Bima, Berita11.com— Mata uang rupiah masih babak belur melawan dolar AS. Berdasarkan data RTI pada Jumat (26/7/2024) lalu, nilai mata uang Pam Sam masih berada pada zona Rp16.200-an. Dolar AS tercatat naik 24 poin atau bertambah 0,15% ke level Rp 6.269.
Pada tanggal tersebut dolar AS berada di level tertingginya pada Rp16.289 dan terendahnya Rp16.244. walaupun secara bulanan dolar AS masih melemah -0,52%. Namun jika dilihat dari awal tahun dolar AS juga masih menguat 5,81%.
Sementara berdasarkan data RTI pada Senin (29/7/2024) sore, dolar AS berada pada Rp16,287. Walaupun dari Refinitiv, rupiah dibuka menguat tipis 0,03% di angka Rp16.280/US$ pada hari ini, namun masih berada pada zona Rp16.200-an.
Sementara DXY pada pukul 08:49 WIB turun 0,11% di angka 104,2. Angka ini lebih rendah jika dibandingkan dengan posisi kemarin yang berada di angka 104,31.
Ekonom Universitas Nggusu Waru, Hartoyo menilai, melemahnya rupiah terhadap dolar AS memiliki sejumlah dampak, termasuk bagi perekonomi di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Sejumlah dampak itu, kenaikan harga barang impor seperti bahan baku dan produk jadi, yang bisa memicu menguatkan inflasi di tingkat lokal karena biaya produksi dan harga jual meningkat.
Namun demikian, menurut kandidat doktor dari Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga ini, pada sisi lain menguatnya dolar AS memberi kontribusi positif bagi industri pariwisata di NTB, khususnya Lombok yang menjadi tujuan wisata populer.
“Kenaikan dolar bisa mempengaruhi daya tarik NTB bagi wisatawan internasional karena biaya perjalanan dan penginapan menjadi lebih mahal dalam mata uang mereka. Selain itu meningkatnya biaya produksi yang lebih tinggi, di mana sektor-sektor yang mengandalkan bahan baku impor, seperti industri pengolahan makanan dan manufaktur, akan menghadapi biaya produksi yang lebih tinggi,” ujar Hartoyo kepada Berita11.com melalui layanan media sosial, kemarin.
Menurut alumnus Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Mataram ini, hal tersebut bisa mengurangi profitabilitas perusahaan lokal dan berpotensi menyebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Menguatnya nilai dolar terhadap rupiah khususnya bagi Provinsi NTB, juga memengaruhi pendapatan dari hasil ekspor khususnya untuk perusahaan yang berorientasi ekspor. Kenaikan dolar bisa meningkatkan pendapatan, karena barang yang dijual di luar negeri akan menghasilkan lebih banyak rupiah dan kegiatan tersebut secara langsung memberikan dorongan bagi sektor-sektor tertentu seperti pertanian dan perikanan.
“Pada sisi yang lain dengan naiknya harga barang dan jasa impor, daya beli masyarakat bisa menurun, yang akan berdampak pada konsumsi domestik. Hal ini bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan,” kata Hartoyo.
Alumnus Universitas Hasanuddin ini juga mengatakan, dengan adanya kenaikan dolar AS terhadap rupiah yang berimbas terhadap naiknya harga produk impor, maka akan ada peluang bagi produk lokal menjadi lebih kompetitif dan hal tersebut bisa menjadi peluang bagi petani, nelayan, dan pengusaha lokal untuk meningkatkan produksi dan penjualan mereka.
“Oleh karena itu saya memeberikan masukan kepada pemerintah daerah dan pelaku usaha di NTB untuk perlu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi saat ini, baik melalui kebijakan yang mendukung stabilitas ekonomi maupun melalui inovasi dan efisiensi dalam operasional bisnis bagi pelaku bisnis yang ada di NTB,” katanya.
Hartoyo mengatakan, menguatnya dolar memiliki dampak ganda pada perekonomian Indonesia. Pada satu sisi, hal tersebut menyebabkan meningkatnya biaya impor yang bisa memicu inflasi dan mengurangi daya beli masyarakat. Namun pada sisi lain, juga dapat meningkatkan daya saing produk ekspor Indonesia, karena produk Indonesia menjadi relatif lebih murah di pasar internasional.
