Bima, Berita11.com— Pemerhati Adhyaksa, FeiraIbra, menanggapi pernyataan Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah (FH UM) Bima terkait Revisi Undang-Undang Kejaksaan (RUUK) yang dianggap berpotensi melucuti kewenangan polisi (penyidik) dan hakim sehingga berpotensi membuat korps tersebut superior.
Menurutnya, RUUK tidak otomatis kewenangan penyelidikan dan penyidikan dari instiusi lain (Polri) diamputasi atau menjadi tidak berfungsi. Perlu diketahui latar belakang mengapa Asas Dominus Litis (ADL) harus dilekatkan kepada kinerja Kejaksaan, yang selama ini ada pada lembaga Kehakiman.
“Apakah dengan ADL tersebut nantinya jaksa bisa bebas menentukan kapan satu perkara naik kepenyidikan dan penuntutan, atau jaksa bebas menghentikan perkara?” katanya melalui pernyatan tertulis, Selasa (18/2/2025).
Selain itu, apakah benar akan terjadi over lapping kewenangan jaksa dan hakim dalam menentukan sah tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaàn dalam lain-lain proses penyidikan? Panduan pertanyaan tersebut bisa membuka cakrawala berpikir menanggapi RUUK.
“Tidak mungkin ada upaya dari kejaksaan untk menghentikan secara sepihak setiap hasil penyidikan, pasti melalui gelar perkara dengan penyidiknya, kan kita menganut paham integrated criminal justice system,” ujarnya.
“Masa satu perkara yang tidak bisa dibuktikan harus dinyatakan P.21 dan dibawa ke pengadilan, lalu wibawa jaksa mau ditaruh di mana jika perkaranya bebas,” ujar Feira.
Ia mengatakan, RUUK juga guna menghindari kenyataan selama ini, bahwa terhadap perkara-perkara yang dilakukan dengan restoratif justice (RJ) banyak yang diselesaikan sendiri oleh penyidik kepolisian. Maka dengan diberikannya dominus litis penanganan perkara kepada lembaga kejaksaan, diharapkan juga sebagai control bagi lembaga penyidik lainnya.
“Demikian juga tidak ada benturan kepentingan dengan hakim, karena setiap tindakan jaksa bisa saja dilakukan upaya praperadilan (prapid),” ujarnya.
Menurut dia, dengan diberinya kewenangan dominus litis kepada kejaksaan, diharapkan semua proses penanganan perkara bisa lebih cepat, karena jaksa sebaai sentral penanganan perkara dan sebagai penuntut bisa lebih cepat dan mudah memahami permasalahan, di samping mengurangi bolak baliknya perkara pidana antara penyudik dan penuntutnya. [B-22]