Tanggal 1 November 2025 menjadi momen bersejarah bagi Putri Rohana. Calon wisudawati dari Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris STKIP Taman Siswa Bima ini akan dikukuhkan sebagai sarjana dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) cemerlang, 3,70.
Di balik prestasi akademiknya, tersimpan kisah perjuangan seorang anak petani yang dibesarkan oleh ayah tunggal (single parent) setelah ditinggal ibunda tercinta.
Putri Rohana, wanita kelahiran Jakarta, 4 September 2003, adalah anak pertama sekaligus putri satu-satunya dari tiga bersaudara pasangan Abdul Hafid, seorang petani, dan almarhumah Nur Atika.
Ayah Menjadi “Rumah” Setelah Ibu Wafat
Putri bercerita bahwa keluarganya berasal dari kalangan sederhana. Ayahnya, yang berpendidikan terakhir SMA, bekerja keras menggarap sawah, kebun, dan ladang untuk menanam padi, jagung, dan cabai demi memenuhi kebutuhan hidup.
Dukungan terbesar Putri harus goyah saat ia baru menginjak bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP).
“Sayangnya, umur ibu tidak lama. Pada saat aku mulai masuk SMP, ibuku meninggal dunia. Ibu meninggalkan kami berempat, ayah, aku, dan kedua adikku dengan begitu cepat,” tutur Putri Rohana, mengenang masa-masa orientasi siswa baru kala itu.
Meskipun harus kehilangan sosok ibu, Putri dan adik-adiknya tumbuh dalam lingkungan yang penuh kasih sayang. Ayahnya, Abdul Hafid, mengambil peran ganda sebagai ayah sekaligus ibu bagi mereka.
“Ayah bisa menjadi ibu, ayah menjadi tempat kami pulang (rumah), dan ayah segalanya bagi kami. Ayah mengajarkan kami tentang kerja keras, kejujuran, dan pentingnya saling membantu sesama,” katanya.
Ayahnya juga yang selalu memberi semangat dan mendorongnya untuk belajar giat agar bisa meraih cita-cita dan mengubah nasib keluarga. Kondisi ekonomi keluarga yang pas-pasan, dengan penghasilan sekitar Rp300 ribu hingga Rp500 ribu per bulan, tidak pernah mengurangi kasih sayang sang ayah.
Akses Sulit di Kampung Terpencil, Kuliah Berkat KIP
Jalan menuju kampus tidaklah mudah bagi Putri. Ia berasal dari desa kecil dan terpencil di atas gunung, dikelilingi hutan lebat, dan jauh dari pantai. Ia bersekolah di SMPN 12 Langgudu Satu Atap, dan kemudian SMAN 1 Langgudu.
“Saking terpencilnya desa saya itu, jaringan internet pun tidak ada di sana. Warga sangat kesulitan untuk mengakses sesuatu, dan untuk kami yang kuliah di kota, sangat sulit menghubungi keluarga di kampung jika ada keadaan mendesak,” ungkapnya.
Putri sangat bersyukur karena ia berhasil mendapatkan beasiswa KIP Kuliah dari pemerintah. Beasiswa tersebut membiayai penuh kuliahnya dari semester awal hingga pendaftaran wisuda.
“Itu semua adalah hikmah dan rezeki yang sangat sempurna bagi saya karena dengan mendapatkan beasiswa ini, ayah saya tidak terlalu terbebani oleh biaya hidup saya selama kuliah,” ujarnya penuh syukur.

Dengan uang saku yang ia dapatkan dari beasiswa, Putri mampu membiayai kebutuhan kos dan belanja kuliahnya sendiri, sehingga ayahnya hanya perlu fokus pada biaya sekolah kedua adiknya.
Sempat Salah Jurusan Hingga Lulus Kampus Mengajar
Putri menceritakan bahwa ia memilih jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di STKIP Taman Siswa Bima secara tidak sengaja. Awalnya, ia telah diterima di Program Studi Pendidikan Matematika UIN Mataram melalui jalur beasiswa bidikmisi SPAN PTKIN, namun terpaksa batal karena tidak diizinkan keluarga untuk kuliah di Mataram.
Pamannya kemudian mendaftarkannya di STKIP Taman Siswa Bima. “Awalnya saya berpikir saya tidak memiliki perubahan jika kuliah di sini, tetapi semuanya terlihat sempurna dan sangat indah,” bebernya.
Selama kuliah, Putri aktif mengikuti kegiatan dan organisasi. Ia mengikuti program Kampus Mengajar Angkatan 7 dan ditempatkan mengajar di SDN 1 Nata. Selain itu, ia pernah menjadi MC terbaik dengan menggunakan Bahasa Inggris di organisasi Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan menjadi mentor di kegiatan Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) English Camp.
Putri juga tercatat berprestasi sejak bangku SMP dan SMA, mulai dari lomba MIPA, lomba Tilawah, hingga aktif di OSIS dan Sispala.
Harapan untuk Mengabdi di Kampung
Setelah lulus, Putri sebenarnya ingin melanjutkan Pendidikan Profesi Guru (PPG). Namun, ia harus bersabar karena program studi Pendidikan Bahasa Inggris belum tercantum dalam daftar studi umum PPG tahun ini.
“Mungkin (saya) bisa mengajar dan mengabdi terlebih dahulu di sekolah di kampung, dengan mengembangkan ilmu yang saya dapatkan untuk adik-adik generasi selanjutnya di kampung agar mereka juga bisa Bahasa Inggris seperti saya,” harap Putri.
Ia menyadari bahwa di kampung asalnya, Bahasa Inggris masih sangat asing bagi siswa, bahkan di tingkat sekolah menengah pertama.
Putri berharap pemerintah dapat lebih fokus mengatasi ketimpangan ekonomi, kemiskinan, dan meningkatkan akses terhadap layanan pendidikan berkualitas terutama di daerah terpencil seperti kampungnya di Kabupaten Bima. (US)
Follow informasi Berita11.com di Google News














