Mata Pena Sang Senopati

Ilustrasi. Misi Rahasia.
Ilustrasi. Misi Rahasia.

Di bawah terik matahari yang menyengat dan aroma khas rempah yang bercampur debu jalanan Bima, berdirilah kantor berita lokal bernama “Suara Dou”. Di sanalah, Raihan, seorang pemuda yang tampak biasa saja dengan kaos lusuh dan ransel penuh buku catatan, menghabiskan sebagian besar waktunya.

Namun, di balik citra jurnalis lokal yang gigih mengejar berita tentang kerusakan hutan dan lomba pacuan kuda, Raihan adalah “Ksatria Senyap”—seorang intelijen yang ditanam di jantung Bima. Identitasnya: jurnalis. Misi utamanya saat ini: membongkar gurita korupsi di Pemerintah Daerah (Pemda) yang telah menggerogoti dana pembangunan infrastruktur dan kesehatan selama bertahun-tahun.

Bacaan Lainnya

“Raihan, jangan lupa liputan bantuan sosial di Kecamatan Bolo besok. Berita ringan saja, tapi jangan sampai foto kita kabur,” perintah Bu Salwa, redaktur senior yang tidak tahu apa-apa tentang identitas ganda Raihan.

“Siap, Bu. Sekalian saya mau ikuti rapat paripurna hari ini. Ada isu alokasi dana desa yang mulai hangat lagi,” jawab Raihan sambil matanya menyapu tajam daftar nama kontraktor di papan pengumuman. Daftar itu adalah benang merah yang ia yakini akan membawanya ke inti persoalan.

Penyelidikan Raihan telah mengerucut pada satu nama: Haji Syamsul, seorang pengusaha berpengaruh yang selalu memenangkan proyek-proyek besar Pemda Bima, dari pembangunan jalan pesisir hingga pengadaan alat kesehatan. Haji Syamsul adalah sosok yang licin, memiliki jaringan kuat di legislatif dan eksekutif.

Raihan menyamar sebagai aktivis sosial yang peduli dengan kerusakan jalan di daerah terpencil. Ia menghabiskan malam-malamnya di warung kopi dekat kantor bupati, bukan untuk minum kopi, melainkan untuk merekam percakapan para pejabat kecil yang sering membicarakan ‘setoran’ dan ‘bagi hasil’.

Suatu malam, ia berhasil mendapatkan salinan digital dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang seharusnya rahasia. Dengan keahlian enkripsi dan analisis yang didapatnya dari pelatihan, ia membandingkan data anggaran dengan laporan lapangan proyek yang tampak mangkrak atau berkualitas rendah.

BACA JUGA:  Vonis lebih Berat, Hakim Tipikor Tambah Hukuman Penjara Dua Terdakwa Korupsi KUR BNI Woha

Proyek Jalan Lingkar Utaraa: Anggaran Rp50 Miliar. Realisasi di lapangan: aspal tipis yang sudah retak dalam enam bulan.

Pengadaan Alat Kesehatan Puskesmas: Anggaran Rp10 Miliar. Barang yang dikirim: merek lama dan tidak sesuai spesifikasi.

Angka-angka itu berbicara. Selisihnya sangat besar. Raihan tahu, ia tidak hanya melawan Haji Syamsul, tapi juga sejumlah oknum pejabat tinggi di Bima.

Di tengah intrik korupsi, Raihan juga harus menangani persoalan sosial yang muncul ke permukaan. Salah satunya adalah konflik lahan antara perusahaan perkebunan besar dengan masyarakat di Tambora. Ia melihat ini sebagai kesempatan untuk mendapatkan legitimasi yang lebih kuat sebagai jurnalis yang peduli.

Ia menulis laporan mendalam, tidak hanya tentang sisi legal, tapi juga tentang penderitaan para petani kecil. Laporan ini, yang ia publikasikan di halaman depan, menciptakan gelombang simpati publik yang besar.

“Jika tanah adalah ibu, lantas apa yang kita berikan pada ibu kita selain tangisan?” tulisnya, mengutip salah satu tetua adat.

