Perempuan di Bima Melawan Stereotip Gender dalam Politik

Warga mengantri mencoblos di TPS 3 Desa Lambu Kecamatan Lambu Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, pada Pilkada serentak Rabu, 27 November 2024 lalu.
Warga mengantri mencoblos di TPS 3 Desa Lambu Kecamatan Lambu Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, pada Pilkada serentak Rabu, 27 November 2024 lalu.

Stereotip gender dan norma sosial seringkali menghalangi perempuan untuk memasuki dunia politik. Bias gender dapat ditemui dalam pemilihan, kampanye, dan proses pengambilan keputusan politik. Belum lagi pemberian dukungan finansial dan akses terhadap pendidikan politik menjadi faktor penting yang memengaruhi partisipasi perempuan dalam politik.

Walaupun pemerintah dan penyelenggara pemilu telah membuat regulasi yang menekankan parpol peserta pemilu harus mengusung 30 persen keterwakilan perempuan, nyatanya afirmasi hasil pemilu 2024 di Kabupaten Bima hanya delapan calon legislator perempuan yang mampu meraih kursi di DPRD Kabupaten Bima. Kendati lebih baik dibandingkan tahun 2019 yang hanya terpilih dua legislator perempuan.

Bacaan Lainnya

Pada lembaga penyelenggara Pemilu di Kabupaten Bima pun tidak jauh berbeda kondisinya, tanpa perwakilan perempuan.

Bagi sebagian kelompok di Bima menerima kepemimpinan perempuan di ruang publik seperti kepala daerah masih dianggap tabu. Jikapun kuota perempuan terpenuhi, rata-rata Caleg perempuan tidak mendapatkan nomor urut 1. Kendati sistem pemilu di Indonesia menggunakan proporsional terbuka suara terbanyak, namun posisi nomor urut 1 tetap memiliki privilege tersendiri dalam masyarakat, sehingga caleg perempuan hanya dianggap sebagai pelengkap syarat daftar calon tetap yang diajukan parpol.

Hal tersebut yang membuat sejumlah perempuan di Bima merasa masih kurang dilibatkan dalam proses pengambilan putusan.

Menurut Ketua DPC Partai Demokrat Kabupaten Bima, Hj Misfalach, perempuan memainkan peranan yang penting dalam banyak aspek kehidupan bernegara dan berumah tangga. Khusus dalam bidang politik, perempuan sangat vital posisinya karena jumlah perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki.

“Dengan sendirinya, politisi perempuan sangat dibutuhkan untuk memperjuangkan aspirasi kaum perempuan, karena sebagaimana diketahui bahwa perempuan di negara kita masih banyak berada di kelompok marjinal dan rentan eksploitasi,” ujar Misfalach saat dihubungi Berita11.com, Senin (27/1/2025).

Bagi Misfalach, kehadiran politisi perempuan sangat dibutuhkan untuk memperjuangkan aspirasi perempuan, sehingga hak-hak mereka bisa terpenuhi dan bisa setara dengan laki-laki secara kualitatif. Namun, peran serta perempuan di bidang politik belum maksimal mendapatkan dukungan dari semua pihak. Banyak perempuan yang tidak berani terlibat dalam urusan publik karena masih banyak mendapatkan perlakuan tidak adil, sehingga perempuan tidak percaya diri terlibat dalam urusan politik.

“Padahal sesungguhnya, keterlibatan perempuan di bidang pendidikan, politik, sosial dan budaya akan memengaruhi peningkatan kualitas IPM di negara kita,” kata Misfalach.

Menyadarinya pentingnya peran tersebut, Partai Demokrat Kabupaten Bima yang dipimpinnya memberi kesempatan yang luas kepada kader perempuan untuk berpartisipasi aktif dalam pemilihan legislatif maupun pilkada.

“Hanya saja minat kaum perempuan yang masih sangat kurang sehingga menjadi kendala dan tantangan tersendiri buat parpol mendapatkan kader perempuan atau caleg perempuan,” katanya.

