Fatma dan Warisan di Ruang Komando
Minggu-minggu pertama setelah tragedi Anisa sangat berat, namun surat terakhirnya menjadi kompas yang memandu Rizal keluar dari duka. Tugas pertama adalah Misi Fatma.
Rizal mendatangi rumah Ayah Anisa. Ia menghadapi pedagang keras kepala itu—pria yang tanpa sadar hampir menjerumuskan Fatma ke nasib yang sama dengan gadis-gadis yang Anisa perjuangkan.
Ayah Anisa, meskipun berduka atas kehilangan putrinya, masih menyimpan sedikit kecurigaan dan rasa malu. “Kau sudah mengambil anakku, Nak. Sekarang apa maumu?” tanya Ayah Anisa, nada suaranya tegas.
Rizal tidak menyerah pada emosi. Ia berbicara dengan tenang, menggunakan logika yang akan dipahami seorang pedagang. Ia menjelaskan posisinya sebagai penanggung jawab Anisa, dan kini, sebagai wali bagi Fatma.
“Ayah, Anisa mencintai Bima. Dan Anisa ingin Fatma menjadi contoh bagi gadis-gadis di sini. Saya akan membiayai Fatma. Dia akan kuliah. Dia akan menjadi seorang guru. Ini bukan hanya janji saya pada Anisa; ini adalah investasi bagi keluarga kita, Ayah. Fatma akan membawa nama baik Bima, bukan hanya keluarga,” ujar Rizal.
Ia tidak memaksa Ayah Anisa menyukai keputusannya, tetapi ia memberikan argumen yang tak terbantahkan.
Melihat ketulusan, keseriusan, dan power yang dibawa Rizal seorang jurnalis nasional yang kini memilih menetap di Bima, Ayah Anisa akhirnya luluh.
“Baiklah, Nak Rizal,” kata Ayah Anisa, suaranya melembut. “Jika itu yang akan membahagiakan arwah Anisa. Saya serahkan Fatma padamu. Jaga dia seperti kau menjaga Anisa.”
Kemenangan pertama. Fatma, yang awalnya takut dan tertekan, kini memiliki harapan. Rizal mendaftarkannya ke bimbingan belajar terbaik di Mataram, menyiapkan Fatma untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, jauh dari bayang-bayang perjodohan.
***








