Deru Air Mata dari Nusantara

Hutan rusak. Ilustrasi/ Foto Ist.
Hutan rusak. Ilustrasi/ Foto Ist.

Di ujung barat, tanah jelita menjerit, Sumatera Utara, Aceh, Padang, berkabung sunyi. Air bah datang, bukan lagi sekadar gerimis, ratusan jiwa terenggut, duka tak terperi.

Lumpur dan arus, saksi bisu yang kejam, tak pandang harta, tak pandang jabatan tinggi. Rumah pejabat pun luluh lantak, ikut terbenam, sebab alam murka, siapa sangka ‘kan terjadi?

Bacaan Lainnya

Di antara riak, pemandangan menyesakkan dada, kayu-kayu besar hanyut, gelondongan tak terhitung. Bukti nyata hutan telah tiada, dirusak sia-sia, indikasi pilu, bahwa alam telah berhitung. Jeritan pohon dibalas jeritan manusia.

BACA JUGA:  SMI Cabang Bima Soroti Isu Lokal dan Nasional

Nun jauh di timur, ingatan lama menyeruak, Kota Bima dan Kabupaten Bima, pernah sama terluka. Banjir bandang menyapu, meninggalkan jejak retak, air cokelat bergemuruh, membawa nestapa.

Mengapa semua terulang? Di sini pun sama, pohon-pohon besar, kini tinggal kenangan. Hutan-hutan Bima, dibabat atas nama serakah, dinding hijau terkoyak, demi sebongkah lahan.

Lihatlah, jagung ditanam hingga ke sudut curam, tanah miring terbuka, tanpa akar menahan. Gunung-gunung dibiarkan botak, gundul dan suram, menanti giliran, kehancuran perlahan-lahan.

Wahai saudaraku, dengarkanlah suara hati nurani! Apa yang menimpa Sumatera adalah cermin bagi kita. Jika hutan Bima terus dikikis tanpa henti, potensi bencana yang sama, hanya soal waktu saja.

BACA JUGA:  Pengandara Sepeda Motor di Bima Dipanah saat Melintas di Jalan Raya

Tebing rapuh menanti hujan deras memukul, air akan turun tak tertahan, mencari jalan tercepat. Akan datang kembali, bandang yang memukul, membawa kayu dan lumpur, mengubah nasib yang tak terhindar.

Saatnya peduli, sebelum semua terlambat, hentikan babat, pulihkan kembali warna hijau. Sebab alam tak pernah ingkar janji, jika kita merusak, ia akan membalas tuntas.

Jagalah hutan, jantung kehidupan kita, agar duka Sumatera, tak menjadi takdir Bima.


Pos terkait