Tragedi di Kampung Bertikai
Dua minggu setelah lamaran di Pantai Kalaki, Rizal harus kembali ke Jakarta. Bukan lagi untuk tugas investigasi, melainkan untuk persiapan pernikahannya.
Rizal menghabiskan hari-harinya di pusat perbelanjaan elit, memilih cincin emas putih dan kain songket terbaik untuk akad nikah. Ia bertemu Paman Aris di Lombok untuk membicarakan tanggal pernikahan dan adat Sasak yang akan ia padukan dengan adat Bima. Ia bersemangat merencanakan masa depan—membayangkan rumah sederhana di Bima, tempat ia akan bekerja dan menghabiskan sisa hidupnya bersama Anisa. Ia mengurus surat-surat cuti terakhirnya sebelum benar-benar berstatus “menetap di Bima.” Semuanya berjalan mulus, penuh kebahagiaan.
Sementara Rizal berada di tengah hiruk pikuk persiapan bahagia, Anisa kembali ke realitas konflik Bima. Meskipun kasus tambang ditangani KPK, kekerasan di level akar rumput tidak pernah padam. Ia bekerja keras di kantor, sesekali berbicara dengan Fatma via telepon, memastikan gadis itu tetap semangat belajar.
Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama.
Sebuah konflik lama antara dua kampung, Ngali dan Renda, sebuah sengketa batas lahan yang sering dipicu provokasi dendam lama, kembali memanas. Konflik ini tidak terkait tambang, tetapi sering digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk menguji stabilitas keamanan daerah.
Anisa, meskipun sedang disibukkan dengan persiapan pernikahan, merasa harus hadir. Ia pergi bersama Irwan dan Dani, karena konflik ini adalah luka lama Bima yang harus ia liput. Namun, sejak pagi ia merasa tidak enak badan. Perutnya terasa mual, dan ia merasa dingin padahal cuaca panas. “Aku merasa ada yang tidak beres, Kak,” bisiknya pada Dani.
Anisa memutuskan untuk pergi bukan hanya sebagai jurnalis, tetapi juga untuk melakukan mediasi informal sebagai warga Bima. Ia ingin memanggil tokoh-tokoh muda di kedua pihak yang ia kenal untuk menahan diri. Ia berharap kehadirannya bisa meredakan situasi, seperti yang sering dilakukan Ibu Laila.
“Kita hanya ambil gambar dan wawancara tokoh. Jangan masuk terlalu dalam, Nis. Ingat janji pada Rizal,” peringat Dani.
Di lokasi, suasana sudah mencekam. Warga dua kampung saling berhadapan, membawa senjata tajam tradisional dan senjata api rakitan. Anisa, dengan keberaniannya yang khas, mencoba mendekati garis batas, kameranya merekam situasi, sementara ia berusaha menelepon tokoh pemuda yang ia kenal.
Kekacauan pecah lebih cepat dari perkiraan. Batu-batu mulai beterbangan. Aparat keamanan yang berjaga di tengah batas desa melepaskan tembakan peringatan ke udara. Namun, saat itulah tragedi tak terhindarkan terjadi.
Anisa sedang membidik kameranya ke arah sekelompok pemuda yang mulai ricuh. Telinganya mendengar suara tembakan yang nyaring, disusul suara desingan yang sangat dekat. Tiba-tiba, ia merasakan rasa panas yang luar biasa, bukan seperti terbakar, tetapi seperti dihantam baja panas yang menembus sisi kiri perutnya. Matanya membelalak karena syok. Ia tidak merasakan sakit, hanya mati rasa. Tangannya refleks jatuh, dan ia melihat tanah. Darah segera menggenang di bawahnya. Pandangan terakhirnya tertuju pada kamera yang tergeletak di sampingnya, lensanya masih merekam. Ia mencoba meraihnya, seolah-olah kamera itu adalah nyawanya. Kemudian, semuanya menjadi gelap.
Irwan, sang kameramen, menjadi saksi yang traumatis. Ia melihat Anisa jatuh, darah mengucur deras. Ia menjerit, membuang kameranya sendiri, dan berteriak meminta bantuan. “Anisa tertembak! Peluru nyasar!”
Anisa dilarikan ke rumah sakit, tetapi luka yang diakibatkan peluru nyasar itu terlalu fatal. Bima kehilangan putri terbaiknya.
***
Rizal berada di Jakarta, di sebuah butik, mencoba jas pengantin terbaiknya. Ponselnya berdering. Itu Dani.
“Dani? Ada apa? Suaramu kenapa?” tanya Rizal riang.
Suara Dani di ujung telepon tercekat dan pecah. Butuh waktu lama bagi Dani untuk mengucapkan kata-kata itu.
“Anisa… Anisa… dia tertembak, Zal. Peluru nyasar di konflik Ngali-Renda. Dia… dia meninggal di rumah sakit. Maafkan kami…”
Dunia Rizal runtuh seketika. Jas pengantin yang ia pegang jatuh ke lantai butik. Telinganya berdenging, ia tidak mendengar apa-apa lagi selain ratapan pilu Dani di telepon.
Rizal menjatuhkan ponselnya, lalu menjerit panjang, memegang kepalanya yang tiba-tiba terasa kosong. Ia pingsan, tubuhnya ambruk ke lantai, meninggalkan ratapan pilu di tengah toko yang ramai.
Ketika ia sadar, ia berada di rumah sakit Jakarta, ditemani Pamannya. Ratapan pilu itu kini berganti menjadi kesedihan yang membisu. Cincin pernikahan yang baru ia pilih kini terasa seperti benda paling dingin dan berat di dunia.
Rencana, janji, dan masa depan yang ia bangun di tepi Kalaki, semuanya hancur berkeping-keping oleh sebutir peluru nyasar di sebuah konflik yang bahkan tidak sempat ia liput.
***








