Rayakan HTN,  KPC SMI Cabang Bima Gelar Unjuk Rasa di Kantor Pemkab Bima

Suasana saat massa aksi Komite Pimpinan Cabang Serikat Mahasiswa Indonesia (KPC SMI) Cabang Bima menggelar aksi unjuk rasa di kantor Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bima, memperingati hari tani nasional (HTN) 2025, Rabu (24/9/2025).
Suasana saat massa aksi Komite Pimpinan Cabang Serikat Mahasiswa Indonesia (KPC SMI) Cabang Bima menggelar aksi unjuk rasa di kantor Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bima, memperingati hari tani nasional (HTN) 2025, Rabu (24/9/2025).

Bima, Berita11.com— Massa aksi  Komite Pimpinan Cabang Serikat Mahasiswa Indonesia (KPC SMI) Cabang Bima menggelar aksi unjuk rasa di kantor Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bima, memperingati hari tani nasional (HTN) 2025, Rabu (24/9/2025).

Massa yang dikoordinir Mahfuddin menyampaikan delapan pokok tuntutan, salah satunya mendesak pemerintah daerah segera mewujudkan Peraturan Bupati (Perbup) sebagai peraturan pelaksana Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Bima Nomor 3 Tahun 2024 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.

Bacaan Lainnya

Sekretaris Umum SMI Cabang Bima, Fardan mengatakan, Hari Tani Nasional (HTN) diperingati setiap tanggal 24 September di Indonesia. Penetapan hari  tidak terlepas dari lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960) yang ditandatangani Presiden Soekarno pada 24 September 1960.

“UUPA 1960 lahir sebagai koreksi atas ketimpangan agraria yang diwariskan sejak zaman kolonial Belanda. Pada masa kolonial, sebagian besar tanah di Nusantara dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda, tuan tanah besar, serta perusahaan perkebunan swasta asing,” ujarnya.

Menurutnya, rakyat Indonesia, khususnya petani, hanya menjadi buruh tani atau penggarap tanpa kepastian hak. Keadaan ini melahirkan ketidakadilan agraria yang sangat dalam. Segelintir orang menguasai lahan luas, sementara jutaan rakyat tidak memiliki tanah.Setelah Indonesia merdeka, semangat untuk membangun kedaulatan bangsa juga diwujudkan dalam cita-cita reforma agraria.

“Presiden Soekarno bersama para perumus kebijakan menilai bahwa tanah bukan sekadar komoditas ekonomi, melainkan juga sumber kehidupan rakyat. Oleh karena itu, UUPA 1960 diterbitkan dengan tujuan menghapus hukum agraria kolonial (Agrarische Wet 1870) dan menggantikannya dengan hukum nasional yang berasaskan pada kepentingan rakyat,” tandasnya.

Massa Serikat Mahasiswa Indonesia Cabang Bima foto bersama aparat keamanan usai menggelar aksi unjuk rasa di kantor Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bima, memperingati hari tani nasional (HTN) 2025, Rabu (24/9/2025).
Massa Serikat Mahasiswa Indonesia Cabang Bima foto bersama aparat keamanan usai menggelar aksi unjuk rasa di kantor Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bima, memperingati hari tani nasional (HTN) 2025, Rabu (24/9/2025).

Dikatakannya, UUPA 1960 menegaskan prinsip bahwa tanah dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Salah satu agenda terpentingnya adalah land reform, yaitu redistribusi tanah dari tuan tanah yang menguasai lahan luas kepada petani kecil dan tak bertanah. Land reform dimaksudkan untuk mengurangi kesenjangan sosial, memperkuat ekonomi pedesaan, serta meletakkan dasar bagi kedaulatan pangan.

Untuk mengenang lahirnya UUPA, Presiden Soekarno kemudian menetapkan tanggal 24 September sebagai Hari Tani Nasional (HTN). Peringatan ini dimaksudkan bukan hanya sebagai penghormatan kepada petani sebagai pahlawan pangan, tetapi juga sebagai pengingat akan pentingnya reforma agraria demi kesejahteraan bangsa. Namun, perjalanan sejarah tidak selalu berjalan mulus. Pasca peristiwa politik 1965, program land reform terhenti.

Sementara itu, pada masa Orde Baru, kebijakan pembangunan lebih berpihak pada pertumbuhan ekonomi berbasis investasi modal besar, seperti perkebunan skala luas, tambang, dan proyek infrastruktur. Akibatnya, cita-cita reforma agraria yang terkandung dalam UUPA 1960 banyak terabaikan, sementara ketimpangan penguasaan tanah kembali menguat.

BACA JUGA:  Operasi Intelijen TNI dan Koramil di Bima Sukses Gerebek Terduga Pengedar Narkoba

“Memasuki era Reformasi setelah 1998, tuntutan terhadap reforma agraria kembali menguat. Berbagai organisasi tani, mahasiswa, dan masyarakat sipil terus mengingatkan negara akan janji konstitusional untuk menghadirkan keadilan agraria,” katanya.

Ia mengatakan, setiap tanggal 24 September, Hari Tani Nasional diperingati dengan aksi massa, diskusi publik, hingga kegiatan budaya, sebagai wujud konsolidasi gerakan agraria.Hingga kini, Hari Tani Nasional memiliki makna yang mendalam. Menjadi simbol perjuangan petani Indonesia dalam memperjuangkan hak atas tanah, pengingat bahwa tanah adalah sumber kehidupan dan identitas bangsa, serta momentum untuk menagih janji reforma agraria yang sejati.

“Lebih dari itu, HTN menegaskan bahwa petani adalah subjek penting dalam pembangunan nasional, bukan sekadar objek kebijakan.Nasib petani di bawah cengkeraman oligarki dan kapitalisme Indonesia kerap disebut sebagai negara agraris,” katanya.

