik.
Setelah liputan tiga desa yang melelahkan, Rizal dan Anisa bertemu dengan Ibu Laila lagi. Diskusi ini sengaja diperpanjang untuk mendapatkan kerangka analisis bagi laporan investigasi mereka.
“Mas Rizal, Anisa,” ujar Ibu Laila, menyuguhkan teh rempah khas Bima. “Masalahnya bukan hanya kemiskinan. Di sini, ada pertarungan antara adat dan hukum negara. Para tetua adat masih menganggap pernikahan dini sebagai cara menjaga Sara (hukum agama) dan Hao (kehormatan) keluarga.”
Ibu Laila menjelaskan lebih lanjut, dengan mengutip istilah lokal. “Mereka menggunakan istilah ‘Mengurangi Beban’ dan ‘Menjaga Nama Baik’. Mereka berpegang pada interpretasi kaku bahwa anak perempuan cepat atau lambat harus ke dapur. Melawan ini, berarti melawan budaya yang sudah berakar ratusan tahun.”
Anisa mendengarkan dengan serius, tetapi pikirannya terus melayang pada Fatma.
Dalam perjalanan dari rumah Ibu Laila menuju kantor, Anisa tak bisa lagi menahan beban.
“Kak Rizal,” ujar Anisa, suaranya parau, “bagaimana kalau orang yang ingin dinikahkan paksa itu, adikku sendiri?”
Rizal menoleh kaget, ekspresi kagetnya campur khawatir. “Fatma?”
Anisa mengangguk, air matanya menggenang. “Ayah sudah mulai bicara dengan keluarga Pak Hasyim. Aku takut, Kak. Aku berhasil melarikan diri, tapi aku tidak yakin Fatma punya keberanian yang sama.”
Rizal menghentikan mobil sebentar di tepi jalan yang sepi. Ia memegang bahu Anisa.
“Aku akan lawan, Nis,” katanya tegas. “Tapi tidak dengan amarah. Kau harus ingat nasihatku: Kita melawan keluarga dengan cinta, dan kita memenangkan adikmu dengan masa depannya. Ayahmu pedagang, ia berpikir logis. Kau harus siapkan Fatma dengan pendidikan yang membuat Ayahmu bangga, atau setidaknya, tidak bisa menolak.”
Rizal menjelaskan rencana. Anisa harus menjadi mentor diam-diam bagi Fatma, membekalinya dengan kemandirian dan keberanian. Tugas Rizal adalah memastikan isu ini tidak bocor ke media agar Ayah Anisa tidak merasa dipermalukan dan Fatma tidak terancam.
“Kita urus dulu berita ini, Nis,” tutup Rizal. “Kita tunjukkan pada Ayahmu, bahwa jurnalisme dan pendidikanmu bisa melindungi adikmu lebih baik daripada perjodohan.”
Keesokan paginya, mereka bergegas ke Desa Waduwani untuk meliput kasus gadis 15 tahun yang melahirkan dan akan dinikahkan diam-diam. Anisa kembali melihat bayangan dirinya dan Fatma di wajah gadis muda yang pasrah itu.
Setelah liputan yang menusuk hati itu, Anisa kembali ke penginapan. Kata-kata Rizal dan wajah gadis di Waduwani memberinya kekuatan.
Malam itu, ia membuka laptopnya. Ia mengubah draf surat untuk Fatma menjadi cetak biru janji dan perjuangan—sebuah dokumen yang harus dibaca adiknya di masa depan.
“Dek Fatma,
… Aku tahu kamu takut. Tapi ingatlah, Kakakmu ini berani. Keberanian itu bukan karena aku jurnalis hebat, tapi karena aku pernah sepertimu. Jangan biarkan nasibmu ditulis oleh orang lain. Pilihlah pena sendiri. Jika kamu merasa terpojok, jangan diam. Bicara pada Ibu Laila, ia akan menjagamu. Jika kamu tidak kuat, biar Kakak yang berdiri di depanmu. Kakak akan melindungimu dengan sepenuh hidup Kakak.”
— Kak Anisa.
Ia menyimpan file itu dengan nama sandi: “Misi Fatma.”
Ia menghampiri Rizal di lobi. “Terima kasih, Kak Rizal. Aku merasa… aku tidak sendirian lagi.”
Rizal tersenyum. Ia tahu, di tengah kota yang penuh konflik ini, sebuah ikatan kuat telah terbentuk, yang berakar dari idealisme dan cinta untuk menyelamatkan masa depan.
***








