Titipan Amplop dan Bom Waktu
Suasana di depan Kantor Bupati Bima mendidih. Negosiasi antara perwakilan massa dan pejabat gagal total. Ketika teriakan berubah menjadi lemparan batu, petugas keamanan merespons dengan tembakan peringatan yang disusul oleh rentetan tembakan gas air mata.
Kabut putih pedih menyelimuti alun-alun dalam hitungan detik. Rasa sakit, kekacauan, dan horor merajalela. Rizal, Anisa, dan Irwan berusaha berlindung di tengah kerumunan yang panik. Paru-paru Rizal terasa seperti terbakar, dan matanya perih luar biasa.
“Tutup hidungmu!” teriak Anisa, menarik Rizal menuju celah sempit di samping kantor pos. Ia sigap membasahi syalnya dengan air mineral yang selalu ia bawa—kebiasaan jurnalis konflik lokal.
Saat mereka berlari, Anisa terpeleset kabel kamera yang tergeletak di jalan dan jatuh tepat di tengah desakan massa yang kacau. Beberapa kaki yang panik nyaris menginjaknya.
“Anisa!” Rizal berteriak histeris, nadanya bercampur cemas dan marah. Ia tidak berpikir panjang. Ia menerjang kerumunan, menempatkan tubuhnya di atas tubuh Anisa, melindunginya dari injakan sepatu dan hantaman benda.
Mereka berhasil berlindung di balik sebuah mobil pick-up yang ditinggalkan. Rizal segera menyobek t-shirt dalamnya, membasahinya, dan menutup hidung Anisa.
“Kamu gila, Nis! Kenapa kamu harus mendekat sekali?!” Rizal memarahinya, suaranya sarat kepanikan yang ia rasakan.
Anisa terbatuk-batuk, air mata membasahi wajahnya. Ia menatap Rizal, yang wajahnya kini memerah dan dipenuhi keringat.Rizal terbatuk-batuk hebat. Matanya memerah dan perih, meskipun ia sudah terlatih. Ia membuang kameranya yang kini hanya menjadi beban.
Anisa berbisik parau, “Aku kagum, Kak. Kamu tenang sekali, bahkan saat kamu ketakutan. Kamu melindungiku…”
Rizal menatap mata Anisa yang memerah. Ia balik berbisik, “Aku kagum padamu, Nis. Di tengah neraka ini, kamu masih memikirkan kamera dan foto, memikirkan kebenaran Bima.”
Mereka tidak bertukar janji, tetapi momen saling melindungi dan kekaguman itu mengukuhkan bahwa hubungan mereka jauh lebih dari sekadar mitra kerja.
Setelah berhasil keluar dari lokasi kericuhan, tim redaksi berkumpul di sebuah warung kopi di tempat tersembunyi. Mereka berdiskusi, menganalisis jalannya demonstrasi.
“Gila, kericuhannya seolah diatur,” kata Irwan, masih trauma.
Rizal, yang selama ini bekerja di bawah ancaman intelijen di Jakarta, mulai curiga. Ia menyadari ada keanehan.
“Aku perhatikan,” ujar Rizal serius. “Ada beberapa provokator yang mulai melempar batu sebelum gas air mata datang. Gerakan mereka terlalu terkoordinasi. Aku curiga demonstrasi ini disusupi atau ditunggangi pihak yang berkepentingan.”
Anisa mengerutkan kening. “Maksud Kak Rizal?”
“Pihak tambang tidak akan rugi jika demonya ricuh. Mereka justru diuntungkan,” jelas Rizal. “Kericuhan akan mengalihkan fokus dari skandal perizinan ke keamanan dan ketertiban. Mereka ingin pemerintah pusat melihat Bima tidak stabil, sehingga tuntutan pembatalan izin tenggelam oleh isu pengamanan.”
Kesimpulan Rizal pahit namun logis: konflik tambang ini lebih luas dan terstruktur dari yang terlihat. Mereka tidak hanya melawan perusahaan dan pejabat daerah, tetapi juga jaringan intelijen yang mengelola opini publik melalui kerusuhan.
“Artinya, ancaman yang kita terima itu bukan hanya gertakan,” kata Dani, kini lebih waspada. “Mereka ingin kita takut dan berhenti menyelidiki dokumen perizinan, bukan hanya berhenti meliput demo.”
***








