Hari Guru Nasional, yang kita peringati setiap tanggal 25 November, seharusnya menjadi momentum perayaan atas dedikasi tanpa batas para pendidik. Namun, bagi Kabupaten Bima, hari ini juga harus menjadi waktu refleksi yang jujur dan mendalam terhadap realitas pendidikan lokal yang masih menyisakan banyak pekerjaan rumah. Di pundak para guru, terletak beban berat untuk membawa daerah ini keluar dari bayang-bayang ketertinggalan.
Realitas pahit yang harus kita hadapi adalah posisi Kabupaten Bima dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Data menunjukkan bahwa Bima menempati urutan terakhir di antara kota/kabupaten di Pulau Sumbawa. IPM adalah cerminan kualitas hidup masyarakat, yang salah satu pilar utamanya adalah pendidikan. Posisi ini bukan sekadar statistik; ini adalah lonceng peringatan akan minimnya akses dan kualitas pendidikan yang berujung pada rendahnya kapasitas sumber daya manusia (SDM) kita.
Tiga Tantangan Mendesak yang Harus Dijawab
Tantangan yang dihadapi guru di Kabupaten Bima sangatlah kompleks dan mendesak:
- Krisis Literasi dan Numerasi
Laporan lapangan sering kali menunjukkan bahwa masalah fundamental seperti literasi dan numerasi masih menjadi momok. Masih banyak siswa yang tamat dari jenjang pendidikan dasar, bahkan menengah, dengan kemampuan membaca dan berhitung yang minim—atau bahkan gagap membaca. Jika fondasi dasar ini rapuh, bagaimana kita bisa berharap peserta didik akan menguasai ilmu pengetahuan yang lebih tinggi dan bersaing di masa depan?
- Infrastruktur Pendidikan yang Merana
Di banyak pelosok Kabupaten Bima, guru harus berjuang di tengah keterbatasan sarana. Persoalan infrastruktur sekolah yang rusak, mulai dari atap bocor hingga minimnya fasilitas pendukung, adalah pemandangan yang harus segera diakhiri. Sekolah yang layak bukan sekadar tempat belajar, melainkan penegas bahwa negara hadir dan peduli terhadap masa depan anak-anaknya.
- Degradasi Karakter dan Hilangnya Jati Diri Pelajar
Tantangan terbesar yang kini dihadapi guru adalah merosotnya karakter. Fenomena di ruang publik, terutama di laman media sosial, menunjukkan bagaimana sebagian remaja dan pemuda kehilangan jati diri sebagai kelompok terpelajar. Penggunaan kata-kata kasar dan diksi provokatif, seperti istilah lokal “tufe” (meludah) yang dilontarkan kepada orang lain yang dibenci, adalah manifestasi dari degradasi moral. Tugas guru kini tidak hanya mentransfer ilmu, tetapi juga menjadi benteng terakhir dalam membentuk etika, sopan santun, dan karakter yang beradab.
Peringatan Hari Guru Nasional ini harus menjadi momentum bagi Kepala Daerah dan seluruh jajaran birokrasi untuk menunjukkan sensitivitas dan kepedulian yang jauh lebih besar terhadap masalah pendidikan di Bima.
Pendidikan bukan sekadar program, melainkan investasi utama masa depan daerah. Diperlukan political will yang kuat untuk mengalokasikan anggaran dan fokus kebijakan yang serius untuk membenahi infrastruktur, meningkatkan kompetensi guru, dan menguatkan program literasi/numerasi.
Solusi Konkret dan Harapan Baru
Untuk mengatasi tantangan-tantangan di atas, Pemerintah Kabupaten Bima harus mengambil langkah-langkah konkret dan terukur:
- Program Prioritas Literasi dan Numerasi (Literasi-Numerasi First)
Alokasikan dana khusus untuk pelatihan intensif guru dalam metode pengajaran literasi dan numerasi yang efektif. Setiap sekolah harus memiliki target capaian membaca minimum yang diawasi ketat, terutama di kelas awal.
- Revitalisasi Infrastruktur Cepat:
Bentuk tim khusus percepatan perbaikan sekolah rusak. Anggaran infrastruktur harus diprioritaskan untuk sekolah-sekolah di wilayah terpencil (terdepan, terluar, tertinggal) yang kondisinya paling memprihatinkan.
- Penguatan Pendidikan Karakter Berbasis Budaya:
Kurikulum harus diperkaya dengan penekanan pada nilai-nilai lokal Bima yang mengajarkan edukasi dan adab. Program Guru Penggerak Karakter harus diperkuat untuk menghadapi krisis etika di media sosial, membantu siswa menyaring informasi, dan menggunakan bahasa yang bertanggung jawab.
- Transparansi Anggaran dan Kinerja:
Pemerintah daerah harus lebih transparan dalam alokasi anggaran pendidikan. Kinerja dinas terkait harus dievaluasi berdasarkan peningkatan IPM, bukan sekadar penyerapan anggaran.
Kita percaya bahwa guru-guru di Kabupaten Bima memiliki semangat yang membara. Namun, semangat itu harus didukung oleh kebijakan yang berpihak, fasilitas yang memadai, dan perhatian yang tulus dari pemimpin daerah.
Mari jadikan Hari Guru Nasional 25 November ini sebagai titik balik. Bima harus beranjak dari urutan terakhir IPM menuju posisi yang membanggakan. Ini adalah tugas bersama: guru mendidik, pemerintah memfasilitasi, dan masyarakat mendukung. Masa depan Bima tergantung pada kualitas pendidikan hari ini (*)









