Surat Terakhir
Rizal tiba di Bima dua hari setelah tragedi itu. Ia tidak lagi menumpang bus malam; ia terbang langsung ke Lombok, lalu melanjutkan penerbangan perintis ke Bima. Perjalanan itu terasa sunyi dan dingin. Rizal yang biasanya bersemangat kini hanya merasakan kehampaan yang mematikan. Paman Aris menemaninya, memberikan dukungan emosional yang tak terucapkan.
Setibanya di Bandara Sultan Muhammad Salahudin Bima, Rizal disambut oleh Dani, Sinta, dan Irwan, yang wajahnya dipenuhi kesedihan dan rasa bersalah. Tidak ada pelukan hangat, hanya genggaman tangan yang erat.
“Maafkan kami, Kak Rizal,” bisik Dani, suaranya pecah. “Kami seharusnya menjaganya.”
“Dia jurnalis, Dani. Dia tahu risikonya,” jawab Rizal, suaranya serak dan datar, seolah emosinya telah mati. “Di mana dia?”
Anisa telah dimakamkan sehari sebelumnya, sesuai adat Bima yang mengharuskan jenazah dikebumikan secepatnya. Rizal tidak sempat menghadiri pemakaman. Penyesalan itu menjadi beban yang tak terangkat.
Rizal hanya meminta diantar ke pemakaman. Di pemakaman Islam yang sederhana di atas bukit, batu nisan Anisa baru tertancap. Tanah masih merah dan basah. Rizal jatuh berlutut di samping makam, memeluk nisan yang terasa dingin. Ia menangis, bukan dengan ratapan keras, tetapi dengan tangisan yang sunyi dan menusuk, mengeluarkan seluruh penyesalan, cinta, dan rencana masa depan yang kini terkubur di bawah tanah Bima.
“Kenapa, Nis? Kenapa kamu pergi sebelum kita mulai?” bisiknya. “Kamu janji mau jadi rumahku.”
Paman Aris dan Dani membiarkan Rizal sendiri. Mereka tahu, duka itu terlalu dalam untuk dihibur dengan kata-kata.
Setelah dari makam, Rizal meminta diantar ke rumah panggung Anisa. Ia ingin berada di ruangan yang pernah ditinggali Anisa, ruangan yang dulu ia sebut “Ruang Komando Jurnalistik” baru mereka.
Kamar Anisa sangat sederhana, tempat tidur kayu, meja belajar, dan rak buku penuh novel serta buku-buku aktivisme. Di atas meja belajar, teronggok laptop Anisa. Dani menyerahkannya pada Rizal.
“Kami tidak berani membukanya, Kak. Mungkin ada yang harus Kakak lihat,” kata Dani.
Rizal menyalakan laptop itu dengan tangan gemetar. Ia mencari-cari file. Ia menemukan folder bernama “MISI”. Di dalamnya, ada file yang sangat familiar.
Rizal membukanya. Itu adalah surat yang Anisa tulis untuk Fatma, yang ia tunjukkan padanya sebelum ia kembali ke Jakarta. Namun, ada postscript yang baru, yang ditujukan khusus untuknya.
“Kak Rizal,
… Jika kamu membaca ini, itu berarti aku sudah kembali ke tempat yang aku perjuangkan. Jangan menangis. Jangan marah. Aku mati sebagai jurnalis yang bahagia karena aku mati untuk kebenaran. Sekarang, Bima adalah tanggung jawabmu.
Surat ini adalah mandat kita. Jaga Fatma. Pastikan dia kuliah. Lawan Ayahku dengan cinta dan pendidikan. Dan yang paling penting: jangan pernah berhenti menulis. Jangan biarkan idealisme kita mati. Selesaikan yang kita mulai—isu tambang, isu kemiskinan. Jaga Bima untukku.
Aku mencintaimu, Kak. Kamu adalah rumah yang tidak sempat aku tempati. Tapi kamu akan selalu menjadi Penjaga terbaik yang Bima miliki. Jangan pulang ke Jakarta. Aku titip Bima padamu.
— Anisa.”
Surat itu adalah titik balik dari duka menjadi tekad. Rizal menghela napas panjang. Ia mengusap air matanya dan menoleh ke Paman Aris, yang menunggunya di ambang pintu.
“Paman,” kata Rizal, suaranya sudah kembali teguh. “Aku tidak akan kembali ke Jakarta.”
Paman Aris tidak terkejut. “Paman sudah tahu, Nak.” Rizal tidak bisa lari dari takdir.
Rizal mengambil ponselnya, menelepon Pemimpin Redaksi di Jakarta, dan mengajukan cuti tak terbatas. Ia menjual aset-asetnya yang tersisa di Jakarta, memutuskan hubungan dengan masa lalu profesionalnya.
“Aku akan tinggal di sini, Paman. Aku akan melanjutkan apa yang Anisa tinggalkan. Aku akan menjadi Penjaga Bima,” ujar Rizal, memeluk Pamannya.
Rizal kemudian berbicara dengan Ibu Laila dan Dani. Ia menunjukkan surat dari Anisa. Mereka terharu, menyadari betapa kuatnya ikatan dan warisan yang ditinggalkan Anisa.
Rizal menetap di kamar Anisa, mengubah meja belajar itu menjadi “Ruang Komando Jurnalistik” barunya. Ia menyusun program kerjanya berdasarkan poin-poin dalam surat Anisa. Melindungi Fatma dan pendidikannya, menjaga idealisme tim Media Rakyat Bima dan memantau kasus tambang serta melanjutkan isu-isu sosial yang belum selesai.
Rizal, sang jurnalis dari Jakarta, kini telah bertransformasi menjadi Penjaga Bima, mewujudkan janji yang ia ukir di tepi Pantai Kalaki—sebuah janji yang kini ia teruskan, tidak kepada Anisa yang hidup, melainkan kepada rohnya yang abadi.
***








