Mengukur Nalar Berpikir Kritis di Era Krisis Informasi

Penulis.
Penulis.

Penulis: Zahratul Fitriana

Di tengah derasnya arus informasi yang terus mengalir setiap hari, kemampuan berpikir kritis menjadi semakin penting. Berpikir kritis bukan sekadar kemampuan menganalisis sesuatu, tetapi juga kemampuan untuk memisahkan fakta dari opini, menilai relevansi informasi, dan membuat keputusan berdasarkan data yang akurat. Namun, bagaimana sebenarnya kita mengukur nalar berpikir kritis yang kita miliki?

Berpikir kritis adalah proses berpikir secara logis, objektif, dan mendalam. Hal ini melibatkan kemampuan untuk bertanya, mengevaluasi informasi, dan menarik kesimpulan yang masuk akal. Berpikir kritis juga berarti terbuka terhadap sudut pandang yang berbeda tanpa kehilangan pijakan pada fakta.

Namun, banyak orang sering kali merasa mereka sudah berpikir kritis, padahal hanya berpegang pada bias pribadi atau opini yang belum divalidasi. Salah satu contoh yang paling nyata adalah perilaku sebagian orang yang menutup mata dan telinga terhadap kesalahan pemimpinnya. Fanatisme buta sering kali membuat seseorang enggan untuk menerima kenyataan, bahkan ketika bukti kesalahan sudah begitu jelas. Alih-alih bersikap kritis, mereka justru membela kesalahan tersebut dengan berbagai alasan yang tidak berdasar, seolah kebenaran menjadi hal yang bisa dinegosiasikan.

BACA JUGA: Menyusuri Aliran Sungai: Mengapa Kota Bima Terus Terkena Banjir?

Ketika seseorang terus-menerus mengabaikan fakta demi mempertahankan keyakinan terhadap figur tertentu, itu bukanlah tanda loyalitas, melainkan bentuk kegagalan berpikir kritis. Dalam situasi seperti ini, individu sering kali mengorbankan prinsip keadilan demi kenyamanan emosional atau rasa takut kehilangan identitas kelompok. Padahal, berpikir kritis seharusnya membantu kita melihat kesalahan, tak peduli dari siapa pun itu berasal, termasuk pemimpin yang kita dukung.

Dalam kehidupan sehari-hari, berpikir kritis membantu kita membuat keputusan yang lebih baik. Ketika menghadapi berbagai informasi, kita mampu memeriksa apakah informasi tersebut valid atau hanya opini tanpa dasar. Kemampuan ini juga membantu kita terhindar dari manipulasi, hoaks, dan jebakan disinformasi yang marak di era digital.

Selain itu, berpikir kritis memungkinkan kita untuk menyelesaikan masalah dengan cara yang lebih efektif. Dengan kemampuan ini, kita bisa mencari solusi berdasarkan data yang ada, bukan sekadar asumsi atau dugaan. Hal ini juga menciptakan keberanian untuk mengakui kesalahan, baik kesalahan diri sendiri maupun kesalahan orang yang kita hormati, karena kita memahami bahwa kebenaran harus tetap diutamakan.

BACA JUGA: Pendidikan harus Mempunyai Kesadaran atas Perubahan

Mengukur nalar berpikir kritis bukan hanya soal mengetahui seberapa cerdas kita, tetapi juga seberapa bijaksana kita dalam memahami dan menilai sesuatu. Apakah kita mampu menerima fakta yang tidak sesuai dengan keyakinan kita? Apakah kita berani mempertanyakan otoritas ketika mereka jelas-jelas salah? Ataukah kita hanya memilih untuk diam demi kenyamanan atau rasa aman?

Di era yang penuh dengan informasi, kemampuan ini bukan lagi sekadar pilihan, melainkan kebutuhan. Mengasah berpikir kritis berarti melatih diri untuk terbuka terhadap data yang beragam, berani mempertanyakan kebiasaan, dan bersikap tegas dalam menghadapi kesalahan.

Dengan berpikir kritis, kita tidak hanya menjadi individu yang lebih baik, tetapi juga berkontribusi pada terciptanya masyarakat yang lebih cerdas dan tangguh. Sebab, hanya dengan berpikir kritis, kita dapat benar-benar memahami dunia di sekitar kita, termasuk menyikapi kesalahan, dan mengambil keputusan yang berdampak positif bagi diri sendiri maupun orang lain. Hanya dengan keberanian untuk membuka mata dan telinga terhadap kenyataan, kita dapat membangun masa depan yang lebih adil dan penuh harapan (*)

Pos terkait