Oleh: Andhika Wahyudiono*
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD, menyebut putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan gugatan Partai Garuda terkait batas usia calon kepala daerah sebagai putusan yang bersifat destruktif. Mahfud menjelaskan bahwa Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2020, yang oleh MA dinyatakan bertentangan dengan UU Nomor 10 Tahun 2016, sebenarnya memuat materi yang diambil dari ketentuan Pasal 7 huruf e. Pasal tersebut mengatur bahwa usia minimal untuk calon gubernur dan calon wakil gubernur adalah 30 tahun, dan 25 tahun untuk calon bupati dan calon wakil bupati serta calon wali kota dan calon wakil wali kota.
Mahfud menekankan bahwa vonis MA mengubah syarat pencalonan menurut UU menjadi syarat pelantikan. MA memerintahkan KPU untuk menghapus pasal 4 huruf d, yang berbunyi usia minimal untuk calon kepala daerah terhitung sejak penetapan pasangan calon, dan menggantinya dengan usia minimal terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih. Mahfud mempertanyakan dasar MA memutuskan bahwa PKPU bertentangan dengan UU tentang Pilkada, padahal PKPU tersebut mengacu pada aturan dalam UU itu sendiri.
MA, dalam Putusan Nomor 23 P/HUM/2024, mengabulkan permohonan Partai Garuda terkait batasan usia minimal calon kepala daerah, dan menyatakan bahwa Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU Nomor 9 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Nomor 10 Tahun 2016. Oleh karena itu, MA memutuskan bahwa pasal dalam PKPU tersebut tidak memiliki kekuatan hukum sepanjang tidak dimaknai usia minimal terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih. Selain itu, MA memerintahkan KPU RI untuk mencabut Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU Nomor 9 Tahun 2020.
Implikasi putusan ini menimbulkan sejumlah kekhawatiran. Pertama, perubahan syarat usia minimal dari penetapan calon menjadi pelantikan dapat mengubah dinamika politik dan proses seleksi calon kepala daerah. Hal ini dapat menyebabkan ketidakpastian dan potensi manipulasi dalam proses pencalonan, mengingat usia calon bisa menjadi faktor strategis dalam penentuan waktu pencalonan dan pelantikan.
Kedua, putusan ini juga menimbulkan pertanyaan tentang kepastian hukum dan konsistensi peraturan. Jika peraturan yang diambil dari UU sendiri bisa dianggap bertentangan dengan UU, maka hal ini menciptakan preseden yang membingungkan bagi implementasi regulasi di masa depan. Hal ini juga dapat melemahkan otoritas lembaga penyusun regulasi seperti KPU dalam menetapkan peraturan yang sejalan dengan undang-undang yang ada.
Selain itu, putusan ini dapat berdampak pada partisipasi politik dan representasi generasi muda dalam pemerintahan daerah. Dengan mengubah batas usia minimal untuk pelantikan, ada kemungkinan kandidat muda yang sudah mempersiapkan diri untuk mengikuti pilkada terhambat prosesnya, sehingga mengurangi peluang bagi kaum muda untuk terlibat dalam politik.
Dalam konteks yang lebih luas, putusan ini mencerminkan tantangan yang dihadapi sistem hukum dan politik Indonesia dalam menjaga keseimbangan antara kepastian hukum dan fleksibilitas peraturan. Penting bagi para pembuat kebijakan, penegak hukum, dan masyarakat untuk terus memantau dan mengkaji dampak dari putusan ini, serta memastikan bahwa regulasi yang dibuat mampu mendukung proses demokrasi yang sehat dan inklusif.
Keputusan Mahkamah Agung (MA) ini memerlukan analisis mendalam dan diskusi komprehensif untuk memahami sepenuhnya dampak dan implikasinya terhadap sistem politik dan hukum di Indonesia. Diharapkan dengan pemahaman yang lebih baik, langkah-langkah yang diambil ke depan dapat menciptakan kebijakan yang lebih stabil dan adil bagi semua pihak. Namun, terdapat berbagai tantangan dan hambatan yang harus dihadapi dalam upaya mencapai pemahaman yang komprehensif dan implementasi kebijakan yang tepat.
