Surat dari Anisa (Part II)

Cover/ Ilustrasi.
Cover/ Ilustrasi.

Penghormatan

 

Bacaan Lainnya

Tiga tahun telah berlalu, tetapi duka telah diubah menjadi dedikasi. Rizal tidak kembali ke Jakarta; ia mengakar di Bima. Dengan dana yang ia peroleh dari penjualan aset-asetnya dan sebagian hadiah dari Penghargaan Jurnalistik Nasional yang ia menangkan atas nama Anisa, Rizal mendirikan sebuah organisasi non-profit: Yayasan Cahaya Rimpu.

Yayasan ini beroperasi dari sebuah rumah tradisional Bima yang dicat ulang, menjadikannya simbol transparansi dan penghormatan adat. Visi Yayasan adalah merawat martabat Bima, seperti yang disimbolkan oleh kain rimpu.

Pilar utama adalah program beasiswa penuh, memastikan gadis-gadis di desa-desa yang rawan pernikahan dini dapat mengakses pendidikan tinggi. Ibu Laila, sang aktivis sejati, menjadi kepala dewan pengawas Yayasan. Rizal secara resmi mengambil posisi sebagai Pemimpin Redaksi Media Rakyat Bima, mengubah kantor ruko sederhana itu menjadi pusat pelatihan bagi jurnalis muda lokal. Ia mengajarkan “Jurnalisme Empati Anisa”: melaporkan dengan kebenaran yang tidak kompromi, tetapi dengan kepekaan terhadap penderitaan manusia.

Rizal tidak lagi bekerja sendiri. Ia didukung oleh Dani, Sinta, dan Irwan, yang kini menjadi inti tim investigasi yang berani. Di Media Rakyat Bima, foto Anisa dipasang di dinding, di bawah kutipan favoritnya: “Menulis adalah melawan dengan hati.”

Empat tahun setelah kepergian Anisa, Rizal menyelesaikan janji yang paling personal. Fatma, yang dulu ketakutan akan perjodohan, berhasil lulus dari SMA dan diterima di Fakultas Keguruan Universitas Mataram. Mimpi Anisa terwujud, Fatma akan menjadi seorang guru, agen perubahan di desanya.

BACA JUGA:  Konferensi PWI NTB 2025 Digelar Awal Agustus, Syarat Calon Ketua Diperketat

Saat upacara wisuda, Rizal mendampingi Fatma. Ia melihat Fatma, mengenakan kebaya yang anggun dengan selendang tenun Bima, tersenyum lebar. Ia adalah simbol kemenangan Rizal atas Ayah Anisa, atas adat yang kaku, dan atas kegagalan masa lalu Anisa.

Di tengah keramaian, Ayah Anisa datang menghampiri mereka. Rizal melihat mata pria tua itu berkaca-kaca, dipenuhi rasa haru.

“Terima kasih, Nak Rizal,” kata Ayah Anisa, suaranya dipenuhi rasa hormat dan penyesalan yang mendalam. Ia tidak lagi menyebut Rizal ‘wartawan Jakarta’, melainkan ‘Nak Rizal’ dengan penuh kasih. “Kau lebih dari seorang menantu. Kau adalah janji yang ditepati Anisa. Kau telah mengajarkan saya bahwa kehormatan sejati itu ada pada ilmu, bukan pada kekayaan.”

Kini, Ayah Anisa adalah salah satu donatur tetap Yayasan Cahaya Rimpu, sering menggunakan jaringannya sebagai pedagang untuk mengumpulkan dana beasiswa. Janji Rizal untuk melawan keluarga dengan cinta dan pendidikan telah sepenuhnya terwujud.

Lima tahun berlalu. Bima telah menjadi rumah sejati bagi Rizal. Rambutnya kini beruban tipis di pelipis, kulitnya lebih gelap, dan matanya memancarkan ketenangan yang hanya dimiliki oleh orang yang telah menemukan tujuan hidupnya. Ia adalah tokoh masyarakat yang disegani, yang integritasnya tak diragukan.

Dalam lima tahun ini, Rizal telah menyelesaikan semua legacy yang Anisa tinggalkan.  Proses hukum telah berakhir, dan pejabat-pejabat yang terlibat dalam skandal kasus tambang divonis bersalah. Lahan-lahan petani diselamatkan, dan izin fiktif dibatalkan. Hutan di wilayah selatan Bima kini aman. Pada sisi lain Yayasan Cahaya Rimpu telah berhasil memberikan beasiswa kepada puluhan gadis, menekan angka pernikahan dini di beberapa desa terpencil.

BACA JUGA:  Sukseskan Moto GP 2023, Bupati Bima Ajak Masyarakat jaga Kondusifitas

Rizal tidak pernah menikah lagi. Hatinya telah terkunci pada Anisa dan warisannya.

Sore itu, Rizal kembali ke Pantai Kalaki—tempat yang sama di mana ia melamar Anisa.

Ia duduk di batu karang di tepi pantai, memandangi langit jingga yang sama seperti hari itu, kini memantul di permukaan air yang tenang. Ia mengeluarkan sebuah buku kecil yang selalu ia bawa—buku yang berisi semua surat-suratnya untuk Anisa di Langit Bima.

Ia menulis surat terakhirnya, sebuah penutup untuk babak hidupnya.

 

“Nis,

… Lima tahun. Waktu telah menyembuhkan luka dan mengukuhkan tujuan. Aku menepati semua janji. Fatma di Mataram, kantor aman, dan yang terpenting, kasus tambang selesai. Kita menang, Nis.

Aku tidak pernah kembali ke Jakarta. Aku tinggal di sini, di kamar kita. Aku adalah Penjaga yang kamu minta. Dan percayalah, Bima adalah rumah terbaik yang pernah aku miliki, karena setiap sudutnya mengingatkanku pada idealisme yang kamu ajarkan.

Aku tahu, kamu tidak akan mau aku jatuh cinta lagi. Aku pun tidak akan. Cintaku padamu tidak mati; ia telah bertransformasi menjadi pengabdian yang abadi untuk Bima.

Sampai jumpa, Penjagaku. Aku akan melanjutkan tugas.

— Rizal, Penjagamu.

Ia menutup buku itu, tersenyum. Ia menyimpan surat itu ke dalam tas kerjanya. Di sana, di tepi pantai yang sunyi, ia merenungkan takdir: seorang jurnalis yang datang untuk meliput konflik, tetapi pulang dengan membawa janji dan sebuah warisan.

 

***


Pos terkait