Surat dari Anisa (Part II)

Cover/ Ilustrasi.
Cover/ Ilustrasi.

 Kantor Bupati Terbakar

 

Bacaan Lainnya

Publikasi itu memicu badai reaksi. Pejabat yang terlibat segera membantah, menyebutnya “fitnah yang didasari data palsu dari pihak yang sakit hati”. Namun, penolakan mereka terasa lemah di hadapan bukti hard copy yang dicantumkan.

Di Bima, amarah massa yang terakumulasi dari kasus pernikahan dini dan intimidasi tambang, akhirnya meledak. Kerusuhan kali ini jauh lebih besar, lebih terorganisir, dan lebih destruktif daripada demo sebelumnya. Massa bergerak menuju Kantor Bupati Bima, didorong oleh rasa pengkhianatan yang mendalam.

Sore harinya, berita paling mengejutkan datang, kantor Bupati Bima terbakar habis. Api melalap simbol kekuasaan dan kepercayaan publik itu, menjadi penanda hancurnya legitimasi pemerintahan di mata rakyat.

Rizal dan Anisa menyaksikan liputan kerusuhan dari layar televisi kecil di rumah Ibu Laila.

Rizal melihat kobaran api di Kantor Bupati, dan ia merasakan rasa bersalah yang menusuk. “Aku merasa kita yang memicu ini, Nis. Kita hanya ingin kebenaran, tapi yang terjadi malah kekerasan.”

BACA JUGA:  Pemkab Bima Terima Bantuan Tanggap Bencana dari BNPB

Anisa duduk di sebelahnya, memegang tangan Rizal. “Tidak, Kak,” bisiknya, suaranya mantap. “Kita hanya membuka tirai. Api itu sudah lama ada di hati rakyat Bima, terakumulasi dari penindasan dan kemiskinan. Kita hanya meletakkan korek api terakhir: pengkhianatan. Amarah ini adalah milik mereka, Kak. Kita bertanggung jawab atas kebenaran yang kita tulis, bukan atas reaksi publik.”

Momen itu adalah penguatan ikatan mereka. Anisa menenangkan gejolak moral Rizal dengan kebijaksanaan lokalnya. Rizal, yang terbiasa mengkritik diri, menemukan ketenangan dalam keyakinan Anisa.

Malam itu, setelah kerusuhan mereda dan polisi mulai mengamankan lokasi, Rizal dan Anisa duduk di beranda rumah panggung yang sunyi. Bulan bersinar terang di atas pohon mangga.

Rizal memegang tangan Anisa, menatap matanya dalam-dalam. “Aku tahu ini gila, Nis. Kita baru kenal beberapa minggu, dan kita baru saja memicu revolusi kecil.”

Anisa tersenyum lembut. “Di Bima, Kak, waktu berjalan lebih cepat kalau hatimu sudah yakin.”

“Aku yakin,” kata Rizal, suaranya rendah dan penuh janji. “Aku tidak bisa kembali ke Jakarta dan melupakan ini—melupakanmu. Aku tidak mau hidup tanpa berjuang untuk hal yang benar, dan kamu adalah hal yang paling benar yang aku temukan di sini.”

BACA JUGA:  Sejumlah Pejabat Korban Insiden Panggung Festival Bima Ramah masih Dirawat di RSUD

Ia memajukan badannya. Anisa tidak menghindar. Ia membiarkan Rizal menyandarkan kepalanya di bahunya, sebuah isyarat keintiman yang penuh arti. Mereka tidak mengucapkan kata cinta, tetapi janji untuk terus berjuang bersama dan melindungi satu sama lain telah terpatri dalam keheningan malam itu.

Keesokan harinya, Tim Redaksi berkumpul. Dani melaporkan bahwa pihak berwenang di Jakarta mulai membentuk tim investigasi gabungan (kejaksaan, KPK) setelah laporan mereka viral. Skandal itu terlalu besar untuk ditutupi.

“Aku harus kembali ke Jakarta sebentar, mengurus dokumen, dan bertemu Pemred,” kata Rizal. “Tapi aku akan kembali ke Bima. Aku tidak akan meninggalkan laporan ini, dan aku tidak akan meninggalkanmu, Anisa.”

Anisa mengangguk, matanya berkaca-kaca. Ia memberikan Rizal sebuah flash drive berisi semua data cadangan investigasi dan juga salinan surat yang ia tulis untuk Fatma.

“Jaga ini, Kak. Jaga dirimu. Dan tolong, ingat Fatma,” pinta Anisa.

 

***


Pos terkait