Keesokan harinya, laporan mendalam Rizal dan Anisa menjadi headline. Pujian membanjiri kantor redaksi.
Namun, di tengah pujian itu, mereka menerima isyarat baru.
Saat mereka kembali ke ruang redaksi, seorang pria tua kurus berpeci lusuh tiba-tiba masuk. Pria itu adalah Pak Sahid, pensiunan staf administrasi Dinas Pertambangan yang disingkirkan. Wajahnya tegang, penuh rasa takut.
“Nak Anisa, ini titipan dari tokoh adat. Katanya penting sekali untuk kalian berdua,” bisik Pak Sahid, cepat-cepat menyelipkan sebuah amplop cokelat tebal yang disegel rapat ke tangan Anisa, sebelum menghilang tanpa menunggu ucapan terima kasih.
Rizal dan Anisa bergegas masuk ke ruang editing dan membuka amplop itu. Di dalamnya, mereka menemukan dokumen-dokumen hard copy yang menggetarkan: Salinan Perjanjian Konsesi Tambang yang cacat hukum, rincian dana taktis kepada oknum pejabat, dan bukti komunikasi pertemuan rahasia.
“Ya Tuhan… ini… ini skandal besar,” bisik Rizal. “Ini bukan lagi sekadar berita, Nis. Ini bom waktu. Nyawa kita terancam.”
Anisa meletakkan tangannya di atas dokumen itu, pandangannya dingin namun penuh tekad. “Justru karena ini bom waktu, Kak, kita harus meledakkannya. Demi Bima.”
Rizal segera memutuskan untuk pindah ke rumah Ibu Laila malam itu juga demi alasan keamanan. Di tengah ketegangan memverifikasi setiap angka dan nama, Anisa menyandarkan kepalanya di bahu Rizal. Kepercayaan totalnya pada Rizal kini tidak terelakkan lagi.
“Aku percaya kamu, Kak. Aku tahu kamu tidak akan membiarkan kebenaran terkalahkan,” bisik Anisa.
“Tentu saja tidak,” jawab Rizal, menggenggam tangannya erat. “Kita akan meledakkannya, Nis. Bersama-sama.”
Rumah panggung Ibu Laila, yang terletak jauh dari pusat kota di tengah kebun, terasa seperti benteng kecil yang aman. Namun, ketegangan malam itu sangat nyata. Rizal, Anisa, dan Dani yang datang membawa hard drive cadangan bekerja di bawah temaram lampu minyak, menyusun laporan investigasi berdasarkan dokumen rahasia dari Pak Sahid.
Rizal, yang terbiasa dengan tekanan deadline di Jakarta, bekerja dengan metodologi tingkat tinggi. Ia memverifikasi setiap transfer dana dan membandingkan tandatangan di surat konsesi. Bukti-bukti itu tak terbantahkan. Skema korupsi melibatkan jaringan terstruktur antara pengusaha tambang dari Jakarta dan pejabat daerah Bima.
“Ini ada nama-nama fiktif perusahaan yang mendapat dana taktis,” bisik Rizal, menunjuk salinan buku besar. “Nilainya… mencapai miliaran Rupiah. Ini bukan dana operasional biasa, Nis. Ini suap untuk memuluskan izin.”
Di tengah pekerjaan mereka, Ibu Laila datang membawa teh panas. Ia melihat dokumen-dokumen itu, dan wajahnya dipenuhi kesedihan yang mendalam. “Aku mengenal semua nama ini, Nak. Mereka adalah anak-anak Bima yang diamanahi rakyat. Mereka telah menjual tanah air mereka sendiri.”
Dani, yang awalnya ragu, kini melihat betapa besarnya risiko yang mereka ambil. “Kalau kita terbitkan ini, bukan cuma demo yang terjadi, Zal. Kita akan menghadapi perlawanan hukum yang terstruktur, dan mungkin… intimidasi fisik.”
Saat fajar menyingsing, Rizal melongok dari jendela rumah panggung yang tinggi. Ia melihat sebuah mobil hitam mencurigakan berhenti sebentar di ujung jalan, seolah mengawasi. Detak jantungnya berpacu.
Meskipun diintai dan menerima ancaman, Tim Media Rakyat Bima, didukung oleh Rizal, memutuskan untuk menerbitkan laporan investigasi tersebut di media nasional dan lokal secara bersamaan.
Headline “SKANDAL KONSPORASI TAMBANG: Bukti Transfer Dana Miliaran Rupiah ke Pejabat Daerah”. Laporan itu mencantumkan bukti-bukti transfer dana dan nama-nama fiktif yang terlibat dengan inisial, demi keamanan hukum. Laporan itu juga dimuat di Headline yang lebih provokatif di media lokal: “BIMA DIJUAL! Dana Rakyat Mengalir ke Saku Pejabat”
***








