Doktor Politik UI sebut Debat Paslon Gubernur dan Wagub NTB belum Tunjukan High Level Communication

Pasangan calon saat tampil dalam debat pertama pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur, peserta Pilkada 2024, Rabu (23/10/2024) lalu.
Pasangan calon saat tampil dalam debat pertama pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur, peserta Pilkada 2024, Rabu (23/10/2024) lalu.

Mataram, Berita11.com— Pengamat politik yang juga mantan Ketua Forum Rektor Bima-Dompu, Dr H Ibnu Khaldun Sudirman menyebut pelaksanaan debat pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Nusa Tenggara Barat, peserta Pilkada 2024 pada Rabu (23/10/2024) lalu, belum memenuhi ekspektasi masyarakat, terutama kelompok pemilih rasional.

Masalahnya, tiga paslon, khususnya calon Gubernur NTB yang terlibat dalam debat tersebut belum menjadikan tahapan tersebut sebagai media mentransformasi visi-misi dan pemikirannya. Meskipun tiga calon Gubernur NTB memiliki latar belakang pendidikan tinggi dari jenjang doktoral.

Bacaan Lainnya
Iklan%20tamsis

Salinan%20dari%20Salinan%20dari%20Salinan%20dari%20Emas%20dan%20Hitam%20Geometris%20Selamat%20Har 20250329 105626 0000

“Debat pertama tentu masyarakat atau pemilih rasional, sangat menantikan debat semalam. Karena pemilih rasional banyak yang belum menentukan pilihan. Mereka terus menunggu apakah (yang akan dilakukan) para doktor ini. Tiga cagub kan tiga-tiganya doktor dan tentu mereka sudah punya rekam jejak yang bisa diikuti oleh para konstituen, pemilih atau pendukung dan pemilih rasional,” ujar Ibnu Khaldun di kampus STKIP Taman Siswa Bima, Kamis (24/10/2024).

Menurut Ibnu, dalam debat paslon belum menunjukan high level communication. Walaupun tiga calon Gubernur NTB berasal dari latar belakang pendidikan doktor. Walapun pada awal-awal sesi debat terjadi saling lempar isu berlandaskan data, namun dalam pemaparan jawaban berikutnya tidak disertai data atau hasil riset, sehingga debat tersebut menjadi tidak menarik terutama bagi kelompok pemilih rasional (swing voters) dalam menentukan pilihannya.

“Soal visi misalnya, soal reformasi birokrasi dalam debat itu minim data. Mestinya berbasis hasil riset dan sebagainya. Ada satu dua kali disebut data, tapi tidak diikuti dengan data berikutnya, sehingga bagi pemilih rasional masih normatif. Yang jelas debat pertama belum bisa mengubah pilihan bagi pemilih rasional. Supporter dengan voter kan beda, supporter itu pendukung, sedang voter itu pemilih rasional,” ujar jebolan doktor Universitas Indonesia ini.

Mengamati proses yang berlangsung dalam debat pertama Paslon peserta Pilgub NTB, mantan Staf Ahli DPR RI yang juga mantan peneliti Pusat Studi Pemilu dan Partai Politik (Center for Election and Political Party /CEPP) FISIP UI ini, juga menyarankan Komisi Pemilihan Umum (KPU) memertimbangkan masa istrahat bagi paslon setelah kesibukan kampanye, sehingga siap melaksanakan debat secara maksimal.

BACA JUGA: Soal Putusan PN Jakpus, Ketua PKN NTB: Abuse de Droid, tapi ada Positifnya

“Soal panelis, kan konsep KPU semalam itu Pilkada ini adalah kita. Namun yang jarang dilakukan KPU dalam memilih panelis itu adalah memilih akademisi atau kelompok profesional dari perguruan tinggi swasta yang ada di Bima atau Sumbawa. Tidak hanya memilih panelis, akademisi atau profesioanl yang ada di ibukota provinsi. Biar lebih beragam. Jangan membawa tagline Pilkada adalah kita (jika panelis tidak beragam),” ujar Ibnu.

Menurut Ibnu, debat harus dimanfaatkan secara maksimal oleh paslon sebagai media transformasi visi-misi. Misalnya mengenai pemikiran Birokrasi yang Mendunia yang menjadi salah satu target salah satu paslon, tidak dapat digali secara mendalam. Termasuk berkaitan merit system (meritokrasi) dalam manajemen birokrasi. Belum memuaskan pemilih cerdas untuk menentukan pilihannya.