Sebutan ini lanjut dia, lahir karena sebagian besar penduduknya menggantungkan hidup pada sektor pertanian, sementara tanah dipandang sebagai sumber utama kehidupan bangsa.

“Namun, di balik citra itu, terdapat kenyataan pahit: petani justru menjadi kelompok yang paling rentan, miskin, dan termarginalkan. Kondisi ini tidak bisa dilepaskan dari cengkeraman oligarki politik dan dominasi sistem kapitalisme yang mengatur arah pembangunan agraria di negeri ini,” ujar Fardan.

Kapitalisme memperdalam luka petani. Tanah yang seharusnya menjadi basis produksi pangan untuk rakyat justru dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit, hutan tanaman industri, kawasan industri, hingga tambang. Orientasi produksi pertanian pun diarahkan ke pasar global, bukan untuk menjamin kebutuhan pangan dalam negeri. Akibatnya, petani kecil tersisih dari lahan suburnya, terpaksa menjadi buruh di tanah sendiri, atau kehilangan mata pencaharian sama sekali.

Pada sisi lain, kebijakan pangan yang dijalankan negara seringkali justru menekan petani. Impor beras, kedelai, jagung, dan komoditas lain dilakukan dengan alasan menjaga stabilitas harga. Namun, hal itu menyebabkan harga produk lokal anjlok, membuat petani tidak mendapatkan keuntungan yang layak.

“Mereka bekerja keras di sawah, tetapi hasil panen tidak sebanding dengan biaya produksi. Ironisnya, sebagian besar petani masih bergantung pada pupuk dan benih dari perusahaan besar, sehingga semakin terjerat dalam lingkaran kapitalisme.Politik oligarki juga memperlakukan petani sebatas basis suara dalam pemilu,” katanya.

Fardan menyentil, setiap musim kampanye, janji-janji kesejahteraan, subsidi, dan program pupuk murah selalu dilontarkan. Namun, setelah pemilu usai, nasib petani kembali terlupakan. Mereka tidak dilibatkan sebagai subjek dalam perumusan kebijakan agraria dan pangan, melainkan hanya objek pembangunan dari atas.Akibat dari semua ini, wajah pedesaan Indonesia dipenuhi kontradiksi. Pada satu sisi, desa dipuji sebagai lumbung pangan bangsa. Namun di sisi lain, kemiskinan, pengangguran, dan penyusutan lahan pertanian terus menghantui.

BACA JUGA:  Panas-panasan Temui Massa Aksi, Kapolda NTB Dinilai Bagus dan Humanis

“Generasi muda desa enggan menjadi petani karena pekerjaan itu identik dengan kemiskinan. Desa yang seharusnya menjadi ruang hidup petani justru menjadi sasaran investasi oligarki.M eski begitu, perlawanan petani tidak pernah padam,” katanya.

Berbagai organisasi tani, ujar dia, serikat petani, hingga gerakan masyarakat sipil terus menuntut keadilan agraria. Mereka memperjuangkan redistribusi tanah, kedaulatan pangan, serta penghentian perampasan tanah atas nama pembangunan. Setiap 24 September, Hari Tani Nasional diperingati sebagai momentum untuk mengingatkan negara agar tidak melupakan amanat reforma agraria.Nasib petani hari ini memang masih berada di bawah cengkeraman oligarki dan kapitalisme.

“Tetapi semangat perjuangan agraria tetap menyala. Petani bukan hanya korban dari sistem yang timpang, melainkan juga subjek perlawanan yang meneguhkan bahwa tanpa petani, bangsa ini tidak akan pernah merdeka secara sejati,” tandasnya.

Ia menambahkan, petani di Indonesia menghadapi berbagai persoalan struktural yang membuat mereka sulit sejahtera. Salah satu akar masalahnya adalah dominasi oligarki, yaitu segelintir elit politik dan ekonomi yang menguasai sumber daya agraria serta menentukan arah kebijakan negara. Oligarki ini membuat petani terpinggirkan dalam banyak aspek kehidupan.

“Ketimpangan penguasaan tanah.Tanah yang seharusnya menjadi sumber kehidupan petani kecil justru dikuasai oleh perusahaan besar atau kelompok elit. Konsesi jutaan hektare lahan diberikan kepada perkebunan sawit, hutan tanaman industri, tambang, dan proyek infrastruktur, sementara petani hanya memiliki lahan sempit atau bahkan tidak bertanah sama sekali.Akibatnya, banyak petani kehilangan akses terhadap tanah dan terpaksa menjadi buruh tani atau migran,” kata dia.

Pada momentum HTN 2025, SMI Cabang Bima menyampaikan delapan pokok tuntutan, yaitu  mendesak pemerintah daerah segera mujudkan peraturan Bupati sebagai peraturan pelaksana Perda Kabupaten Bima Nomor 3 Tahun 2024 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.

Kemudian, mendesak pemerintah daerah agar mengaktifkan BUMD untuk menunjang kemajuan PAD Kabupaten Bima. Meminta Pemda dan stake holder terkait agar memperbaiki infrastruktur (jalan dan jaringan) yang ada di Kabupaten Bima.

Massa SMI juga mendesak pemerintah merealisasikan standarisasi pendidikan (SNP) di instansi pendidikan yang ada di Kabupaten Bima. Mendesak pihak terkait agar menghentikan  ekspolitasi tanah dan air. Mendesak pemerintah daerah dan stake holder terkait agar memberantas mafia  LPG bersubsidi. Mendesak agar menghentikan represifitas terhadap gerakan rakyat serta  menghetikan pembungkaman ruang demokrasi mahasiswa di kampus. [B-19]

Follow informasi Berita11.com di Google News


Pos terkait