Surat dari Anisa (Part II)

Cover/ Ilustrasi.
Cover/ Ilustrasi.

Langkah Serius

 

Bacaan Lainnya

Tiga bulan berlalu sejak publikasi laporan skandal tambang dan kerusuhan besar yang membakar Kantor Bupati. Situasi di Bima perlahan pulih, meski ketegangan politik masih terasa di bawah permukaan.

Berkat bukti yang diserahkan Rizal dan tim, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan tim investigasi gabungan dari Jakarta mulai bekerja. Beberapa pejabat daerah dipanggil, dan proses hukum mulai berjalan. Nama-nama yang Rizal dan Anisa temukan dalam skema dana taktis mulai menjadi tersangka.

Rizal telah kembali dari Jakarta setelah mengurus administrasi cuti panjang yang ia ubah menjadi Extended Stay (menetap lebih lama) di Bima. Ia memutuskan tidak lagi menjadi wartawan tugas, tetapi menjadi bagian dari tim Media Rakyat Bima, bekerja secara independen sambil tetap berkoordinasi dengan media nasional.

Periode ini adalah masa relaksasi dan pemulihan bagi tim. Mereka fokus pada laporan lanjutan dan pengawasan proses hukum. Namun, bagi Rizal, fokus utamanya kini adalah Anisa.

Anisa dan Rizal menghabiskan waktu dengan mengunjungi kembali tempat-tempat indah yang pernah Anisa janjikan—Pantai Wane, bukit-bukit savana yang kering. Rizal tidak lagi melihat Bima sebagai medan perang, tetapi sebagai rumah yang sedang ia pelajari dan ia cintai, sebagian besar karena Anisa.

Sore itu, Rizal membawa Anisa ke Pantai Kalaki, sebuah teluk kecil dengan pasir cokelat kemerahan yang sunyi. Langit di atas Teluk Bima memancarkan jingga keemasan yang menenangkan.

Mereka berjalan menyusuri pantai, suara ombak menjadi satu-satunya saksi.

Rizal menghentikan langkahnya, memutar tubuhnya menghadap Anisa. Ia tidak membawa cincin berlian mahal; ia membawa sebuah cincin perak sederhana dengan ukiran rimpu kecil—simbol martabat Bima.

BACA JUGA:  Kecewa tak ada Pejabat Pemda Kabupaten yang Hadir, Ketua MK dan Kades Puji Wali Kota Bima

“Anisa,” ujar Rizal, suaranya mantap namun dipenuhi rasa gugup yang tulus. “Di Jakarta, aku punya segalanya: karier, uang, kepastian. Tapi aku tidak punya rumah.”

Ia mengambil napas panjang. “Sejak bertemu di atas ferry, sejak kamu menyelamatkanku dari gas air mata, sejak kamu menunjukkan padaku bahwa keberanian dan idealisme itu nyata… aku sadar. Bagiku, Bima bukan lagi tempat tugas. Bima adalah kamu. Dan kamu adalah rumahku, Nis.”

Ia berlutut, memegang cincin perak itu. “Aku tahu ini cepat. Tapi aku tidak mau lagi menunda kebahagiaan. Maukah kamu menjadi istriku? Maukah kamu membimbingku menjaga Bima, seumur hidup kita?”

 

Air mata Anisa menetes, bukan karena sedih, tetapi karena keharuan yang meluap. “Kak Rizal,” bisiknya, “Aku sudah menunggu ini sejak kamu melindungiku di demo.”

Namun, Anisa masih membawa beban. “Tapi Kak, ada syaratnya. Ada Fatma. Ayahku…”

Rizal tersenyum. Ia bangkit, memegang tangan Anisa erat. Ia telah menyiapkan diri untuk ini.

“Aku tahu tentang Fatma, Nis. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri di hari kamu memberiku flash drive itu. Lamaran ini bukan hanya tentang kita berdua. Ini juga tentang Fatma. Aku berjanji, aku akan bersamamu melawan Ayahmu, dan aku akan memastikan Fatma melanjutkan pendidikan, bukan pernikahan dini. Aku akan melindungimu, Fatma, dan idealismemu. Itu bagian dari janji pernikahan ini.”

Mendengar janji itu, hati Anisa luluh sepenuhnya. Rizal tidak hanya mencintainya, tetapi juga memahami dan berbagi beban terdalamnya. “Ya, Kak Rizal. Aku mau. Aku mau menjadi istrimu,” jawab Anisa, memeluk Rizal erat di bawah langit Kalaki yang merona.

BACA JUGA:  Hymne Jagung dan Air Bah

Beberapa hari kemudian, Rizal menelepon keluarganya di Jakarta, menceritakan Anisa. Pamannya terkejut tetapi lega melihat Rizal akhirnya menemukan kebahagiaan dan tujuan hidup. “Asal dia membuatmu bahagia, Paman akan merestui,” kata Paman Aris.

Anisa, didukung oleh kekuatan janji Rizal, mengambil langkah paling berani dalam hidupnya: menghadapi Ayahnya via telepon.

“Ayah, Anisa akan menikah,” kata Anisa tegas, menyebut nama Rizal.

Ayahnya, seorang pedagang yang keras kepala, terdiam sejenak. “Menikah dengan wartawan? Cepat sekali kau memutuskan, Nak! Bagaimana dengan Fatma? Ayah sudah menerima janji dari Pak Hasyim…”

Saat Ayahnya mengungkit nama Fatma, Anisa langsung memotongnya.

“Ayah, Fatma tidak akan menikah sekarang! Fatma akan kuliah! Rizal dan aku akan membiayainya. Fatma akan menjadi guru. Rizal bukan hanya wartawan; dia adalah pria terhormat yang mau menjadi bagian dari keluarga kita. Tolong, hentikan rencanamu, Ayah. Aku tidak meminta restu; aku meminta dukungan Ayah untuk melihat Fatma meraih masa depannya sendiri.”

Keberanian Anisa, ditambah dengan pengetahuan Ayahnya tentang betapa berpengaruhnya Rizal dalam kasus tambang meskipun Ayahnya tidak terlibat, membuat sang Ayah sedikit gentar. Ayahnya tidak pernah menyangka Anisa akan melawan sekuat ini, didukung oleh pria yang kini akan menjadi menantunya.

 

“Baiklah, Anakku,” kata Ayahnya perlahan, setelah hening cukup lama. “Ayah tidak melarangmu. Tapi Ayah harus bertemu Rizal. Dia harus membuktikan keseriusannya, bukan hanya pada anakku, tapi pada Fatma juga.”

Ayahnya belum luluh sepenuhnya, tetapi ia telah menyerah pada perjodohan Fatma. Anisa berhasil memenuhi janji pertama pada adiknya. Kemenangan ini, berkat dukungan dan strategi Rizal, adalah fondasi kuat bagi masa depan mereka.

 

***


Pos terkait