Menurutnya, sesuai Pasal 245 UU Pemilu keterwakilan perempuan dalam datar calon legislatif 30 persen. Namun ia berharap, keterwakilan perempuan 30 persen, tidak hanya menjadi syarat pengajuan calon, namun kuota 30 persen diberikan kepada perempuan hingga terealisasi duduk di kursi legislatif.

“Jumlah kuota pencalegan juga harus memenuhi keterwakilan 30 persen, hanya saja caleg perempuan yang menang tidak sampai 30 persen. Menurut saya dan harapan saya, kuota 30 persen itu tidak hanya menjadi persyaratan saat nyaleg, tapi jatah perempuan 30 persen itu harus diberikan hingga di legislatif,” ujar istri guru besar UIN Mataram ini.

Bias gender dalam politik juga dirasakan Maryanti Konta, caleg perempuan dari Partai Ummat Kabupaten Bima. Saat berjuang melenggang ke legislatif, ia seperti melawan arus cara pandang lama dalam masyarakat, bahwa memilih pemimpin perempuan masih dianggap tabu dan bertentangan dengan agama.

Menurutnya, cara pandang lama yang menjadi norma sosial tersebut tak ayal membuat perempuan merasa minder untuk maju di panggung politik. Masih banyak perempuan yang terkunkung dan memiliki pandangan peran mereka terbatas pada urusan domestik keluarga.

“Banyak tantangan yang harus dihadapi oleh perempuan dalam politik, seperti diskriminasi, stereotip. Bahwa wanita hanya bisa menjadi makmum, ini dalam pandangan Islam sehingga dibutuhkan sosialisasi edukasi terkait dengan kesetaraan gender,” ujarnya.

Kendati demikian, Maryati berkomitmen melawan stereotip dalam masyarakat tersebut. Setelah gagal dalam pemilihan legislatif tahun 2024, ia berencana akan maju mencalonkan diri sebagai kepala Desa Lewintana Kecamatan Soroamndi Kabupaten Bima pada Pilkades 2025.

Ia ingin mematahkan cara pandang masyarakat luas bahwa perempuan cukup berperan untuk urusan domestik keluarga.

“Sebagai kaum perempuan saya percaya bahwa perempuan memiliki kemampuan dan potensi yang sama dengan laki-laki untuk menjadi pemimpin dan pengambil keputusan,” ujarnya.

Aktivis Solidaritas untuk Demokrasi (SOLUD) NTB, Rosita Candra mengatakan sebagaimana pengamatan pihaknya di daerah, pelibatan perempuan dalam politik saat pesta demokrasi lima tahunan pemilihan umum (Pemilu) hanya sebatas untuk memenuhi syarat pengajuan calon legislatif sebagaimana yang ditetapkan dalam undang-undang Pemilu.

BACA JUGA: 203 Kasus Positif HIV AIDS di Kabupaten Bima, 89 Orang Meninggal Dunia

Menurutnya, bukan saja saat pemilihan legislatif, pada lingkungan yang lebih kecil seperti saat pemilihan Badan Permusyaratan Desa (BPD), tidak didukung dan tidak dipilih, sehingga praktiknya tetap saja perempuan tidak memiliki wewenang untuk mengambil keputusan, karena tidak adanya kesempatan bagi perempuan untuk memegang jabatan penting. Meskipun jumlahnya bertambah dalam proses perwakilan, namun partisipasinya masih sangat kurang, sehingga advokasinya tidak berjalan dengan sempurna karena tidak adanya kekuatan dalam pengambilan keputusan.

“Tidak usah jauh-jauh, kita ambil contoh saja di desa, pada saat pemilihan BPD, ada keterwakilan perempuan setiap dusun, itu ada keterwakilan perempuan, tapi apakah mereka terpilih? Tidak, karena sistem patriarki dukungan keluarga (ayah, ibu, saudara) masih belum maksimal,” ujar Candra.