Popularitasnya sebagai jurnalis yang berani meningkat. Ini adalah pedang bermata dua: ia mendapatkan akses yang lebih luas ke masyarakat dan sumber informasi, tetapi juga mulai menarik perhatian pihak-pihak yang seharusnya ia selidiki.

Suatu sore, saat ia sedang memotret tumpukan sampah yang tidak terangkut di pasar, sebuah pesan terenkripsi masuk ke ponsel satelitnya:

“Dokumen Proyek Jalan Lingkar Utara telah bocor. Ada mata di dalam lingkaranmu. Hati-hati. Jangan bertindak sendiri.”

Raihan menyadari, lingkaran korupsi itu sudah menyadari adanya perlawanan.

Raihan memutuskan untuk melangkah ke fase berikutnya: konfrontasi. Bukan dengan senjata, melainkan dengan pena.

Ia menyusun sebuah artikel investigasi yang sangat terperinci, disamarkan sebagai analisis kritis atas kinerja Pemda. Di dalamnya, ia memasukkan data-data realisasi proyek dan mencantumkan ‘inconsistencies’ yang sangat spesifik, tanpa menyebut nama.

Sebelum artikel itu naik cetak, ia mengatur pertemuan rahasia dengan sumber tepercaya yang juga adalah penyidik independen dari luar Bima. Ia menyerahkan semua data, rekaman, dan bukti foto proyek fiktif.

BACA JUGA:  Kejari Dompu Tahan Tersangka Kasus Korupsi Puskesmas Dompu Kota

“Ini semua bukti yang saya punya. Saya akan rilis artikel ini besok pagi. Itu akan jadi pengalih perhatian. Sementara mereka sibuk menyangkal, Anda punya waktu 24 jam untuk melakukan penggerebekan data di kantor Keuangan,” bisik Raihan di bawah rindangnya mangrove di pantai Amahami.

Penyidik itu mengangguk, tatapannya penuh penghargaan.

Keesokan harinya, artikel Raihan meledak.

“JANGAN BIARKAN BIMA HANYA JADI KERAJAAN ASPAL TIPIS!”

Dampaknya instan. Haji Syamsul menelepon kantor redaksi, mengancam akan menuntut. Pejabat-pejabat Pemda berkerumun, panik mencari tahu siapa yang membocorkan data.

Di tengah kekacauan itu, tim penyidik bergerak dalam senyap. Mereka masuk ke kantor Pemda, didukung oleh data awal yang valid dari Raihan, dan berhasil menyita server utama yang berisi catatan transaksi bank dan kontrak fiktif.

Beberapa minggu kemudian, Haji Syamsul dan sejumlah pejabat penting ditangkap. Kasus korupsi yang bertahun-tahun disembunyikan akhirnya terkuak.

Raihan, sang jurnalis, dielu-elukan sebagai pahlawan lokal. Namun, ia tidak mengambil pujian itu. Ia hanya menulis satu artikel penutup:

“Bima adalah tanah yang kaya. Tugas kita bukan hanya membangun fisiknya, tapi juga menjaga jiwanya dari karat keserakahan. Suara rakyat adalah detektor kebenaran yang paling ampuh. Jangan pernah lelah menyuarakan.”

Malam harinya, di atap kantor redaksi yang sepi, Raihan menerima pesan terakhir dari komandannya:

“Misi Bima Selesai. Penggantian identitas dan penempatan baru menunggu. Selamat, Senopati.”

Raihan memandang gemerlap lampu Kota Bima. Kota itu sudah sedikit lebih baik, sedikit lebih bersih. Besok pagi, jurnalis bernama Raihan akan mengajukan cuti panjang dan menghilang tanpa jejak.

Sebuah identitas baru, sebuah pena baru, dan sebuah kota baru sudah menunggunya. Karena di dunia intelijen, pahlawan sejati tidak pernah muncul di permukaan. Mereka hanya meninggalkan jejak kebenaran, lalu pergi, sepi, seperti datangnya angin (*)

 

Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.

 

 


Pos terkait