Bima, Berita11.com— Indonesia masuk pada peringkat kedua dunia ketidakjujuran akademik, berdasarkan hasil penelitian Vit Machacek dan Martin Srholec dari Republik Ceko, terhadap artikel akademikus dari sejumlah negara yang terbit di berbagai jurnal predator sepanjang 2015-2017.
Setali tiga uang, hasil penelitian kedua peneliti dari Ceko tersebut menemukan bahwa 16,73% mahasiswa di Indonesia mengaku pernah melakukan kecurangan akademik dalam bentuk plagiarisme.
Kenyataan yang mencengangkan, sejumlah dosen dan pesohor di Indonesia memanipulasi gelar guru besar, bersekongkol dengan asesor lewat jurnal predator. Kegilaan (syahwat) akan gelar guru besar tak lepas dari cara berpikir pembuat kebijakan yang sungsang.
Hasil penelitian dua peneliti dari Republik Ceko tersebut juga diunggah peneliti Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) melalui media sosial X.
Menurut akademisi Universitas Muhammadiyah Bima, Dr Ihlas Hasan, hasil penelitian tersebut perlu disambut positif, meskipun ada beberapa poin yang perlu dikonfirmasi, karena bisa saja terdapat benturan kepentingan (conflict of interest) negara-negara berkembang seperti Indonesia dan negara lain.
“Jika hasil penelitian itu benar, maka ini benar-benar memalukan bagi dunia akademis, memalukan dunia akademik, karena ada jalan praktis yang ditempuh. Padahal seharusnya dunia akademik tempat bersamayan benih-benih kejujuran, nilai-nilai moral dan etika, kehormatan. Harusnya bermula dari perguruan tinggi, tapi ada yang mengambil jalan tikus,” ujar Ihlas melalui media sosial whatshapp, Jumat (12/7/2024) lalu.
Menurut Ihlas, jalan tikus bagi “penggila” untuk memperoleh gelar guru besar, termasuk memanipulasi penelitian untuk terbit di jurnal internasional bereputasi (terindeks di database yang diakui seperti Scopus dan atau Web of Science) merupakan sesuatu yang memalukan bagi masyarakat akademik yang selama ini dikenal mementingkan integritas akademik dan nilai-nilai kejujuran.
“Untuk itu, ke depan harus ada proses yang lebih ketat lagi dari pemerintah terkait dengan fase atau tahapan-tahapan untuk menuju guru besar, mulai dari pemeriksaan atau verifikasi karya ilmiah yang dipublikasikan, kemudian kegiatan-kegiatan menunjang menuju guru besar itu harus ada proses pengawasan yang ketat dari lembaga pemerintah,” kata dia.
Selain itu, pemerintah harus membuat serangkaian kebijakan yang mengatur mekanisme kenaikan jabatan fungsional dosen agar tidak ditempuh jalan praktis (abnormal), sehingga guru besar maupun jabatan jabatan fungsional lain dari dosen seperti lektor dan lektor kepala hingga guru besar, benar-benar dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.
“Karya tulis atau karya ilmiah hasil publikasinya benar-benar orginal (qualified) sehingga benar-benar bermanfaat untuk kepentingan sosial masyarakat,” katanya.
Plagiarisme dan Skripsi Pesanan di Level Mahasiswa
Pada level lokal, sebagian mahasiswa belum mandiri dalam menyusun karya tulis atau tugas akhir bukan isapan jempol. Namun menurut Ihlas, perlu perhatian agar mahasiswa mampu menghasilkan karya tulis secara mandiri dan berkualitas.
“Secara umum ya kualitas mahasiswa kita memang dalam menyusun skripsi masih di bawah standar. Ya tidak semua sih, tetapi memang perlu ada upaya memang maksimal, agar anak-anak mahasiswa itu lebih bisa mandiri menyusun skripsi, lebih berkualitas intinya,” ujar mantan aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah ini.
Selain itu, Ihlas juga menyampaikan otokritik terhadap kompetisi hibah penelitian atau pengabdian yang didukung Kementerian Ristek Dikti. Bahwa outuput kegiatan penelitian yang didukung hibah dari pemerintah melalui kementerian hingga anggaran Rp300 juta belum sepenuhnya maksimal, belum benar-benar dirasakan manfaatnya di tengah masyarakat dan cenderung berorientasi uang (profit).
“Memang orientasi di riset dan pengabdian itu apalagi di kompetisi di Kementerian, ya orientasinya memang uang. Nah ini memang isu ini hampir isu nasional, bukan hanya di daerah dan memang harus dimulai dari kebijakan dari pusat kemudian hilirisasinya hingga ke daerah sehingga pengabdian dan riset itu benar-benar dirasakan kehadirannya manfaatnya di tengah masyarakat,” katanya.
“Saya setuju akhlak seperti itu, tetapi tidak semua ya, tidak semua artinya riset itu berorientasi uang atau profit, tetapi belum maksimal kata kunci saya adalah belum maksimalnya hasil dari hasil riset itu, belum begitu dirasakan manfaatnya,” pungkas Ihlas. [B-22]
Follow informasi Berita11.com di Google News