oleh : Adi Ardiansyah
(Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Mataram)
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan sebuah proses politik yang selalu dinamis, hanya bisa berjalan lancar dan tertib apabila setiap kontestan pilkada mengikuti aturan main yang telah disepakati sebelumnya. Pilkada menjadi implementasi atas berdirinya tonggak pemerintahan yang elemen-elemen di dalamnya dibangun oleh rakyat, sebagaimana yang tersirat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) pada Pasal 1 ayat 2 “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”
Sebagaimana pemilihan kepala daerah yang diselenggarakan atas dasar manifestasi prinsip persamaan di muka hukum (equality before the law) dan kesempatan yang sama dalam pemerintahan (equal opportunity principle). Pilkada merupakan proses suksesi peralihan pemimpin suatu daerah yang melibatkan peran nyata publik atau masyarakat secara berkedaulatan, Pilkada juga adalah rangkaian aktivitas dari proses demokrasi yang tidak terlepas dari penyelenggaraan pemilihan yang memiliki output yakni pejabat politik (elected official), bukan memilih pejabat administratif (appointed official).
Dalam pelaksanaan pilkada serentak hari Rabu tanggal 27 November 2024 partisipasi publik sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan pilkada ini oleh penyelenggara, yaitu KPU dan Bawaslu. Oleh demikian, penyelenggaraan Pilkada selain berpedoman pada asas Langsung, Umum, Bebas, Bersih (LUBER), Jujur dan Adil (JURDIL), juga memerlukan tingkat pengawasan yang merujuk pada pedoman yang sama sebagai salah satu indikator dalam menentukan keberhasilan pelaksanaannya, sehingga pada pelaksanaan Pilkada harus ada suatu sistem pengawasan yang kuat di dalamnya.
Bawaslu merupakan lembaga yang diberikan kewenangan dalam pengawasan Pemilu/Pilkada sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) pada semua tingkatan memiliki peran penting menjaga agar Pilkada terselenggara dengan demokratis secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Keberadaan pengawas Pemilu dalam tinjauan politik dan hukum administrasi, bersifat penting untuk menghindari delegitimasi proses dan hasil pemilihan, serta antisipasi perkembangan berbagai tindak pelanggaran yang terjadi dan guna memperkuat kepercayaan masyarakat atas berbagai permasalahan sistem kepemiluan di Indonesia.
Dalam pelaksanaannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Bawaslu diberikan ruang untuk melakukan penindakan terhadap temuan dugaan pelanggaran Pemilu itu sendiri, termasuk penindakan yang bersifat pemidanaan atau yang disebut sebagai Tindak Pidana Pemilu (Tipilu) sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 476. Hal tersebut adalah bagian dari penguatan kinerja kelembagaan secara internal Bawaslu dengan modal sinergisitas kelembagaan Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu) yang melibatkan unsur dari Bawaslu, Kejaksaan, dan Kepolisian.
Pertanyaan yang kerap kali muncul di tengah masyarakat saat ini dengan keberadaan Bawaslu dan kewenangannya, apakah lembaga ini sudah maksimal melaksanakan tugasnya? Bagi penulis sendiri, pertanyaan ini sangatlah umum, tapi juga substantif untuk dijawab.
Bagi penulis, menjawab pertanyaan tersebut mesti kita gunakan pendekatan fenomena sosial yang terjadi di tengah masyarakat kita. Sebut saja bukan lagi rahasia umum saat dinamika pemilihan umum atau Pilkada dilaksanakan banyak pelanggaran terjadi yang menjadi temuan ataupun laporan dari masyarakat kepada Bawaslu itu sendiri, seperti black campaign, money politics, netralitas pejabat public/ASN, dan pelanggaran hukum lainnya. Hal ini tentu akan sangat berdampak pada integritas dan keberhasilan pelaksanaan pemilihan ke depannya.
Berbagai pelanggaran di atas tentunya harus mendapat atensi serius oleh Bawaslu pada semua tingkatan, mengingat kehendak demikian tidak pernah dibenarkan oleh rule of the game pemilu/pilkada maupun hukum. Pertama, strategi pencegahan maupun penindakan atas berbagai pelanggaran dalam pelaksanaan demokrasi saat ini, utamanya pelanggaran terhadap Tipilu itu sendiri, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dalam Pasal 476 dan Peraturan Bawaslu Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2023 tentang Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu) adalah ruang yang menentukan bagaimana komitmen Bawaslu dalam penegakan hukum dan keadilan terhadap pemilihan serentak saat ini.
Kedua, partisipasi dan keterlibatan masyarakat/publik untuk ikut andil mengawasi setiap tahapan dan proses juga sangat menentukan keberhasilan pilkada serentak saat ini berjalan secara fair.
Tidak jarang kita dengar di momentum musiman ini, masyarakat menjadi subjek sekaligus objek atas berbagai pelanggaran hukum dalam pemilu/pilkada, sebut saja istilah yang familiar di tengah masyarakat adalah “serangan fajar” (money politics). Tentu kejadian semacam ini tidak hanya merusak kualitas demokrasi kita, juga berakibat fatal pada output (pemimpin) yang di pilih kedepannya yang menurut penulis sendiri merupakan cikal bakal tumbuhnya karakteristik pemimpin yang bermental koruptif.
Perilaku money politics tersebut merupakan jebakan batman antara pihak yang terlibat di dalamnya, sekalipun dia merasa dirinya tidak tahu. Padahal secara jelas dalam pasal 187A angka (1) Undang-Undang nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada telah mempertegas sanksi pidana bagi setiap orang yang melakukan perbuatan melawan hukum tersebut (*)