Bima, Berita11.com— Metologi pelacakan integritas penelitian terbaru memasukan 13 kampus ternama di Indonesia ke dalam kategori diragukan. Metode ini didasari telaahan atas proporsi jurnal yang ditarik dari publikasi global.
Research Integrity Risk Index (RI2) adalah indeks yang mengukur risiko integritas universitas dalam riset. Yang berisiko super tinggi diberi label merah, risiko tinggi label oranye, yang agak rendah tapi masih cukup significant diberi label kuning (watch list), yang hijau masih dianggap normal, dan putih tanpa risiko.
Ukurannya , pertama, dari jumlah makalah (paper) yang dipublikasi lalu kemudian ditarik kembali (retraction) karena ada pemalsuan data dan pelanggaran integritas lain. Kedua, dari D-Rate, yaitu jumlah paper yang dipublikasikan di jurnal-jurnal yang belakangan ini dikeluarkan dari Scopus atau Web of Science. Kenapa dikeluarkan? Karena terindikasi jurnal abal-abal.
Universitas yang dianggap berisiko tinggi dalam soal integritas terbukti banyak mempublikasikan paper tidak bermutu, berisi fraud, atau menerbitkannya di jurnal abal-abal.
Penelitian Integrity Risk Index (RI²) adalah metrik gabungan pertama di dunia yang didasarkan pada empiris dan dirancang untuk mengidentifikasi dan membuat profil risiko di tingkat institusi terhadap integritas penelitian.
Dikembangkan oleh Profesor Lokman Meho di American University of Beirut, RI² diciptakan sebagai tanggapan atas kekhawatiran yang berkembang tentang bagaimana pemeringkatan universitas global memberi insentif pada penerbitan berbasis volume dan kutipan dengan mengorbankan integritas ilmiah.
Sistem ini mengevaluasi institusi berdasarkan dua indikator independen dan dapat diverifikasi. Pertama adalah R Rate, yakni jumlah artikel yang ditarik kembali per 1.000 publikasi, yang menunjukkan adanya pelanggaran metodologi, etika, atau kepenulisan yang serius. Metode selanjutnya adalah D Rate, yakni persentase publikasi institusi yang muncul di jurnal yang baru-baru ini dihapus dari Scopus atau Web of Science karena gagal memenuhi standar kualitas atau penerbitan.
Indikator-indikator ini dinormalisasi dan dirata-ratakan untuk menghasilkan skor 0-1, yang menempatkan masing-masing institusi ke dalam salah satu dari lima tingkatan risiko, merentang dari “Red Flag” untuk resiko tertinggi, hingga “Low Risk” berdasarkan kelompok referensi tetap dari 1.000 universitas yang paling banyak menerbitkan dokumen di seluruh dunia.
Dengan metode itu, didapati didapati lima kampus Tanah Air masuk kategori “Red Flag”. Kategori ini menandai “anomali ekstrem yang mana menunjukkan resiko integritas sistemik”. Kampus-kampus itu diantaranya satu universitas swasta ternama di Jakarta dan empat universitas negeri masing-masing di Jawa Timur, Sumatra Utara, Sulawesi Selatan, dan Jawa Tengah.
Tiga kampus masuk kategori “High Risk” alias beresiko tinggi yang “menunjukkan deviasi dari norma umum” di antaranya ada masing-masing satu universitas negeri di Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur.
Sedangkan lima universitas masuk kategori “Watch List” alias dalam pengawasan terkait integritas penelitian. Yang masuk dalam kategori ini tergolong kampus-kampus negeri terkemuka di Surabaya, Jakarta, Bandung, Bogor, dan Yogyakarta.
Penulis studi, Profesor Lokman Meho, yang berbasis di American University of Beirut di Lebanon, mengatakan tujuan dari penelitian tesrebut bukan untuk menuduh institusi tertentu. Namun untuk memicu perbincangan tentang bagaimana sistem peringkat global dapat secara tidak sengaja memberikan insentif pada praktik yang membahayakan integritas penelitian.
“Studi ini mengungkapkan bagaimana permainan metrik penelitian mendistorsi akademisi global, melemahkan integritas penelitian, dan menciptakan persaingan yang tidak seimbang di mana para peneliti dan institusi yang beretika dipaksa untuk bersaing dengan tolok ukur yang dibuat-buat,” kata Meho kepada University World News.
Ia menggambarkan RI² sebagai “alat konservatif dan berlandaskan empiris yang menandai institusi yang menunjukkan risiko integritas struktural berdasarkan tingkat pencabutan dan ketergantungan pada jurnal yang dihapus dari daftar”, bukannya sebagai alat hukuman. Menurutnya indeks ini menawarkan institusi kesempatan untuk mendeteksi risiko integritas sebelum menjadi tanggung jawab reputasi.
