Surat dari Anisa (Part II)

Cover/ Ilustrasi.
Cover/ Ilustrasi.

Epilog

 

Bacaan Lainnya

Pagi berikutnya, Rizal bersiap untuk meliput kasus baru. Ia mengenakan kemeja lapangan, memasukkan pena ke saku kemejanya, dan mengambil kamera.

Sebelum meninggalkan kamarnya, ia berhenti di depan meja belajar Anisa. Di sana, di samping foto Anisa yang tersenyum di balik rimpu-nya, ia melihat sebuah plakat kecil yang ia ukir sendiri:

MEDIA RAKYAT BIMA RUANG KOMANDO JURNALISTIK ANISA “Jangan Pulang ke Jakarta.”

Rizal tersenyum. Ia tidak hanya menemukan cinta di Bima; ia menemukan dirinya yang hilang. Ia tidak lagi menjadi wartawan nasional; ia adalah jurnalis lokal. Ia tidak hanya melanjutkan hidupnya; ia melanjutkan warisan yang abadi.

BACA JUGA:  GOW Sape dan Bupati Bima Bagikan Ribuan Paket untuk Kaum Duafa

Ia meninggalkan kamar itu, berjalan menuruni tangga ruko, dan menyapa tim redaksinya.

“Dani! Sinta! Irwan! Kita berangkat. Hari ini ada isu baru di pegunungan. Kita bergerak!” seru Rizal, semangatnya membara, mencerminkan api idealisme yang Anisa tinggalkan.

Rizal melangkah ke luar, menuju matahari Bima yang terbit, siap menghadapi tantangan baru sebagai penjaga di tanah yang kini menjadi takdir dan rumahnya (*)

 

Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.


Pos terkait