Surat dari Anisa

Cover/ Ilustrasi.
Cover/ Ilustrasi.

Pertemuan di Atas Selat Bali

 

Bacaan Lainnya

Rizal berdiri di hadapan jendela kantornya di lantai 25, menatap kemacetan Jakarta yang menyerupai labirin besi dan asap. Gaji Rp20 juta, bonus ratusan juta dari proyek konstruksi, semua terasa hampa. Lima tahun setelah kembali dari Lombok, ia tak menemukan resonansi. Ibukota yang dulu ia cintai, tempat ia ditimang orang tua hingga kelas 2 SMA sebelum tragedi merenggut mereka, kini terasa asing.

Ia mengingat masa-masa kuliahnya di Fakultas Teknik Universitas Mataram. Itu adalah pelarian dari duka, bukan pilihan karier. Pamannya, yang bekerja di Kantor Gubernur NTB, memaksanya pergi ke sana. “Lombok punya pantai, punya Rinjani. Kau butuh udara, bukan tembok,” ujar pamannya. Namun, Lombok gagal menyihirnya. Duka yang dibawa Rizal dari Jakarta lebih besar dari keindahan Gili Trawangan. Ia pulang, bekerja sebagai konsultan, hingga akhirnya jiwa petualangnya meronta.

Keputusan menjadi kuli tinta di media nasional datang dari panggilan mendasar: ia tidak betah bekerja di balik meja. Jiwa mapala (mahasiswa pencinta alam) yang terbentuk di Mataram menuntutnya bergerak.

“Bima? Kabupaten dengan angka pernikahan anak tertinggi, Zal,” kata Pemimpin Redaksi. “Daerah zona merah, rawan konflik. Aku butuh orang yang ngotot dan anti-mager. Jangan kecewakan gajimu yang sudah melonjak itu.”

Rizal tersenyum. Bukan gaji yang menariknya. Ia merasakan getaran aneh—sebuah panggilan tugas yang melampaui statistik. Ia akan kembali menyeberangi Selat Bali dan Lombok, kali ini menuju ujung timur, ke negeri yang hanya ia dengar riwayatnya dari berita utama yang penuh darah dan debu.

Kapal Ferry ASDP Mesapada berlayar perlahan dari Pelabuhan Padang Bai. Gelombang laut bulan Mei memang bersahabat, namun pikiran Rizal jauh dari damai. Ia duduk di kursi penumpang yang dilapisi busa tipis, mengamati hiruk pikuk di dalam kapal. Di Selat Bali ini, puluhan tahun silam, pernah terjadi tragedi kapal tenggelam, seolah mengingatkan bahwa di antara kedamaian ombak selalu ada potensi bahaya.

BACA JUGA:  Paguyuban Pasundan Bima Doa Bersama untuk Korban Gempa Cianjur

Ia menyesap kopi pertamanya, menikmati pekat dan pahitnya yang kontras dengan udara laut yang asin. Matanya kemudian menangkap siluet yang menarik di anjungan kapal: seorang gadis.

Ia duduk menghadap timur, rambut hitam panjangnya diikat sederhana. Pakaiannya polos, namun aura ketenangan memancar darinya. Gadis itu tidak bermain ponsel, tidak berbicara dengan siapa pun. Ia hanya memandangi horison, seolah mencari sesuatu di balik cakrawala Pulau Lombok yang mulai tampak.

Rizal, sang petualang, selalu tertarik pada narasi. Gadis ini adalah narasi yang belum terungkap. Ia mendekat. “Pemandangan dari sini memang indah, ya?” sapanya, berusaha seramah mungkin.

Gadis itu menoleh, matanya cokelat jernih. Senyumnya muncul perlahan, otentik. “Oh, hai! Ya, saya selalu suka menikmati laut. Ada kedamaian tersendiri,” sahutnya.

“Namaku Rizal, wartawan dari Jakarta. Bertugas ke Bima,” ujarnya sambil menyodorkan tangan.