“RI² membantu lembaga-lembaga dan pembuat kebijakan mendeteksi dan memantau risiko-risiko tersebut sejak dini, mendorong praktik penelitian dan tolok ukur kelembagaan yang lebih bertanggung jawab dan peka terhadap integritas,” kata Meho.
“RI² membantu mengalihkan fokus dari sekedar volume dan visibilitas ke sinyal struktural risiko etika, menawarkan universitas jalan menuju kinerja akademik yang lebih berkelanjutan dan transparan,” katanya.
Ia menambahkan ketergantungan pada data publik yang ada memastikan hal ini dapat diadopsi secara global tanpa perubahan infrastruktur yang mahal.
“Dengan tekanan harus publikasi, sementara kemampuan riset minim, ditambah dana cekak, maka mereka melakukan akrobat riset. Maka muncullah paper abal-abal yang diterbitkan di jurnal abal-abal,” katanya.
Dirinya pernah saya melihat paper ilmuwan Indonesia dari universitas yang masuk kategori red flag. Isinya menjelaskan rupa-rupa sate alias berbagai jenis sate. “Saya bingung. Itu substansi risetnya apa? Jurnalnya adalah jurnal Q4, H-idex rendah. Walau tidak masuk dalam kategori fraud, ini masuk kategori jurnal kelas kambing,” katanya.
Sementara itu, Forum Rektor Indonesia (FRI) merespon hasil laporan Research Integrity Risk Index menyangkut 13 kampus di Indonesia yang riskan melanggar integritas akademik.
Wakil Ketua FRI Prof Didin Muhafidin mempertanyakan keabsahan hasil penelitian itu. Didin meragukan kredibilitas lembaga pembuat laporannya.
“Lembaga-lembaga survei harus tersertifikasi. Artinya dia terakreditasi, contoh di Indonesia KPU itu hanya akui lembaga survei yang terakreditasi,” kata Didin dikutip dari Republika, Kamis (3/7/2025).
Menurutnya, badan suvei jelas tersertifikasi, forum rektor bisa komentar. Untuk itu, ia meminta meminta pihak Research Integrity Risk Index menjelaskan maksud penelitiannya.
Ia menyebut resiko pelanggaran integritas akademik harus dijelaskan secara gamblang. Misalnya pelanggaran karena banyak karya plagiasi, tingkat kesamaan tinggi. “Harus jelas dulu,” kata dia.
Mengawakil Forum Rektor, ia mengimbau masyarakat jangan mudah terpengaruh. Karena belum jelas kredibilitas lembaga survei.
Menurut Didin, penelitian semacam itu bisa saja ditujukan untuk menjatuhkan nama baik perguruan tinggi dalam negeri. Sebab dirinya mengamati ada kampus di luar negeri yang kekurangan mahasiswa.
“Sekarang banyak kampus luar negeri kekurangan mahasiswa, sehingga mereka buat narasi begitu agar percaya kuliah di luar negeri,” kata Didin.
Untuk diketahui, rendahnya kualitas jurnal ilmiah dari Indonesia sempat menjadi sorotan tahun lalu. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengakui jumlah publikasi jurnal di Indonesia sangat banyak, namun mayoritas masih abal-abal atau tidak berkualitas.
“Beberapa kali kita mendapatkan unggahan di media sosial yang mem-bully kita semua karena publikasi Indonesia meski banyak tapi abal-abal. Jurnalnya tidak jelas, jurnal predator,” kata Plt Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi Kemendikbudristek Nizam di Jakarta, pada awal 2024.
Nizam menjelaskan penelitian menjadi bagian penting bagi Tri Dharma Perguruan Tinggi dan merupakan salah satu tugas dosen yang utama selain mengajar.
Ia menuturkan jumlah publikasi Indonesia yang diedarkan oleh perguruan tinggi saat ini luar biasa banyaknya, bahkan melejit dibandingkan negara-negara lain terutama di Asia.
Di sisi lain, ia mengatakan kualitas dari publikasi tersebut masih sangat perlu ditingkatkan karena banyak yang tidak memenuhi standar.
Untuk itu, Nizam saat itu meminta agar para dosen, mahasiswa, dan peneliti dapat meningkatkan kualitas publikasi ini dengan cara salah satunya adalah memilih dengan hati-hati jurnal yang akan menjadi tempat publikasi.
“Makanya sangat penting untuk kita memastikan bahwa jurnal tempat kita publikasi betul-betul berkualitas. Bukan abal-abal dan bukan predator,” ujarnya. [B-19]
Follow informasi Berita11.com diGoogle News