Menurutnya, masyarakat butuh sosialisasi terkait keterlibatan perempuan dalam politik, karena perempuan juga memiliki kapasitas, dan bukan sekadar berada di rumah. Sebab peningkatan partisipasi dan kedudukan perempuan dalam politik bukan hanya tanggung jawab perempuan itu sendiri, tetapi juga tugas bersama seluruh masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang inklusif dan setara.

Dalam ranah politik, kedudukan perempuan sering kali dipengaruhi oleh dinamika kekuasaan yang patriarkal, di mana konstruksi sosial gender menempatkan mereka dalam posisi yang seringkali lebih rendah.

“Poinnya dalam politik di Bima ini, perempuan hanya untuk memenuhi kuota dan bukan berdasarkan kualitasnya,” ujar Candra.

Akademisi Universitas Muhammadiyah Bima, Ihlas Hasan memiliki pandangan berbeda yang menjadi penyebab partisipasi perempuan dalam politik di Bima dan Dompu tidak maksmial.

Menurutnya, dari aspek regulasi yang disiapkan negara telah memberi advokasi, kesempatan yang luas kepada perempuan. Misalnya terkait syarat minimal 30 persen keterwakilan perempuan dalam pengajuan daftar calon legislatif oleh partai politik. Demikian juga saat penjaringan lembaga penyelenggara pemilu, juga mengharuskan ada perwakilan perempuan.

“Kalau ada persoalan tingkat partisipasi misalnya menjadi peserta, itu bukan karena soal undang-undang, tapi soal mindset kaum perempuan. Saya juga mengakui cara pandang laki-laki terhadap perempuan khususnya di Bima itu masih menempatkan perempuan menjadi manusia nomor dua atau seccond class padahal sesungguhnya kehadiran perempuan itu merepresentasikan kaum perempuan itu sendiri,” ujar Doktor Ihlas.

Dikatakan Ihlas, yang lebih paham tentang perempuan adalah perempuan, kelompok rentan, ibu menyusui, dan ibu hamil. “Kebijakan-kebijakan yang mengarah ke situ harus bermula dari perempuan sebagai aktor, sebagai orang yang merasakan dinamika kehidupan sosial yang nyata,” ujarnya.

Ihlas melihat, dalam konteks afirmasi 30 persen keterwakilan perempuan pada pemilihan legilatif di Bima dan Dompu masih dalam tataran normatif, pimpinan parpol belum menganggap perempuan sebagai prioritas, namun hanya sebagai pelengkap untuk memenuhi persyaratan pencalonan. “Itu yang kita lihat, meskipun ada beberapa calon atau kandidat dari kaum perempuan yang mempunyai SDM cukup bagus,” ujarnya.

Selain itu, menurut dia, sistem kaderisasi oleh parpol juga belum berjalan maksimal, baik dari upaya mendorong keterwakilan perempuan dan dilihat dari mekanisme kerja parpol yang masih mengedepankan relasi patronase dan punya akses serta modal uang.

“Dari apsek kaderisasi belum menjadi pertimbangan diplotkan dalam parpol, hal itu dapat kita lihat misalnya dari aspek perempuan, banyak pihak pihak luar yang bisa masuk parpol jelang pilkada, pileg. Ini menunjukan ada cara instan yang dilakukan parpol untuk merekrut calon. Padahal parpol itu harus melakukan kaderisasi sejak awal,” ujar Ihlas.

Menurut Ihlas, Parpol juga harus menguatkan sistem kaderisasi yang berperspektif gender dan memberikan pendidikan politik kepada kader perempuan, sehingga memiliki kesempatan yang sama dan afirmasi 30 persen keterwakilan perempuan tidak sekadar untuk memenuhi syarat pencalonan.

