Bima, Berita11.com— Sejumlah tokoh prominen di Bima, Nusa Tenggara Barat menanggapi aksi unjuk rasa dan aksi blockade jalan oleh sejumlah kelompok di wilayah Kabupaten Bima cenderung anarkis dan menganggu ketertiban umum.
Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Bima, Ustadz Dr (Cand) Irwan M.Pd.I menyatakan, pihaknya mengapresiasi semangat mahasiswa menyampaikan aspirasi melalui unjuk rasa (demo) dan orasi. Namun pihaknya menyayangkan jika aksi berubah menjadi anarkis.
“Kita semuanya mengapresiasi semangat mahasiswa yang menyediakan aspirasi, lewat orasi dan demo. Tapi sangat disayangkan ketika anarkis dan tidak beradab,” ujar Direktur Pondok Pesantren Al Maliki yang juga mantan Ketua Ikatan Qori-Qoriah dan Hafiz-Hafizah Kabupaten Bima ini.
Menurut akademisi Universitas Muhammadiyah Bima ini, aksi blockade jalan negara di depan salah satu kampus di wilayah Kabupaten Bima sudah sering dan mengganggu pengguna jalan raya. Untuk itu, pihaknya meminta agar tidak diberikan ruang oleh apparat keamanan, karena mengganggu ketertiban umum dan berpotensi menimbulkan benturan dengan kelompok masyarakat lain.
“Saya berharap tidak diberikan ruang. Kalau mau orasi dan demo, tinggal langsung aja di instansi yang berkaitan dengan tuntutan. Bukan mengganggu ketertiban umum,” harap alumnus UIN Maulana Malik Ibrahim ini.
Selain itu, Ustadz Irwan juga berharap apparat tidak memberikan izin orasi di jalan raya, karena mengganggu ketertiban umum.
Sementara itu, tokoh Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Bima yang juga anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi NTB, Abdul Rauf ST MM menyampaikan pandangannya soal aksi unjuk rasa massa yang sering distigmatisasi anarkis dan dimotori kepentingan tersembunyi. Padahal menurutnya, aksi unjuk rara banyak yang murni karena latar belakang untuk menyampaikan aspirasi.
Menurutnya, jika aksi unjuk rasa mahasiswa atau aktivis direspon dengan represif oleh aparat, maka ruang dialog tertutup dan berganti menjadi konflik.
Mantan Direktur Kawasan Pengembangan Ekonomii Terpadu (KAPET) Bima ini menilai, demonstrasi sering menjadi pilihan terakhir karena ruang dialog formal seperti audiensi atau komunikasi DPRD tidak efektif.
Ia mengatakan, penting membangun ruang dialog dalam demonstrasi, di antaranya melalui pendekatan partisipatif.
“Pemerintah bisa menanggapi demonstrasi dengan mengundang perwakilan aksi untuk dialog terbuka,” ujar mantan Ketua Bidang Pemberdayaan Ekonomi dan Kewirausahaan KAHMI Cabang Kota Bima ini.
Selain itu kata dia, pemerintah bisa menarapkan mekanisme tanggapan resmi. Setiap aksi yang menyampaikan tuntutan tertulis seharusnya dijawab secara resmi oleh pemerintah.
Ia juga menyorot peran media sebagai jembatan dalam merespon aksi unjuk rasa. “Pers bisa memainkan peran penting untuk mengawal substansi tuntutan, bukan hanya sisi dramatis aksi,” katanya.
Ia berharap setiap ada aksi unjuk rasa agar tidak dibiarkan tanpa reaksi. “Beri respon dan tanggapan, insyaallah akan teratasi,” ujar politisi Partai Demokrat ini.
Sebagaimana diketahui aksi unjuk rasa di Kabupaten Bima cenderung lebih sering anarkis dan beberapa aksi diwarnai blockade jalan berjam-jam dan pernah yang sampai berhari-hari sehingga mendapat persepktif negative dari masyarakat yang memiliki kepentingan mobilitas beragam. Selain itu, aksi unjuk rasa sering diwarnai perusakan fasilitas tertentu seperti penyegelan kantor desa dan fasilitas lain.
Pada bagian lain, penjelasan pihak-pihak yang disorot seperti kepala desa dan pihak pihak terkait cenderung tidak memuaskan massa. Meskipun sejumlah dugaan permasalahan telah dilaporkan kepada aparat penegak hukum. Misalnya massa Aliansi Masyarakat Desa Campa Menggugat yang menggelar aksi unjuk rasa berjilid-jilid sampai tiga kali dari pagi hari hingga menjelang magrib.
Selain masalah ketertiban umum, adanya aksi unjuk rasa cenderung tidak kondusif membuat kekhawatiran sejumlah pihak tidak kondusifnya daerah yang berimbas terhadap iklim investasi dan kegiatan ekonomi. [B-22]
Follow informasi Berita11.com diGoogle News