Pemerintah menginisiasi pembentukan 80.000 Koperasi Merah Putih di seluruh Indonesia sebagai bagian dari pemberdayaan ekonomi desa. Namun, inisiatif ini menimbulkan respons beragam, khususnya terkait pembiayaan yang diduga bersumber dari pinjaman BUMN senilai Rp400 triliun. Kekhawatiran muncul terkait potensi gagal bayar (non-performing loan/NPL), defisit anggaran, dan dampaknya terhadap kepercayaan investor serta stabilitas ekonomi makro.
Inisiatif tersebut mendapat sambutan positif sebagai program pengentasan kemiskinan dan penguatan ekonomi lokal. Namun, sebagian kelompok masyarakat, ekonom, dan pelaku perbankan menilai perlu dilakukan kajian kelayakan mendalam dan pengawasan ketat terhadap pengelolaan dana. Di lapangan, seperti di Kabupaten Bima, beberapa organisasi masyarakat mempertanyakan kesiapan lembaga koperasi desa dalam mengelola dana sebesar Rp5 miliar per unit. Nada ragu juga disampaikan sebagian kepala desa, terutama potensi tumpeng tindih Tupoksi antara Kopdes Merah Putih dan BUMDes yang telah lama diakui eksistensinya di desa.
Sejumlah potensi masalah di lapangan, antara lain tidak semua desa memiliki struktur koperasi aktif dan berpengalaman. Kemudian keterbatasan SDM di tingkat desa dalam manajemen keuangan dan pelaporan akuntabel. Adanya sinyal penolakan di beberapa daerah (desa) dengan sejarah buruk kredit mikro sebelumnya. Selain itu, kekhawatiran pasar finansial mendorong pelemahan nilai tukar rupiah pasca pengumuman inisiatif.
Dari analisis ATHG digambarkan sebagai berikut:
- potensi ledakan NPL yang berdampak langsung pada sistem perbankan nasional.
- Penurunan kepercayaan investor global terhadap pengelolaan fiskal Indonesia.
- Risiko politisasi program untuk kepentingan kelompok tertentu
Adapun tantangan dari Kopdes Merah Putih, antara lain kesulitan validasi kesiapan desa dan koperasi penerima program dalam skala nasional. Kemudian menghindari penyalahgunaan dana di lapangan tanpa sistem pengawasan digital dan terintegrasi. Sementara dari sisi hambatan, antara lain berkaitan terbatasnya kapasitas lembaga pengawasan koperasi di daerah, belum adanya dasar hukum yang jelas terkait pola penyaluran dan pengembalian dana.
Selain potensi penolakan, gejolak pasar keuangan yang dapat memicu inflasi dan depresiasi nilai tukar dapat menjadi ganguan.
Sejumlah ruang risiko antara lain berkaitan ekonomi makro (defisit, inflasi, nilai tukar). Kemudian dari sosial-politik (ketimpangan realisasi program dan resistensi lokal) dan keamanan (potensi mobilisasi unjuk rasa dan ketidakpuasan masyarakat).
Secara umum program ini berpotensi produktif jika dirancang secara hati-hati, namun sangat berisiko jika dilaksanakan tanpa verifikasi kelayakan koperasi dan strategi mitigasi kredit.
Untuk mengatasi sejumlah permasalahan tersebut, sejumlah saran tindak (rekomendasi) yang dapat diperhatikan, antara lain berkaitan kajian kelayakan teknis oleh lembaga independen sebelum program digulirkan. Kemudian uji coba (pilot project) terbatas di sejumlah desa per provinsi selama 6–12 bulan. Kemudian transparansi sumber pendanaan dan skema pengembalian pinjaman kepada publik.
Selain itu, sistem pengawasan digital real-time atas perputaran dana koperasi, edukasi literasi keuangan kepada pengurus koperasi desa secara massif serta koordinasi lintas kementerian (Kemenkeu, Kementerian Desa, OJK, dan BI) dalam menyusun skema aman dan berkelanjutan.
Inisiasi 80.000 Koperasi Merah Putih berpotensi memperkuat ekonomi desa, namun pelaksanaannya harus mengedepankan prinsip kehati-hatian dan keberlanjutan fiskal. Monitoring intelijen perlu terus dilakukan untuk memantau dinamika di daerah serta respons pasar terhadap program ini (US)
Follow informasi Berita11.com diGoogle News