Mencuri Pikiran dengan Plagiasi: Tanda Rusaknya Moral Akademis

Penulis.
Penulis.

Oleh: Arif Sofyandi

 

Bacaan Lainnya

Plagiasi bukan sekadar pelanggaran teknis dalam dunia pendidikan, melainkan sebuah tindakan yang mencerminkan krisis moral akademis. Ketika seseorang mencuri gagasan, argumen, atau hasil penelitian (pikiran) orang lain dan mengakuinya sebagai milik sendiri, ia tidak hanya melanggar etika, tetapi juga merusak fondasi utama ilmu pengetahuan: kejujuran intelektual. Dalam konteks ini, plagiasi dapat disebut sebagai mencuri pikiran secara total, karena yang dirampas bukan benda, melainkan hasil proses berpikir yang panjang dan kompleks.

Secara konseptual, dunia akademik dibangun di atas prinsip academic integrity, yaitu komitmen terhadap kejujuran, kepercayaan, keadilan, dan tanggung jawab ilmiah. Plagiasi bertentangan langsung dengan prinsip tersebut karena menghilangkan atribusi yang semesti-nya diberikan kepada penulis asli. Sementara, dalam perspektif epistemologi, pengetahuan berkembang melalui proses dialog antar gagasan. Ketika sumber asli disembunyikan, dialog ilmiah menjadi cacat dan perkembangan ilmu pengetahuan terhambat.

BACA JUGA:  Langkah Strategis Menekan Kemiskinan

Fenomena plagiasi sering kali dipicu oleh tekanan sistemik, seperti tuntutan publikasi, target kelulusan, atau persaingan akademik yang tidak sehat. Namun, alasan tersebut tidak dapat dijadikan justifikasi moral.  Ketidakmampuan mengelola waktu, kurangnya literasi akademik, atau ambisi instan justru menunjukkan lemah-nya karakter ilmiah, bukan sekadar kesalahan administratif.

Dari sudut pandang sosiologis, maraknya plagiasi juga menandakan adanya normalisasi perilaku tidak etis dalam lingkungan akademik. Ketika pelanggaran dianggap wajar atau diselesaikan secara kompromistis, institusi pendidikan kehilangan peran-nya sebagai penjaga nilai moral. Akademisi seharus-nya menjadi teladan dalam berpikir kritis dan bertindak jujur, bukan justru menjadi aktor yang merusak kredibilitas ilmu pengetahuan.

Plagiasi juga memiliki dampak jangka panjang yang serius. Secara akademis, kualitas penelitian menurun karena karya yang dihasilkan tidak melalui proses berpikir orisinal. Secara psikologis, pelaku plagiasi kehilangan kesempatan untuk mengembangkan kapasitas kognitif dan kreativitas-nya sendiri. Lebih jauh lagi, secara institusional, reputasi lembaga pendidikan dapat tercoreng, yang pada akhir-nya mengurangi kepercayaan publik terhadap dunia akademik.

BACA JUGA:  Apa itu Laporan Keberlanjutan dan Peluanganya bagi Industri?

Oleh karena itu, upaya pencegahan plagiasi tidak cukup hanya dengan penggunaan perangkat lunak pendeteksi kesamaan teks. Diperlukan pendekatan edukatif yang menanamkan pemahaman mendalam tentang etika akademik, hak kekayaan intelektual, dan pentingnya orisinalitas. Karena itu, pendidikan seharus-nya tidak hanya berorientasi pada hasil, tetapi juga pada proses berpikir yang jujur dan bertanggung jawab.

Akhirnya, plagiasi adalah cermin dari rusak-nya moral akademis ketika ilmu pengetahuan diperlakukan sebagai komoditas, bukan sebagai proses pencarian kebenaran. Jika praktik mencuri pikiran ini terus dibiarkan, maka dunia akademik akan kehilangan ruh-nya. Menjaga integritas akademik bukan hanya kewajiban individu, melainkan tanggung jawab kolektif demi keberlanjutan ilmu pengetahuan dan martabat pendidikan itu sendiri.(*)

 

Follow informasi Berita11.com di Google News

 






Pos terkait