“Afirmasi 30 persen itu masih sifatnya normatif. Belum benar-benar terlaksanakan dalam proses kaderisasi, bukan berarti parpol di Bima Dompu tertutup, hanya saja mekanisme kerja belum benar-benar profesional. Belum ada proses kaderisasi yang maksimal, belum ada proses pendidikan yang maksimal, masih ada beberapa parpol sulit mendapatkan kader perempuan,” ujarnya.

Pengamat politik yang juga mantan Ketua KPU Kabupaten Bima, Yudin Chandra Nan Arif mengatakan, keterlibatan perempuan dalam politik masih minim karena beberapa faktor, antara lain berkaitan intelektualitas dan publik speaking yang kurang memadai dan tingkat keberanian berkompetisi.

Selain itu, juga dipengaruhi Parpol belum memberikan kesempatan yang luas terkait politik afirmasi perempuan dan dipengaruhi isu terkait hak-hak perempuan kurang digaungkan.

Menurutnya, perempuan dalam politik di Bima pada dasarnya sudah mulai diterima (aceptable), hanya saja harus didukung hak konstitusional (constitusional right) dalam konteks hak politik (political right) WNI yang tidak membedakan-bedakan jenis kelamin.

“Teori representasi politik secara deskriptif yang menyatakan bahwa komposisi demografis politik harus mencerminkan demografi masyarakat, laki-laki dan perempuan,” ujarnya.

Merujuk data KPU Kabupaten Bima, keterwakilan perempuan dalam Daftar Pemilih Tetap (DCT) Pemilu 2024 di Kabupaten Bima dari enam daerah pemilihan yang diajukan parpol menurun, hanya 208 calon perempuan.

Jumlah tersebut menurun jika dibandingkan DCT Pemilu 2019, keterwakilan perempuan mencapai 217 caleg. Dalam pengajuan DCT 2024 Kabupaten Bima, Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) hanya mengajukan dua caleg perempuan, sedangkan Partai Buruh hanya mengajukan empat caleg perempuan. Sementara parpol yang paling banyak mengajukan caleg perempuan Partai Perindo dan diikuti sejumlah parpol parlemen hasil pemilu sebelumnya, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), PPP, PKS, Partai Nasdem, PDI Perjuangan, Partai Gerindra dan Partai Golkar.

BACA JUGA: Bawaslu Kabupaten Bima Minta KPU Rekomendasi Disdukcapil agar Keluarkan Suket

Pada beberapa Dapil, parpol peserta Pemilu 2024 di Kabupaten Bima seperti Partai Ummat, Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) dan Partai Hanura tidak memiliki caleg perempuan.

Kendati jumlah keterwakilan perempuan dalam DCT pemilu 2024 menurun, jumlah caleg perempuan yang lolos ke parlemen meningkat dari dua orang pada pemilu 2019 menjadi delapan orang pada Pemilu 2024.

Pada pemilihan terbaru di Kabupaten Bima, jumlah pemilih perempuan lebih dominan dibandingkan pemilih laki-laki. Dari 377.655 Daftar Pemilih Tetap Kabupaten Bima, 192.354 merupakan pemilih perempuan.

Ketua KPU Kabupaten Bima, Ady Supriadin menyebut, secara administratif keterwakilan perempuan terkonfirmasi 30 persen dalam politik dan demokrasi di Indonesia, baik dari komposisi kepengurusan dan keanggotaan partai politik serta daftar calon anggota legislatif.

“Namun dari sekian banyak tokoh perempuan yang tampil, kalau kita melihat afirmasi hasil Pemilu 2024 kemarin hanya sebanyak delapan orang yang berhasil meraih kursi DPRD Kabupaten Bima. Apakah ini terkait pengaruh kefiguran atau pragmatisme politik? Perlu dilakukan kajian dan riset,” ujar Ady.

Meskipun hasil Pileg 2024 belum menghasilkan afirmasi sebagaimana ekspektasi kelompok gender, menurutnya panggung politik di Bima sudah sangat membuka ruang untuk tampilnya perempuan, baik pada pencalonan kepala daerah, wakil kepala daerah maupun legislatif.

