Surat dari Anisa (Part II)

Cover/ Ilustrasi.
Cover/ Ilustrasi.

Bara Api dan Benih Cinta

 

Bacaan Lainnya

Laporan mendalam Rizal dan Anisa tentang pernikahan anak telah diterbitkan di media nasional, menimbulkan reaksi keras dari LSM dan pemerintah daerah. Namun, setelah gelombang awal reda, tugas Rizal tidak selesai. Peringatan Pamannya tentang tambang dan janji pada nurani jurnalistiknya mulai memanggil.

Tim redaksi Media Rakyat Bima memutuskan untuk mengalihkan fokus ke isu yang lebih berisiko: rencana konsesi tambang di wilayah selatan Bima yang diyakini mengancam lahan pertanian produktif dan wilayah adat Wawo.

“Isu pernikahan dini menyentuh hati. Tapi isu tambang ini menyentuh dapur dan kekuasaan,” ujar Dani dalam rapat, wajahnya tegang. “Kita harus berhati-hati. Di Jakarta, Kak Rizal punya perlindungan. Di sini, kita hanya punya Dani, Sinta, Irwan, dan warung kopi.”

Rizal mengamati peta konsesi yang terpampang di dinding. “Jarak kita terlalu jauh, Nis. Kita tidak akan mendapatkan gambar emosi massa dari sini,” bisik Rizal pada Anisa.

Anisa, yang sudah terbiasa dengan risiko, mengangguk. “Aku tahu, Kak. Aku sudah mengumpulkan data awal. Kita harus mulai dari mewawancarai langsung petani yang tanahnya terancam.”

Rizal dan Anisa memulai investigasi di Desa Pesa, wilayah yang ditargetkan untuk proyek tambang. Mereka mewawancarai petani jagung dan kedelai.

“Mereka datang dengan kertas segel dan bodyguard berseragam,” kata seorang petani tua, matanya berkaca-kaca. “Mereka bilang, tanah ini bukan milik kami lagi, tapi milik negara, dan negara sudah mengizinkan penambangan. Mereka menawari uang ganti rugi yang tidak masuk akal.”

Investigasi ini berbeda dengan liputan pernikahan anak; kali ini, ada aroma intimidasi yang kuat. Setiap kali mereka mewawancarai narasumber, mereka merasa diikuti.

BACA JUGA:  Surat dari Anisa

Saat mereka beristirahat di warung kecil, Anisa menerima telepon dari nomor asing. Suara berat seorang pria di ujung sana berkata dingin, “Hentikan mengorek tanah orang. Fokus saja pada anak kecil. Kalian tidak akan punya masa depan di Bima kalau ikut campur urusan besar.”

Anisa segera menutup telepon itu, wajahnya pucat. “Ancaman, Kak. Mereka tahu kita sedang meliput.”

“Biarkan saja mereka tahu,” jawab Rizal, mencoba tenang meskipun jantungnya berdebar kencang. Ia teringat peringatan Pamannya. “Artinya kita sudah di jalur yang benar. Tapi kita harus ganti mobil dan jalur pulang kita.”

Setelah menerima ancaman telepon, ketegangan di kantor redaksi mencapai puncaknya. Rizal mendesak tim untuk istirahat. Anisa, sadar bahwa semangat mereka perlu diisi ulang, menyarankan jeda singkat untuk meliput Festival Rimpu, perayaan budaya khas Bima yang kebetulan sedang berlangsung di alun-alun kota.

“Kita perlu udara segar, Kak. Dan Bima perlu headline yang indah juga,” bujuk Anisa. “Aku tidak mau ingatanmu tentang Bima hanya soal batu dan gas air mata.”

Rizal setuju, melihat itu sebagai cara untuk menenangkan Anisa dan memenuhi janji awalnya untuk meliput sisi budaya Bima.

Di alun-alun, suasana berbanding terbalik dengan ketegangan investigasi mereka. Ratusan perempuan Bima dari berbagai usia berkumpul, mengenakan kain tenun Rimpu Mbojo dengan anggun. Rimpu adalah kain sarung tradisional yang dililitkan sebagai penutup kepala hingga sebagian wajah, menyisakan mata yang tajam dan berwibawa. Lilitan kain itu menampilkan beragam warna dan motif tenun ikat, dari Nggoli yang mewah hingga Muna yang sederhana.

Rizal terpesona. “Ini luar biasa, Nis. Ini adalah kehormatan yang bergerak,” bisik Rizal, mengarahkan lensa kameranya.

BACA JUGA:  Saat Massa “Duduki” Kantor Bupati Bima

Anisa, yang mengenakan rimpu sederhana berwarna gelap, menjelaskan filosofinya kepada Rizal.

“Lihat, Kak,” bisik Anisa. “Ini adalah martabat kami. Kain tenun ini melindungi kami, bukan memenjarakan. Kami menutup diri bukan karena paksaan, tapi karena Sara (Hukum Agama) dan Hao (Kehormatan) yang kami junjung tinggi. Bagi kami, rimpu adalah identitas—perempuan Bima yang anggun, yang menjaga kehormatan tanpa mengorbankan peran di ruang publik.”

Ia melanjutkan, suaranya mengandung makna yang lebih dalam. “Budaya Bima itu indah jika tidak disalahgunakan. Sama seperti tradisi di desa, seharusnya Sara dan Hao melindungi anak perempuan dari pernikahan dini, bukan malah merenggutnya.”

Rizal mengambil foto Anisa. Ia melihat kecantikan yang autentik dan kuat, yang mencerminkan semangat Bima yang sebenarnya. Ia menyadari, jurnalisme di Bima adalah perjuangan untuk memastikan keindahan dan martabat ini tidak dihancurkan oleh keserakahan tambang.

“Kamu tahu, Nis,” ujar Rizal sambil menurunkan kameranya. “Di Jakarta, kami menyebutmu jurnalis aktivis. Tapi di sini, aku rasa kamu hanya Penjaga—Penjaga keindahan ini.”

Anisa tersenyum, pipinya merona di balik kain rimpu. Pujian itu tulus dan mendalam, mengukuhkan ikatan emosional mereka jauh di luar batasan profesionalisme. Momen Festival Rimpu adalah titik di mana Rizal secara utuh melihat “Bima yang sesungguhnya” melalui mata Anisa: sebuah negeri yang layak diperjuangkan, dihargai, dan dilindungi.

Setelah jeda budaya yang menyegarkan itu, tim redaksi kembali pada misi utama. Mereka mendapat kabar bahwa masyarakat yang marah atas intimidasi dan rencana tambang akan menggelar aksi demonstrasi besar.

 

***


Pos terkait