Namun demikian, Hartoyo mengingatkan bahwa struktur ekonomi Indonesia yang masih banyak bergantung pada bahan baku impor membuat kenaikan dolar lebih banyak membawa dampak negatif daripada positif.
Selain itu, dengan adanya kenaikan dolar sering menjadi cerminan dari ketidakstabilan ekonomi global dan domestik. Hal tersebut bisa memperburuk kondisi perekonomian nasional terutama jika disertai dengan tingkat utang luar negeri yang tinggi.
Menurutnya, pemerintah perlu menerapkan kebijakan moneter dan fiskal yang tepat untuk mengurangi dampak negatifnya, misalnya dengan menguatkan cadangan devisa dan mengurangi ketergantungan pada impor.
“Maka dengan demikian menurut saya, kenaikan dolar memiliki dampak yang kompleks dan beragam terhadap perekonomian nasional, memerlukan respon kebijakan yang tepat dan komprehensif dari pemerintah serta adaptasi dari sektor swasta,” katanya.
Hartoyo menilai kencendrungan nilai tukar rupiah yang melemah terhadap dolar AS berbeda dengan kokndisi saat krisis moneter pada tahun 1997-1998. Pada tahun tersebut,krisis moneter yang dialami Indonesia dikenal sebagai Krisis Finansial Asia, disebabkan berbagai faktor kompleks, antara lain terjadinya depresiasi cepat dan signifikan dari rupiah terhadap dolar AS yang mengakibatkan meningkatnya beban utang luar negeri, sehingga menyebabkan kebangkrutan banyak perusahaan yang memiliki utang dalam dolar.
Pada krisis 1997-1998, rupiah jatuh dari sekitar Rp2.600 per dolar AS menjadi lebih dari Rp17.000 per dolar AS dalam waktu singkat. Selain itu pemerintah Indonesia saat itu sangat ketergantungan tinggi pada utang luar negeri, di mana negara atau sektor swasta saat itu sangat bergantung pada utang luar negeri dalam dolar akan sangat rentan terhadap fluktuasi nilai tukar.
Sementara pada akhir 1990-an, banyak perusahaan Indonesia memiliki utang dalam dolar AS yang jumlahnya besar dan ketika rupiah melemah, beban utang tersebut meningkat drastis. Pada sisi yang lain cadangan devisa yang cukup rendah sehingga membatasi kemampuan bank sentral untuk menstabilkan mata uang dengan intervensi pasar.
“Selama krisis 1997-1998, cadangan devisa Indonesia menipis dengan cepat karena Bank Indonesia mencoba mendukung rupiah, namun gagal karena cadangan yang tidak memadai,” katanya.
Hartoyo mengingatkan pemerintah untuk mencegah krisis yang sama. Untuk mengendalikan dan mengatasi pelemahan nilai rupiah terhadap dolar AS, pemerintah dan para pemangku kepentingan lainnya di Indonesia dapat mengambil sejumlah langkah strategis dan kebijakan, dengan memperkuat cadangan devisa, di mana Bank Indonesia (BI) dapat melakukan intervensi di pasar valuta asing untuk menstabilkan nilai tukar rupiah.
Selain itu, pemerintah Indonesia juga bisa melakukan dengan cara menarik investasi asing serta meningkatkan iklim investasi dengan memudahkan perizinan dan memberikan insentif untuk menarik investasi langsung luar negeri.
Pemeritah Indonesia diharapkan mengelola utang luar negeri dengan melakukan hedging, sehingga dapat mendorong perusahaan untuk melakukan lindung nilai (hedging) terhadap utang luar negeri mereka, guna mengurangi risiko fluktuasi nilai tukar.
“Selain itu, yang mesti harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah dengan mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri serta memprioritaskan pembiayaan proyek-proyek infrastruktur dan lain-lain dengan sumber dana domestik atau mengatur utang luar negeri dengan lebih bijaksana,” pungkas mantan pengurus KNPI Kabupaten Bima ini. [B-19]
Follow informasi Berita11.com di Google News