Sore perlahan menjingga di ufuk barat. Angin laut meniup lembut, menyapu wajah-wajah santai yang duduk di bangku-bangku kayu berwarna cerah dan kursi plastik. Di tepian jalan pesisir Desa Lewintana, Kecamatan Soromandi, Kabupaten Bima, aktivitas sederhana namun penuh kehangatan menjadi pemandangan rutin saban hari. Para pedagang makanan membuka lapak, dan pengunjung datang silih berganti.
Salah satu lapak yang mencuri perhatian adalah lapak mie ayam dan bakso berwarna biru cerah. Berdiri kokoh namun bersahaja di pinggir pantai, aroma kaldu yang gurih menguar dari dapur kecil di balik jendela kaca menggoda siapa saja yang melintas. Di sekitarnya, kursi-kursi kayu hijau dan merah tertata rapi, menyambut para pengunjung yang ingin bersantap sambil menikmati panorama laut dan semilir angin.
Tak jauh dari sana, beberapa pedagang lain juga sibuk melayani pembeli. Ada yang menjual minuman dingin, camilan ringan, hingga salome menggunakan sepeda motor. Di bawah payung merah besar dan sorot lampu kuning temaram, suasana terasa hangat dan akrab. Anak-anak bermain, orang tua bercengkerama, dan remaja mengabadikan momen dengan kamera ponsel mereka. Di tengah laut, segerombolan bangau putih terbang menuju sarang.
Namun bukan hanya laut yang menjadi daya tarik. Di sebelah lapak ini, terdapat sebuah telaga kecil yang tenang, dihiasi tanaman teratai yang tumbuh subur. Bunga-bunga teratai mekar indah jauh sebelum senja, menciptakan nuansa damai yang kontras namun selaras dengan deru ombak dan lalu lintas kendaraan di jalanan kecil yang membelah pesisir.
“Setiap sore pasti ramai, apalagi menjelang malam. Banyak yang datang hanya untuk menikmati suasana atau sekadar makan mie ayam dan minum es teh sambil lihat laut,” ujar salah satu pedagang, sambil menuangkan kuah panas ke dalam mangkuk mie ayam.
Lapak-lapak ini bukan hanya sekadar tempat berjualan. Ia menjadi titik temu lintas generasi dan cerita, ruang sederhana yang menyatukan rasa lapar, rindu akan suasana alami, dan keinginan untuk berkumpul dalam kehangatan suasana. Tak jauh dari lapak itu, suara burung walet seperti bersahut-sahutan, menambah harmoni yang khas.
Malam pun datang perlahan. Lampu-lampu mulai menyala satu per satu, memantul di permukaan telaga. Teratai tetap berdiri anggun di tengah air yang tenang, seolah turut menikmati kisah-kisah kecil yang ditulis setiap senja di Desa Lewintana.
“Saya senang datang ke sini lihat suasana laut. Bisa menenangkan pikiran, sekalian makan mie ayam di sini yang rasanya memang enak,” ujar Yani, pengunjung asal Kecamatan Woha, Kabupaten Bima sore itu.
Lewintana memang bukan kawasan wisata yang riuh promosi atau penuh fasilitas modern. Tapi justru di situlah letak pesonanya—kesederhanaan yang jujur dan membumi. Setiap hari, tanpa perlu atraksi buatan, kawasan ini menyuguhkan harmoni: antara rasa dari mangkuk-mangkuk hangat dan panorama laut yang damai, antara obrolan ringan dan desiran angin yang menyejukkan hati.
Bagi warga sekitar, lampa-lampa kengge moti—jalan-jalan di pinggir laut—bukan sekadar kebiasaan. Ia adalah ritual kecil penghapus penat, cara alami untuk berdamai dengan diri sendiri setelah sehari penuh menghadapi rutinitas hidup.
Beberapa pengunjung bahkan datang dari luar desa, dari Woha, Donggo, Dompu, hingga Kota Bima. Mereka datang untuk mengecup senja, menatap laut Teluk Bima, dan menyantap mie ayam hangat sambil menyeruput es teh, es jeruk atau kopi hitam. Ada yang datang bersama keluarga, ada pula yang sendiri, menyatu dengan senja dan angin.
“Tempat ini tenang, berbeda dengan di kota. Kadang saya ke sini menikmati rasa damai,” tutur Andi, pengunjung asal Palibelo. Ia mengaku lebih menyukai suasana Lewintana dibanding kafe-kafe ramai di Kota Bima.
Bagi para pedagang, tempat ini adalah ruang harapan. Tak jauh dari lapak mie ayam biru, berdiri beberapa gazebo sederhana dan tempat duduk kayu di antara pasir putih dan barisan pohon mangrove. Dari tempat ini, mereka menggantungkan kehidupan, menyekolahkan anak, dan merawat mimpi.
Lewintana bukan sekadar pesisir. Ia adalah ruang rasa. Rasa syukur, rasa damai, rasa dekat dengan alam dan sesama. Di tempat ini, senja bukan hanya penutup hari, tetapi juga momen yang membuka ruang untuk mengenang, menikmati, dan berharap.
Dan saat malam benar-benar tiba, suara gemericik air laut dan semerbak kuah mie ayam masih terasa menyatu dalam udara. Telaga teratai pun terdiam dalam anggun, seolah menyimpan semua cerita yang tak sempat diucap—kisah-kisah kecil yang hanya bisa ditemukan di ujung senja, di pinggir laut Lewintana. (US)
Follow informasi Berita11.com diGoogle News