Bima, Berita11.com— Transaksi politik uang saat pemilihan dalam masyarakat bukan lagi hal rahasia, termasuk di wilayah Kabupaten Bima. Padahal dapat merusak nilai-nilai demokrasi. Persoalan tersebut menjadi atensi Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kabupaten Bima.
Ketua Bawaslu Kabupaten Bima, Junaidin mengajak masyarakat untuk berpartisipasi melaporkan kepada Bawaslu saat mengetahui maupun melihat transaksi politik uang (money politics). Sejauh ini, Bawaslu sudah memetakan kerentanan tersebut.
“Isu-isu yang ditangkap oleh kita, politik uang ini kencang dari isu-isunya. Ada yang bilang paslon ini siapkan uang sekian dan paslon ini juga lakukan hal yang sama. Cuma ini masih dalam bentuk isu atau kabar. Pilkada beda dengan pileg, kalau pileg dari awal, kabar transaksinya sudah jalan. Tapi kalau pilkada ini masih sepi,” ujar Junaidin di kantor Bawaslu Kabupaten Bima di Jalan Lintas Bima-Sumbawa, Kecamatan Woha Kabupaten Bima, Rabu (23/10/2024).
Junaidin berharap, semua elemen bergerak mengawasi politik uang saat Pilkada. Ia mengingatkan tim paslon dan masyarakat untuk menghindari cara-cara curang, termasuk politik uang (money politics). Karena dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang, juga mengatur sanksi yang tidak ringan bagi pemberi dan penerima uang (money politics).
Dijelaskan alumnus magister hukum ini, sanksi paling ringan kurangan (penjara) tiga tahun dan maksimal enam tahun serta denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
”Pidana yang sama juga ditetapkan kepada pemilih yang dengan dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum. Pemberi dan penerima sama-sama dikenai sanksi pidana ketika ditemukan, terbukti dia melakukan transaksi. Bahkan ini hanya dengan janjipun dapat dijerat. Misalnya janji nanti saya kasi uang. Walaupun sekadar menjanjikan, karena (dalam undang-undang) ada frasa menjanjikan,” ujarnya.
Larangan dan ketentuan pidana tentang politik uang diatur dalam pasal 73 dan pasal 187A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.
Selengkapnya, Pasal 73 ayat (1) calon dan/atau tim Kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara pemilihan dan/atau pemilih. (2) calon yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan Bawaslu Provinsi dapat dikenai sanksi administrasi pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota. (3) Tim Kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Selain Calon atau Pasangan Calon, anggota Partai Politik, tim kampanye, dan relawan, atau pihak lain juga dilarang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk:
a. mempengaruhi Pemilih untuk tidak menggunakan hak pilih;
b. menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga mengakibatkan suara tidak sah; dan
c. mempengaruhi untuk memilih calon tertentu atau tidak memilih calon tertentu.
(5) Pemberian sanksi administrasi terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak menggugurkan sanksi pidana.
Sementara itu, ketentuan yang diatur dalam Pasal 187A, (1) setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi Pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu sebagaimana dimaksud pada Pasal 73 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). (2) Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
“Mudah-mudahan semua bergerak, kalau dalam ketentuan undang-undang yang mengatur tentang politik uang tentang pilkada, baik yang menerima maupun yang memberikan sama-sama kena,” jelas Junaidin. [B-19]
Follow informasi Berita11.com di Google News