Salah satu tantangan utama adalah kompleksitas hukum yang terlibat. Keputusan MA sering kali bersifat teknis dan melibatkan interpretasi mendalam terhadap berbagai undang-undang dan peraturan yang ada. Memahami keputusan ini membutuhkan keahlian khusus dan pemahaman yang baik tentang sistem hukum Indonesia. Selain itu, sering kali terdapat perbedaan pandangan di antara ahli hukum mengenai interpretasi yang tepat dari keputusan tersebut. Perbedaan ini dapat memicu debat yang panjang dan memperlambat proses pemahaman.
Selain itu, tantangan lain yang signifikan adalah keterbatasan akses terhadap informasi yang relevan. Meskipun putusan MA biasanya dipublikasikan, tidak semua pihak memiliki akses yang mudah atau pemahaman yang cukup untuk menelaah dokumen hukum tersebut. Hal ini mengakibatkan kurangnya partisipasi dari berbagai lapisan masyarakat dalam diskusi yang terjadi. Padahal, partisipasi yang luas dan inklusif sangat penting untuk mencapai pemahaman yang komprehensif dan kebijakan yang adil.
Hambatan berikutnya adalah potensi resistensi dari berbagai pemangku kepentingan. Keputusan MA dapat mempengaruhi kepentingan berbagai kelompok, termasuk politisi, birokrat, dan masyarakat umum. Tidak jarang, kelompok-kelompok ini memiliki kepentingan yang bertentangan dan dapat menunjukkan resistensi terhadap keputusan yang dianggap merugikan mereka. Resistensi ini dapat mempersulit implementasi keputusan MA dan menghambat upaya untuk mencapai stabilitas dan keadilan dalam sistem politik dan hukum.
Selain itu, ada juga tantangan dalam hal koordinasi antar lembaga. Keputusan MA sering kali memerlukan tindak lanjut dari berbagai lembaga pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah. Kurangnya koordinasi yang efektif antara lembaga-lembaga ini dapat menyebabkan implementasi keputusan yang tidak konsisten atau tertunda. Koordinasi yang buruk juga dapat menyebabkan kebingungan dan ketidakpastian di kalangan masyarakat mengenai apa yang sebenarnya berlaku.
Hambatan lainnya adalah keterbatasan sumber daya. Analisis mendalam dan diskusi komprehensif memerlukan waktu, tenaga, dan dana yang tidak sedikit. Dalam banyak kasus, lembaga-lembaga terkait mungkin tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk melakukan analisis yang diperlukan atau untuk mengadakan diskusi yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Keterbatasan ini dapat mengurangi kualitas analisis dan diskusi yang dilakukan, sehingga mempengaruhi pemahaman dan implementasi keputusan MA.
Di samping itu, ada juga tantangan dalam mengkomunikasikan hasil analisis dan diskusi kepada publik. Keputusan MA dan implikasinya sering kali disampaikan dalam bahasa hukum yang sulit dipahami oleh orang awam. Mengkomunikasikan hasil analisis dengan cara yang jelas dan mudah dipahami oleh semua lapisan masyarakat merupakan tantangan tersendiri. Kurangnya komunikasi yang efektif dapat menyebabkan miskomunikasi dan ketidakpahaman di kalangan masyarakat, yang pada gilirannya dapat menghambat implementasi kebijakan yang diharapkan.
Secara keseluruhan, meskipun keputusan MA ini memiliki potensi untuk menciptakan kebijakan yang lebih stabil dan adil, tantangan dan hambatan yang ada tidak boleh diabaikan. Diperlukan upaya yang terkoordinasi dan komprehensif dari semua pihak terkait untuk mengatasi tantangan-tantangan ini dan memastikan bahwa keputusan MA dapat diimplementasikan dengan efektif dan memberikan manfaat yang maksimal bagi sistem politik dan hukum di Indonesia.
*) Dosen UNTAG Banyuwangi