“Saya kira ini sebuah catatan positif bahwa prinsip demokrasi yang equality tanpa diskriminasi gender,” ujarnya.

Kondisi sejumlah parpol peserta Pemilu 2024 di Kabupaten Bima yang tidak memiliki caleg perempuan pada sejumlah Dapil, diafirmasi Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum Kabupaten Bima, Junaidin.

“Karena menjadi syarat mutlak, (afirmasi 30 persen) memang agak menyulitkan bagi Parpol untuk mendapat figur perempuan, sehingga, ada beberapa partai saat Pileg kemarin yang kekosongan caleg perempuan yang mengakibatkan ketidakikutsertaan parpol terebut di Dapil tertentu,” ujar Junaidin.

Walaupun sejumlah kelompok masyarakat di Bima masih menganggap tabu kepemimpinan perempuan, termasuk duduk di kursi legislatif dan memegang peran jabatan publik, Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Bima, Ustadz Irwan mendukung kepemimpinan perempuan.

Irwan menjelaskan, dalam sejarah Islam, terdapat berbagai contoh perempuan yang memegang peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan, baik sosial, politik, maupun keagamaan. Meskipun demikian, isu kepemimpinan perempuan tetap menjadi perdebatan karena adanya interpretasi yang berbeda terhadap dalil-dalil syar’i.

Selain itu, aspek akhlaqul karimah atau akhlak mulia juga menjadi pondasi utama bagi siapa pun yang berada dalam posisi kepemimpinan, termasuk perempuan.

Kepemimpinan dalam Islam tidak hanya dilihat dari aspek gender, melainkan dari kemampuan seseorang untuk memimpin dengan adil, bijaksana, dan berdasarkan prinsip-prinsip Islam.

“Dalam Alquran, Allah memberikan contoh kepemimpinan perempuan melalui kisah Ratu Balqis, pemimpin negeri Saba’ yang dikenal bijaksana dan adil,” ujarnya.

Irwan menukil QS. An-Naml: 23 yang artinya "Sesungguhnya aku mendapati seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta memiliki singgasana yang besar."

“Kisah ini menunjukkan bahwa kepemimpinan perempuan dapat diterima dalam Islam selama dia memimpin dengan kebijaksanaan, keadilan, dan memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Ratu Balqis akhirnya menerima Islam setelah berdiskusi dengan Nabi Sulaiman, yang menunjukkan pentingnya dialog dan kebijaksanaan dalam kepemimpinan,” ujarnya.

Irwan mengatakan, filosofi Islam mengenai kepemimpinan perempuan didasarkan pada keadilan dan kemampuan individu, bukan semata-mata berdasarkan jenis kelamin. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam Hujarat: 13 yang artinya hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Dalam beberapa hadis, jelas Irwan, Nabi Muhammad SAW memberikan pandangan yang lebih luas tentang peran perempuan dalam masyarakat. Salah satu hadis yang sering menjadi acuan dalam diskusi tentang kepemimpinan perempuan yang diriwayatkan Imam Bukhari, "Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang perempuan."

Dikatakannya, hadis tersebut sering diinterpretasikan sebagai larangan bagi perempuan untuk memegang posisi kepemimpinan. Namun, ulama seperti Imam al-Ghazali dan beberapa lainnya menafsirkan hadis tersebut dalam konteks khusus, yaitu dalam situasi perang atau keadaan darurat tertentu.

“Hadis ini bukan merupakan larangan absolut, melainkan lebih menekankan pada situasi dan kondisi yang spesifik di mana kepemimpinan perempuan mungkin tidak efektif dalam konteks tertentu,” ujar Direktur Pondok Pesantren Al Maliky Kabupaten Bima ini (US/SF)

Follow informasi Berita11.com di Google News

12036653233235931344

Pos terkait