Demokrasi Pancasila sebagai Cerminan Islam Wasathiyah dalam Perjuangan Maulana Syaikh TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid

Syaikh TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid. Foto Ist.
Syaikh TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid. Foto Ist.

Oleh

Muhammad Rajabul Gufron

Bacaan Lainnya
Iklan%20tamsis

Salinan%20dari%20Salinan%20dari%20Salinan%20dari%20Emas%20dan%20Hitam%20Geometris%20Selamat%20Har 20250329 105626 0000

“Jauh sebelum Indonesia merdeka, Sang Maha Guru sudah lebih dulu mencanangkan dan mengimplementasikan prinsip-prinsip demokrasi Pancasila melalui trilogi perjuangan beliau. Pendirian madrasah NWDI dan NBDI sebagai bentuk pengamalan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Pendirian organisasi Nahdlatul Wathan mengajarkan tentang musyawarah mufakat. Kegiatan dakwah yang beliau sampaikan ke pelosok-pelosok negeri syarat akan makna toleransi dan kehidupan yang harmonis sebagai satu bangsa dan satu tanah air.”

Demokrasi adalah sebuah sistem pemerintahan di mana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Dalam demokrasi, rakyat memiliki hak dan kebebasan untuk menentukan arah dan kebijakan pemerintahan, baik secara langsung maupun melalui wakil-wakil yang mereka pilih. Sistem ini menjamin kedaulatan rakyat, keadilan, kesetaraan, serta perlindungan hak asasi manusia. Di era modern ini, lebih dari setengah negara di dunia menganut sistem demokrasi dalam berbagai bentuk.

Namun, Indonesia memiliki karakteristik demokrasi yang unik, yakni Demokrasi Pancasila. Demokrasi ini berakar pada nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila, yang tidak sekadar menjadi dasar negara, tetapi juga jiwa dan identitas kebangsaan. Demokrasi Pancasila bukan hanya sistem politik, tetapi juga sistem etika dan budaya yang menjunjung tinggi musyawarah, gotong royong, persatuan, dan keadilan sosial. Dengan demikian, Demokrasi Pancasila tidak bersifat liberalistik atau individualistik semata, melainkan mengedepankan keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara kebebasan dan tanggung jawab sosial.

Jika kita menelisik lebih dalam, nilai-nilai Demokrasi Pancasila sesungguhnya telah jauh diimplementasikan oleh tokoh-tokoh bangsa bahkan sebelum Republik Indonesia merdeka. Salah satu tokoh besar yang menghidupkan semangat demokrasi berbasis nilai-nilai Pancasila adalah Maulana Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, seorang ulama, pendidik, dan pahlawan nasional dari Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Demokrasi Pancasila dan Islam Wasathiyah

Islam Wasathiyah adalah konsep Islam yang bersifat moderat, adil, seimbang, toleran, dan menjunjung tinggi musyawarah. Islam Wasathiyah tidak hanya menjadi konsep teologis, tetapi juga praksis dalam kehidupan sosial dan politik. Dalam konteks Indonesia, nilai-nilai Islam Wasathiyah sangat selaras dengan prinsip-prinsip Demokrasi Pancasila. Keduanya sama-sama menolak ekstrimisme, menganjurkan keadilan sosial, menghargai keberagaman, serta menjunjung tinggi musyawarah dan persamaan hak.

BACA JUGA: Bupati Bima Tekankan Idul Fitri sebagai Momentum Menguatkan Silaturahmi dan Gotong Royo

Maulana Syaikh adalah salah satu tokoh yang menjadi manifestasi hidup dari nilai-nilai Islam Wasathiyah dan Demokrasi Pancasila. Pandangan dan perjuangannya mencerminkan upaya nyata untuk mewujudkan masyarakat madani yang berkeadaban, adil, dan berlandaskan nilai-nilai Islam dan kebangsaan.

Awal Perjuangan: Menanamkan Nilai Demokrasi Sebelum Merdeka

Maulana Syaikh telah menanamkan prinsip-prinsip demokrasi jauh sebelum Indonesia merdeka. Pada tahun 1937, beliau mendirikan Madrasah NWDI (Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah) sebagai lembaga pendidikan modern bagi kaum laki-laki. Kemudian, pada tahun 1943, beliau mendirikan Madrasah NBDI (Nahdlatul Banat Diniyah Islamiyah) khusus untuk kaum perempuan. Ini adalah bukti konkret dari prinsip persamaan hak dalam memperoleh pendidikan, sebuah hal yang sangat progresif di masa itu.

Kebijakan ini bukan hanya pendidikan, tetapi juga langkah politik yang visioner. Dalam konteks demokrasi, Maulana Syaikh telah memperjuangkan hak atas akses pendidikan yang adil dan setara, tanpa membedakan gender, status sosial, atau latar belakang.

Pada tahun 1953, beliau mendirikan organisasi massa Nahdlatul Wathan, sebagai kelanjutan dari perjuangan sosial, pendidikan, dan dakwah. Nahdlatul Wathan menjadi wadah yang demokratis, terbuka, dan kolektif, tempat kader-kader dididik untuk menjadi insan yang berilmu, berakhlak, serta memiliki tanggung jawab kebangsaan dan keumatan.