“Kalau (calan Gubernur NTB) Rohmi itu (menonjolkan) berdaya saing. Berdaya saing itu seperti apa? Apa yang ingin dibawa oleh paslon? Itu yang tidak kelihatan dalam debat. Visi-misi belum bisa digali secara mendalam dan masih menjadi milik tim perumus. Lalu ada di website, tidak banyak yang membaca,” kata Ibnu.

Pada sisi lain, kegiatan kampanye yang dilakukan para paslon di tengah masyarakat baru berlangung prosedural. Tim kampanye dan para paslon umumnya hanya mengajak masyarakat untuk memilihnya. Tidak menonjolkan program-program yang akan dilaksanakan saat memimpin. Misalnya yang menyesuaikan dengan kearifan lokal setiap kelompok masyarakat yang didatangi.

“Lalu kegiatan kampanye tidak banyak mengorganisir kelompok-kelompok, pemilih-pemilih pemula. Mungkin saat turunn ke titik-titik atau situs kampanye apa tanda tangan poin-poinnya? Misalnya pengembangan wirausaha, pengembangan apa di titik-titik sesuai identitas lokal atau kebudayaan. Jadi, belum mendorong pendidikan politik,” ujarnya.

Dikatakan Ibnu, konsekuensi saat debat paslon tidak menjadi referensi kuat bagi masyarakat dalam menjatuhkan pilihannya, maka pemilih tradisional meningkat. Debat tidak mampu meningkatkan pemilih rasional.

BACA JUGA: Warga Bima Ditemukan Tewas Gantung Diri, Kerabat Minta Autopsi

“Jadi pemilih rasional enggan untuk memilih. Tadi (soal) mempmengaruhi partisipasi mereka (masyarakat) menangkap ada atau tidak ada kepala daerah. Ndak ada transformasi visi-misi, (sehingga timbul pemikiran) lebih baik kerja cari makan sendiri. Kalau hidup banyak rezeki, mereka hidup lebih baik. Mereka membangun kemandirian. Harus difasilitasi regulasi yang harus disiapkan (jika) calon kepala daerah akan terpilih sebagai kepala daerah,” ujar pengamat politik yang juga alumnus Universitas Gajah Mada ini.

Realitas tersebut menurut Ibnu, menjadi tugas penyelenggara pemilu dan paslon. Melaksanakan fungsi-fungsi pendidikan politik.

Ia berharap kekurangan saat debat pertama paslon peserta Pilgub NTB, menjadi rujukan pada pelaksanaan debat paslon kepala daerah dan wakil kepala daerah tingkat dua di kota dan kabupaten.

“Kalau di daerah makin menurun high level communication atau midle level communication, di daerah nanti mungkin akan berkembang low level communication, karena dari dua bulan perjalanan kampanye kan tidak banyak, misalnya muncul kritik terhadap penanganan anak. Mislanya saat turun (kampanye) ini komitmennya dengan isu itu yang diorganisir pendukungnya. Jadi tidak ada exercise atau latihan yang mereka melakukan transformasi visi-misinya,” ujar Ibnu.

“Ada tidak diskusi atau debat (visi-misi) saat melakukan kampanye, jarang ditemukan. Yang ada hanya mari memilih saya, pilih nomor sekian dan (ajakan) ayo kita menangkan. Itu hanya sebuah ajakan. Padahal sumbangan terbesar mereka sebagai kepala daerah atau paslon kepala daerah itu adalah tugas-tugas transformasi atau membangun cara berpikir (mindset),” tandas Ibnu.

Hal tersebut belum lagi masuk ke sejumlah isu tertentu yang mestinya menjadi atensi para paslon seperti masalah lingkungan dan masalah literasi pada sektor pendidikan.

“Itulah (terjadi karena) miskin ide-ide dan kurang kreatif dalam mengorganisir isu-isu yang sudah ditetapkan oleh tim perumusnya menjadi visi-misi, menjadi syarat saat mendaftar sebagai paslon,” pungkas Ibnu. [B-19]

Follow informasi Berita11.com di Google News

Salinan%20dari%20Salinan%20dari%20Salinan%20dari%20Salinan%20dari%20Salinan%20dari%20Emas%20dan%20H 20250329 142724 0000

Pos terkait