“Anisa,” balasnya, menerima jabatan tangan Rizal dengan genggaman yang terasa kokoh, bukan ragu-ragu. “Aku asli Bima. Pulang dari liburan di Bali.”

Percakapan mereka mengalir cepat, membahas pekerjaan hingga hobi petualangan. Rizal mendapati bahwa Anisa tidak sekadar “pulang kampung”; ia adalah seorang yang berwawasan luas. Ketika Rizal menyebutkan tugasnya meliput isu pernikahan anak, Anisa menghela napas panjang.

“Mas Rizal tahu Bima dari media Jakarta, kan? Isinya pasti perang kampung, penangkapan teroris, atau gontok-gontokan unjuk rasa,” kata Anisa, nadanya tanpa emosi, tetapi mengandung kesedihan.

“Memang, itu yang sering jadi headline,” jawab Rizal jujur.

Anisa menatap Rizal lekat-lekat, seolah menguji kejujuran niatnya. “Bima lebih dari itu, Mas. Jauh lebih indah. Mas pernah dengar Tari Lenggo? Itu tarian peninggalan Kesultanan Bima yang penuh filosofi. Atau Festival Rimpu? Itu cara perempuan Bima menjaga kehormatan sambil merayakan identitas.”

Ia melanjutkan, suaranya kini bersemangat. “Bima itu negeri para Joki Cilik di atas kuda, tradisi yang mematikan sekaligus membesarkan hati. Bima itu punya Asi Mbojo (Istana Kesultanan) yang megah, dan punya pantai-pantai yang pasirnya seputih susu.”

BACA JUGA:  Sempat Kejar-Kejaran, Tim Puma Polres Bima Kota Sukses Bekuk DPO Kasus Curanmor

Rizal terpesona. Ia melihat Bima melalui lensa yang sama sekali berbeda—bukan zona merah, melainkan lahan kaya akan narasi manusia. Anisa menawarkan sebuah perspektif yang sangat ia butuhkan sebagai jurnalis.

“Aku tertarik sekali, Nis,” kata Rizal, suaranya tulus. “Sebagai jurnalis, aku selalu mencari kekayaan budaya lokal yang terabaikan. Aku janji, aku akan liput sisi Bima yang ini.”

Anisa tersenyum penuh kemenangan. “Kalau begitu, saat Mas di sana, aku bisa jadi pemandumu untuk melihat Bima yang sebenarnya. Itu akan jadi bahan tulisan yang jauh lebih menarik daripada sekadar angka perceraian di Pengadilan Agama.”

Rizal menerima tawaran itu tanpa ragu. Dalam waktu singkat di atas gelombang Selat Bali, mereka telah melampaui perkenalan biasa. Anisa telah memberi Rizal mandat informal pertama: melihat Bima dengan hati, bukan hanya dengan kamera.

Pengumuman awak kapal terdengar nyaring, memecah kehangatan perbincangan mereka. “ASDP Mesapada akan segera bersandar di Pelabuhan Lembar. Harap siapkan barang bawaan Anda.”

Rizal dan Anisa berdiri. Perasaan kecewa harus berpisah begitu cepat menyelimuti mereka.

“Senang berkenalan denganmu, Rizal. Semoga sukses dengan tugasmu,” kata Anisa sambil merapikan tasnya.

“Terima kasih, Anisa. Aku akan sangat berterima kasih jika kamu mau membantuku,” jawab Rizal, menggenggam tangan Anisa erat, lebih lama dari yang seharusnya.

Saat Anisa turun ke dermaga, ia bergabung dengan kerumunan penumpang yang akan melanjutkan perjalanan darat menuju Bima—entah itu dengan bus malam atau kendaraan sewaan. Rizal melihat punggungnya menjauh, hatinya dipenuhi getaran aneh, sebuah rasa yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia menyadari: Bima yang ia tuju bukan lagi hanya sebuah assignment kantor, tetapi sebuah perjalanan untuk bertemu takdir yang telah dimulainya di atas kapal Ferry ini.

 

***

Halaman Selanjutnya


Pos terkait