Prinsip Demokrasi Pancasila dan Implementasi oleh Maulana Syaikh

Demokrasi Pancasila memiliki tujuh prinsip utama, yaitu kedaulatan rakyat, musyawarah untuk mufakat, kebebasan yang bertanggung jawab, menjunjung tinggi hukum, peradilan yang merdeka, persamaan hak seluruh rakyat, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Ketujuh prinsip ini tidak hanya menjadi pedoman normatif dalam sistem pemerintahan Indonesia, tetapi juga telah diimplementasikan secara nyata oleh tokoh-tokoh bangsa, salah satunya adalah Maulana Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid.

Maulana Syaikh mewujudkan nilai-nilai tersebut melalui berbagai aktivitas pendidikan, sosial, dan keagamaan. Ia menanamkan pentingnya musyawarah dalam setiap pengambilan keputusan, baik dalam lingkungan madrasah maupun dalam pengelolaan organisasi. Prinsip keadilan dan persamaan hak tercermin jelas dalam langkah visioner beliau mendirikan madrasah bagi laki-laki (NWDI) dan perempuan (NBDI), yang pada masa itu merupakan langkah progresif dalam memperjuangkan akses pendidikan yang setara.

Lebih dari itu, Maulana Syaikh juga menekankan pentingnya tanggung jawab sosial. Beliau tidak hanya mendorong umat untuk menuntut hak-haknya, tetapi juga menunaikan kewajiban sebagai warga negara dan anggota masyarakat. Dalam banyak karya tulis dan pidatonya, beliau menggarisbawahi bahwa akhlak adalah dasar utama dalam berpolitik dan bermasyarakat. Hal ini menjadi bentuk konkret dari prinsip kebebasan yang bertanggung jawab dalam Demokrasi Pancasila.

BACA JUGA: Sandang Gelar Miss Queen, Negara Membiarkan Pelaku L913T untuk Tampil

Trilogi Perjuangan: Pendidikan, Sosial, dan Dakwah

Trilogi perjuangan Maulana Syaikh—pendidikan, sosial, dan dakwah—menjadi landasan utama dalam membentuk masyarakat madani yang demokratis. Melalui pendidikan, beliau mencetak kader-kader bangsa yang berilmu dan berintegritas. Melalui kegiatan sosial, beliau menyentuh langsung kebutuhan masyarakat, membangun solidaritas, dan memberdayakan yang lemah. Sementara dakwah menjadi medium untuk membangun akhlak, moralitas, dan kesadaran spiritual masyarakat.

Ketiga aspek ini saling terkait dan saling menguatkan. Tanpa pendidikan, masyarakat akan sulit memahami hak dan kewajibannya. Tanpa gerakan sosial, tidak akan ada keadilan. Tanpa dakwah, hilanglah nilai etika dan ruh dalam kehidupan berbangsa.

Negara dan Agama: Satu Kesatuan dalam Identitas Bangsa

Maulana Syaikh memiliki pandangan yang kokoh tentang relasi antara negara dan agama. Menurut beliau, agama dan kebangsaan tidak boleh dipertentangkan. Negara adalah alat untuk menegakkan nilai-nilai agama, dan agama memberikan ruh moral dan etika dalam penyelenggaraan negara. Beliau menegaskan bahwa Indonesia sebagai bangsa yang religius tidak bisa memisahkan nilai-nilai keimanan dari pembangunan kebangsaan.

Pernyataan beliau yang terkenal, “Agama tanpa negara lumpuh, negara tanpa agama buta” mencerminkan kedalaman berpikirnya dalam menyikapi relasi dua entitas ini. Negara dan agama harus bersinergi dalam membangun manusia seutuhnya dan masyarakat yang adil dan beradab.

Kiprah Multidisipliner dan Peran Strategis

Sebagai seorang ulama, pendidik, sastrawan, dan pemikir politik, Maulana Syaikh dapat dikaji dari berbagai disiplin ilmu. Ia menulis syair, buku tafsir, risalah keislaman, dan juga gagasan sosial-politik. Gaya perjuangannya inklusif dan strategis, merangkul seluruh lapisan masyarakat. Beliau dihormati bukan hanya oleh masyarakat Sasak, tetapi juga secara nasional, bahkan internasional.

Dalam kapasitasnya, beliau adalah negarawan sejati dan agamawan yang moderat. Kiprah beliau adalah contoh ideal bahwa Islam Wasathiyah dapat menjadi dasar kuat untuk membangun demokrasi yang inklusif, adil, dan berkelanjutan.

Melanjutkan Warisan Demokrasi Maulana Syaikh

Demokrasi Pancasila bukanlah barang asing dalam kehidupan bangsa. Nilai-nilainya telah hidup dalam masyarakat Indonesia sejak lama. Maulana Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid adalah bukti nyata bahwa nilai-nilai demokrasi, keadilan, persamaan, dan musyawarah dapat tumbuh dalam tradisi keislaman dan kebudayaan Nusantara.

Tugas kita hari ini bukan hanya mengenang beliau, tetapi melanjutkan warisannya. Kita harus meneguhkan semangat Islam Wasathiyah, menanamkan nilai-nilai demokrasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa, serta memperjuangkan keadilan dan persatuan sebagaimana yang beliau cita-citakan (*)

Salinan%20dari%20Salinan%20dari%20Salinan%20dari%20Salinan%20dari%20Salinan%20dari%20Emas%20dan%20H 20250329 142724 0000

Pos terkait